Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prof Dr Bern Nothofer, 70 tahun, ingat peristiwa pada 2005 itu. Studi Indonesia di Universitas Frankfurt yang didirikannya pada 1981 akan ditutup oleh universitas. Pasalnya, dia akan memasuki usia pensiun dan universitas tidak menemukan penggantinya.
Para mahasiswa panik dan Nothofer bergerak cepat. Dia dan mahasiswa mengumpulkan tanda tangan, berkampanye di berbagai media, mengirim petisi, menentang penutupan. Jurusan-jurusan studi Asia Tenggara dan Indonesia di berbagai universitas lain di Jerman mendukungnya. Keputusan itu akhirnya dibatalkan. Studi Indonesia di Universitas Frankfurt tetap ada hingga sekarang.
"Penurunan minat studi Indonesia tidak terjadi di sini," kata Nothofer. Pria yang pernah keluar-masuk 156 desa di Jawa Barat ini mengatakan kondisi studi Indonesia di Jerman berbeda dengan Australia, Belanda, dan Inggris. "Di Australia terjadi penurunan minat sejak peristiwa bom Bali. Di Universitas Leiden, Belanda, penutupan jurusan karena berkurangnya anggaran. Begitu juga yang terjadi di SOAS (School of Oriental and African Studies)," katanya.
Di Jerman hal itu tidak terjadi. Karena anggaran yang terus tersedia, universitas yang menawarkan studi Indonesia terus berkembang, antara lain Universitas Berlin, Universitas Hamburg, Universitas Frankfurt, Universitas Passau, Universitas Bonn, Universitas Humboldt, Universitas Koeln, Universitas Freiburg, dan Sekolah Tinggi Konstanz.
Belum lagi sejumlah studi Indonesia nonformal di beberapa kota. Plus seksi Indonesia di sejumlah lembaga penelitian atau tangki pemikiran seperti di GIGA (Hamburg), juga Max Planck Institute. "Di tempat kami, selain subsidi dari pemerintah daerah, kami mencari duit sendiri dengan cara kerja sama dengan beberapa industri, seperti yayasan perusahaan otomotif Volkswagen dan yayasan pabrik baja ThyssenKrupp," kata Nothofer.
Ini membuktikan bahwa studi Indonesia berkembang. Prof Dr Arndt Graf, 47 tahun, Ketua Jurusan Studi Asia Tenggara Universitas Frankfurt, sependapat. "Saya kira penurunan minat studi Indonesia berbeda di setiap negara. Di Leiden, studi Indonesia tidak menarik lagi karena pemerintah masih mempertahankan ‘dekolonisasi’, yakni melihat Indonesia sebagai bekas negara jajahan. Akibatnya, peminat menurun."
Alumnus Universitas Hamburg yang menerbitkan buku tentang bahasa retorika politik Soeharto, Gus Dur, Amien Rais, Akbar Tandjung, dan Habibie ini melihat di Inggris lain lagi. Uang kuliah studi Indonesia mahal sekali, 8.000 pound sterling setahun. Akibatnya, peminat berkurang. Akan halnya di Australia atau Amerika, berita buruk tentang Indonesia—kekerasan dan terorisme—membuat generasi muda tak mau lagi memilih studi Indonesia sebagai mata kuliah.
"Di Jerman tidak seperti itu. Kami tidak terpengaruh berita-berita berbahasa Inggris. Kami melihat Indonesia dari kacamata yang berbeda, sehingga pemberitaan tidak bias," katanya. Menurut Graf, di Jurusan Asia Tenggara Universitas Frankfurt kini yang paling dominan adalah studi Indonesia, berikutnya Malaysia, baru kemudian Thailand dan Vietnam. Mahasiswanya datang dari mana-mana, termasuk dari Eropa Timur (Polandia dan Rumania).
Bahkan, menurut dia, lulusan studi Indonesia tidak sulit mencari pekerjaan. Contohnya salah satu bank besar di Frankfurt, Commerze Bank, membutuhkan sarjana ahli Indonesia, karena Indonesia semakin potensial dari segi ekonominya.
Universitas Freiburg termasuk salah satu universitas di Jerman yang memiliki studi Indonesia yang kuat. Belum lama ini universitas ini menyelenggarakan konferensi bertema evaluasi 10 tahun desentralisasi di Indonesia. Menurut Juergen Rueland, kepala proyek Studi Asia Tenggara Universitas Freiburg yang menggagas acara, setidaknya 160 pakar berbagai disiplin datang dari berbagai penjuru dunia. Suksesnya konferensi tiga hari (15-17 Juni 2011) itu seakan sebagai jawaban langsung terhadap kecemasan akan surutnya minat akademis mengenai Indonesia.
Pandangan serupa diungkap Vincentius Houben, Kepala Studi Asia dan Afrika Universitas Humboldt, Berlin. Menurut profesor asal Belanda ini, setiap tahunnya jumlah mahasiswa yang masuk studi Asia dan Afrika di universitasnya sekitar 1.200 orang. Dari jumlah itu, sekitar 200 mengambil Indonesia sebagai studi utama.
Houben, yang pernah menulis buku Kraton and Kumpeni. Surakarta and Yogyakarta 1830-1870 (Leiden: KITLV Press 1994), menjelaskan penurunan minat studi Indonesia kemungkinan besar terjadi pada apa yang disebutnya "studi Indonesia klasik", yakni studi filologi—bahasa, sastra, antropologi. Sedangkan studi bidang yang lebih kontemporer justru meningkat. "Paradigma baru studi Indonesia di Eropa," katanya. Para mahasiswa justru sangat tertarik pada persoalan Indonesia sekarang, seperti polarisasi kaya-miskin, nilai demokrasi di tengah nilai-nilai tradisional.
Tapi, di Bonn, ahli sastra Indonesia Berthold Damshauser menganggap bahkan untuk studi bahasa dan sastra pun tak terjadi penurunan minat. "Di sini stabil saja jumlah mahasiswa yang masuk dari tahun ke tahun."
Namun nada optimistis dari Bonn, Freiburg, dan Berlin itu diragukan Edwin Wieringa, Direktur Institut Pengkajian Dunia Islam Universitas Koeln. Ia meyakini keadaan di Jerman sama sekali tak berbeda dengan di belahan dunia mana pun. Bahwa minat pada studi Indonesia jelas menurun. Bukan cuma pada yang berbasis filologi atau "studi Indonesia klasik".
Di Universitas Koeln sendiri, mahasiswa yang mengambil studi pokok Indonesia, kata Wieringa, selama beberapa tahun terakhir ini cuma dua atau tiga orang. Wieringa mencatat pula karakteristik yang cukup unik dari para mahasiswa yang mengambil studi Indonesia. "Mereka biasanya sedikit lebih tua dari kebanyakan mahasiswa lain. Dan umumnya sudah punya ‘pengalaman’ dengan Indonesia. Ada yang pernah tinggal beberapa tahun. Ada yang pernah wisata lalu jatuh cinta, bahkan ada yang belajar karena mendapat jodoh orang Indonesia."
Di Koeln, studi Indonesia bermula pada 1962, di bawah nama Studi Melayulogi-Malaiologi. Pendirinya, Irene Hilgers-Hesse, adalah seorang Indonesianis berdedikasi. Ia merupakan penyusun kamus pertama Jerman-Indonesia bersama Otto Karow, dan antologi cerpen Indonesia pertama dalam bahasa Jerman—bersama Mochtar Lubis.
Selama beberapa dekade, studi Indonesia di Koeln berlangsung cukup mandiri. Namun pada 2004 dilebur dalam studi dunia Islam. Jadi mahasiswa yang tertarik pada studi Islam bisa mempelajari Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar. Namun, dilemanya, kata Wieringa, mahasiswa banyak lebih tertarik ke Persia dan sebagainya.
Akan halnya studi Indonesia di Universitas Humboldt, Berlin, sudah ditawarkan sejak masa Perang Dingin. Bisa diduga, studi Indonesia waktu itu dibebani berbagai misi pemerintah komunis Jerman Timur.
Salah satu tokohnya adalah Ingrid Wessel, yang sekarang sudah pensiun. Ingrid muda, waktu itu, mempelajari bahasa dan sejarah Indonesia di Moskow, Uni Soviet (sebelum runtuh). "Studi itu mencakup satu tahun pelajaran di Indonesia. Tapi peristiwa 1965 membuat saya tak bisa masuk Indonesia," tutur Wessel. Ia dicekal masuk Indonesia. "Hanya sesudah Jerman disatukan, saya bebas mengunjungi Indonesia," katanya.
Sejauh ini tampaknya Jerman memang tak kekurangan Indonesianis. Namun yang tampak absen dibanding Prancis, misalnya, adalah jurnal ilmiah tentang Indonesia. Di Jerman belum ada jurnal khusus yang membahas Indonesia.
Ada Orientierungen, memang. Jurnal ini jurnal resmi Institut fur Orient- und Asienwissenschaften Universitas Bonn. Tak khusus tentang Indonesia,tapi banyak membahas persoalan Indonesia.
Orientierungen didirikan pada 1989 oleh Wolfgang Kubin, seorang ahli studi Cina dari Universitas Bonn. Kemudian ia mengajak Indonesianis di universitas itu, Berthold Damshauser, bergabung. "Jadi tak mengherankan kalau persoalan Indonesia mendapat porsi besar," ujar Damshauser.
Sayangnya Orientierungen pun masih bercakupan terbatas. Padahal, seperti disebut di awal, terdapat setidaknya delapan perguruan tinggi yang menawarkan studi Indonesia. Barangkali ini ada kaitannya dengan kenyataan sistem Jerman yang federal. Setiap negara bagian punya menteri pendidikan sendiri, dengan universitas masing-masing. Dan untuk urusan studi Indonesia, tak ada sistem koordinasi antaruniversitas. "Hanya ada jaringan pribadi," kata Edwin Wieringa dari Universitas Koeln.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo