Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Banting Setir dari Indocina

Peneliti Prancis menganggap Indonesia khazanah silang budaya. Dulu Islam Indonesia dianggap khas, dengan ciri khusus yang berbeda dengan Islam Timur Tengah. Kini, karena menguatnya Islam ala Arab, Islam Indonesia hanya dianggap bagian biasa dari dunia Islam pada umumnya.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang menjelang di teras belakang rumah Mira Sidharta, bilangan Prapanca, Jakarta. Prof Dr Claudine Salmon, 73 tahun, duduk santai sambil membaca bukunya, Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Peraih Nabil Award ini sedang menginap di rumah sahabatnya itu.

Kulit dan wajahnya sudah mengeriput. Senyumnya sumringah menyambut kedatangan Tempo awal pekan lalu. Penampilannya sangat santai, dengan celana jins biru dipadu blus hitam dan sandal jepit. Masih cukup gesit dan bersemangat jika melihat usianya. Matanya berbinar saat menceritakan awal mula datang di Indonesia 45 tahun lalu. Ingatannya masih tajam menceritakan perjalanan penelitian tentang kebudayaan dan masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Dia memang satu di antara puluhan peneliti Prancis di Indonesia. Karyanya cukup banyak dan berpengaruh bagi khazanah sejarah Indonesia. Mulanya dia tak berniat meneliti di Indonesia, melainkan di Vietnam. Wajar bila banyak peneliti Prancis yang mengeksplorasi bekas jajahan negaranya di Indocina (Kamboja, Vietnam, Laos) atau di Afrika Utara (Aljazair, Tunisia, dan Maroko). Meneliti dengan tujuan Indonesia mungkin belum lazim saat itu.

Ahli Islam Indonesia Prancis, Andree Feillard, mengatakan tulisan tentang Indonesia dimulai pada 1939 oleh Bousquet G.H. lewat Recherches sur les deux sectes musulmanes (Waktou Telou’ et Waktou Lima) de Lombok. "Penelitian tentang dua jenis ibadah kaum muslimin Lombok itu ditulis di Revue des Etudes Islamiques," ujar Andree Feilard kepada Ging Ginanjar dari Tempo.

Pada 1939, muncul tulisan tentang kesenian Keraton Yogyakarta oleh Louis-Charles Damais, epigraf Prancis. Damais juga menulis tentang epigrafi Indonesia (1952) di buletin de’Ecole Francaise d’extreme-Orient—Lembaga penelitian Prancis untuk Timur Jauh (BEFEO).

Penelitian khusus Indonesia berkembang setelah 1970-an. Perintisnya Denys Lombard, sejarawan berpengaruh dengan bukunya yang populer, Le carrefour javanais (Jawa Sebagai Persimpangan Budaya). Dia pula penggagas Archipel, jurnal ilmiah yang paling populer dan berpengaruh tentang Indonesia pada 1971. "Banyak riset yang dibuat para ahli sejak awal dimuat di sini. Semuanya patut dibaca," ujar Feillard.

Penelitian para ilmuwan Prancis awalnya dimulai dari sejarah dan budaya. Latar belakang ilmunya sejarah, arkeologi, linguistik, dan filologi. Tokohnya antara lain Denys Lombard, Christian Pelras, Pierre Labrousse, Claudine Salmon, Muriel Charras, Marcel Bonneff, Pierre-Yves Manguin, Claude Guillot, Daniel Peret, Arlo Griffiths. Juga Henri Chambert Loir. Penelitian Henri di antaranya mengenai sejarah Bima, Serpihan Sejarah Bima, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah.

Tapi tak sedikit pula penelitian tentang bidang kontemporer dengan topik aktual. Francois Raillon pernah menerbitkan buku mengenai pers mahasiswa. Penelitiannya tentang koran Mahasiswa Indonesia di awal Orde Baru diterbitkan LP3ES dengan judul Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia. Banyak yang mengkhususkan diri pada politik dan Islam di Indonesia. Andree Feillard baru saja menerbitkan buku berjudul The End of Innocence: Indonesian Islam and the Temptations of Radicalism. Koleganya yang lain, seperti Remy Madinier, memiliki disertasi tentang Masyumi.

Penelitian tentang Indonesia oleh para ahli Prancis lebih banyak dilakukan melalui lembaga penelitian. Lembaga itu antara lain Centre National de la Recherche Scientifique (semacam LIPI Prancis), Centre Asie de Sud Est (CASE, Pusat Studi Asia Tenggara), Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (Sekolah Pendidikan Tinggi Ilmu-ilmu Sosial), Ecole Francaise d’Extreme Orient (EFEO, Sekolah Prancis untuk Timur Jauh), dan Institut National des Langues et Civilisations Orientales (Inalco, Institut Nasional untuk Bahasa dan Peradaban Timur).

Semua lembaga itu berkantor di Paris, hanya EFEO yang memiliki kantor di Jakarta. Di samping itu, ada Indonesianis di sejumlah universitas di Prancis, seperti di Marseilles, Lyon, Paris, Le Havre, dan La Rochelle.

Empat atau tiga dekade lalu, Indonesia masih cukup menarik bagi peneliti Prancis. Tapi kini tarikan magnet Indonesia sudah melemah. "Di bidang saya, geografi budaya, pada 2000-2003 masih ada lima orang yang meneliti Indonesia. Setelahnya nol. Ada satu-dua, tapi tak mendalam," ujar Muriel Charras, Direktur CASE, menggambarkan drastisnya penurunan minat studi Indonesia.

Data Inalco menunjukkan tren serupa. Minat mahasiswa sebelum tahun 2000-an masih sekitar 100 orang per tahun. Sekarang tak sampai 20. Francois Raillon menunjuk bahwa faktor berubahnya wajah Islam Indonesia, terkait dengan kebangkitan kaum radikal di Indonesia, sedikit-banyak mempengaruhi minat meneliti.

"Dulu Islam Indonesia dianggap khas, dengan ciri khusus yang berbeda dengan Islam Timur Tengah," papar Raillon. "Tapi sekarang Islam Indonesia ditandai semacam Arabisasi. Padahal, dulu, bagi para Indonesianis, yang menarik dari Indonesia adalah Islamnya yang pribumi, khas Indonesia. Indonesia dulu menunjukkan suatu versi Islam yang tak harus mengikuti tradisi Timur Tengah, tapi berdasarkan kebudayaan sendiri. Ini memudar."

Menurut dia, mundurnya aspek pribumi dalam Islam Indonesia dan menguatnya keislaman ala Arab atau Afrika Utara membuat Islam Indonesia dianggap bagian biasa dari dunia Islam pada umumnya. Jadinya, jika ada peneliti Islam yang mengkaji Indonesia, ia lebih menempatkannya sebagai bagian kecil saja dari dunia Islam yang lebih besar, yang didominasi Arab.

1 1 1

Meski peneliti Indonesia makin berkurang, tiga Indonesianis yang ditemui Tempo tetap bersemangat membeberkan pengalamannya. Mereka adalah Prof Dr Claudine Salmon, Prof Dr Pierre-Yves Manguin, dan Prof Dr Arlo Griffiths. Claudine masih aktif menulis berbagai artikel, Pierre-Yves Manguin, 66 tahun, masih melakukan penelitian di Sumatera, dan Arlo Griffiths, 35 tahun, meneliti arkeologi di Jawa Timur.

Claudine datang di Indonesia pada 1966-1997. Saat itu dia tengah menyelesaikan tesis tentang sejarah Tiongkok dan pengaruhnya di Vietnam. Tiba di Indonesia justru dia menemukan hal yang lebih berharga. Akhirnya dia banting setir ke Indonesia dan meneliti lebih dalam pengaruh Cina di Indonesia. Dari penelitiannya pulalah diketahui terdapat naskah tulisan tangan, terjemahan ratusan novel berbahasa Tionghoa terbitan 1850 atau sebelumnya. "Padahal tadinya saya tidak ada rencana (penelitian), ternyata besar sekali pengaruh Cina di Indonesia," perempuan lulusan Universitas Sorbonne, Prancis, ini bertutur.

Sepanjang empat dekade ini, dia aktif menulis berbagai buku, paper tentang budaya, sastra, dan masyarakat Cina Indonesia. Awalnya dia mempelajari berbagai prasasti dan barang peninggalan Cina. "Mesti ke mana-mana dalam waktu lama, harus bolak-balik. Memotret obyek dengan film biasa. Eh, hasilnya tidak jelas atau tidak terbaca. Payah sekali, ha-ha-ha...," ujarnya.

Karena terlalu makan waktu dan tenaga, dia pun mencari sesuatu baru dari sudut pandang sastra. Kemudian dia meneliti catatan kuno abad ke-18-19, arsip, surat kabar, mikrofilm, silsilah keluarga Cina, dan sastra Cina. Penelitiannya ini menjadi sangat berharga. "Ini bisa membantu masyarakat Indonesia, Tionghoa. Penting ini," ujarnya.

Setelah pensiun, dia banyak menghabiskan waktu untuk menulis artikel. Sesekali juga diminta menerbitkan kembali buku-buku lama. Rencananya, buku Literary Migration: Traditional Fictions in Asia (17th-20th Century) bakal diterbitkan ulang.

Rumahnya hanya berjarak tiga kilometer dari Menara Eiffel. Jika tak sedang sibuk, dia berolahraga ringan. Gerakan ringan yang diajarkan sewaktu sekolah menengah dulu menjadi andalan untuk menyegarkan tubuhnya. "Supaya otot tetap ada, kan katanya kalau sudah tua otot jadi kurang," ujar kelahiran Beumenil, dusun di dekat Kota Biuyeres, Prancis Timur, ini.

1 1 1

Lain Claudine, lain Yves Manguin. Menjadi guru besar di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (Sekolah Pendidikan Tinggi Ilmu-ilmu Sosial) di Prancis dan Kepala Arkeologi Asia Tenggara Pierre Yves Manguin bolak-balik Prancis-Vietnam-Indonesia. Pada 1977, dia tiba di Indonesia untuk melakukan penelitian lapangan tentang Asia Tenggara kepulauan dan pramodern.

Keahliannya adalah sejarah maritim dan perdagangan laut. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan posisi di jalur perdagangan, menurut dia, sangat istimewa. Dari banyak seminar dan perdebatan tentang Sriwijaya, Pierre pun diminta membantu penelitian. Penelitiannya membuktikan Kerajaan Sriwijaya lahir dan berkembang di Palembang.

Keberadaan Sriwijaya juga memberi makna penting bagi perkembangan Buddha di Asia Tenggara dan Cina Selatan. Dia menemukan bukti adanya hubungan dengan India di Sumatera sebelum munculnya Sriwijaya. "Meski belum ada Indianisasi, sudah ada hubungan dengan India," ujar Pierre.

Pria kelahiran Portugal ini juga diajak terlibat dalam penelitian Tarumanagara bersama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dia berharap menemukan kota di tepi Sungai Citarum itu. Tapi malah menemukan kuburan animisme dari kebudayaan Buni. "Ada kuburan besar tapi belum ketemu kotanya, mungkin perlu digali lagi," ujarnya.

Sriwijaya menjadi penelitian yang cukup menarik. Karena dia bisa mengeksplorasi lapangan dengan cukup optimal. Lokasi di dekat sungai dan laut membuat Pierre kerasan. "Seperti di rumah sendiri," ujarnya sambil terkekeh.

1 1 1

Prof Dr Arlo Griffiths juga tak sengaja meneliti Indonesia. Dia tergolong peneliti yang masih muda. Profesor sejarah Asia Tenggara ini semula mengajar di Belanda. Dia ahli bahasa Sanskerta dan budaya Hindu-Buddha. Bidang ini mulai tak lagi laku di Belanda. Dia pun melamar ke EFEO, lembaga penelitian bidang sosial dan Asia Tenggara.

Dia menelusuri budaya di Kamboja, kemudian masuk ke Indonesia untuk mempelajari budaya Hindu-Buddha, Sanskerta, dan batas-batas wilayah Indonesia kuno. "Kalau tidak ada perbandingan dengan negara lain kurang lengkap dan menarik," ujar Arlo, yang datang di Indonesia tiga tahun lalu.

Dia mengkhususkan diri pada pendataan teks prasasti. Dia melihat banyak peninggalan ini di Sumatera, Jawa, dan Bali. Berbagai prasasti yang disimpan di museum dan ditemukan di lapangan akan dia data. Pendataan yang dia sebut "semacam sensus" ini meliputi tempat prasasti disimpan, huruf yang dipakai, jumlah baris dalam prasasti, dan sebagainya. Hal ini akan dikelompokkan berdasarkan faktor kronologi, geografi, dan bahasanya. Ada bahasa Sanskerta dan Melayu kuno.

Penelitiannya memang baru sebatas ini. Belum mendalami isi prasasti, meski sebenarnya dia mampu karena menguasai epigrafi—kajian prasasti. Di Indonesia, menurut dia, tak kurang ada tiga ribu prasasti. Sayangnya, menurut dia, belum banyak yang diterjemahkan, baik terjemahan dari bahasa Jawa kuno atau Melayu kuno ke bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. "Yang ada sekarang ini baru alih aksara," ujar pria yang baru saja menikahi perempuan Indonesia ini.

Pertengahan Oktober lalu dia melakukan penelitian di bekas Kerajaan Singasari-Majapahit di Jawa Timur. Ia juga mengunjungi beberapa museum, dinas atau instansi yang menangani peninggalan arkeologi, kompleks candi, juga pergi ke rumah penduduk atau lokasi yang ada jejak arkeologinya. Selama itu dia menemukan 10-20 prasasti yang belum pernah dilaporkan. Yang unik, dia juga mendapatkan sebuah prasasti di kandang kambing. "Yang ini sudah agak parah kondisinya, agak susah dibaca," ujarnya tersenyum sambil menunjuk foto-fotonya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus