Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daerah Trocadero bukanlah kawasan Paris yang dipenuhi kafe. Hanya ada beberapa tempat minum dan makan di situ. Tapi tempat ini selalu penuh orang. Letaknya strategis dan menyediakan pemandangan indah: inilah titik terbaik untuk menatap Menara Eiffel. Di situ pula terletak Palais de Chaillot—tempat penandatanganan Deklarasi Hak Asasi Manusia pada 1948.
Di sebuah kafe yang menghadap ke hamparan taman berujung Menara Eiffel itu, suatu hari pada akhir 1970 bertemu tiga peneliti muda Prancis: Pierre Labrousse, Christian Pelras, dan Denys Lombard.
Ketiganya belum terlalu lama saling kenal. Namun mereka cepat menjadi sahabat oleh satu tautan: minat pada Indonesia. Labrousse seorang ahli filologi yang sedang menyusun kamus Indonesia-Prancis, Lombard seorang sejarawan, dan Pelras seorang etnolog. Ketiganya lebih dipertautkan lagi oleh pikiran yang sama: Indonesia begitu besar, "Namun dunia Melayu-Nusantara boleh dikata tak dikenal sama sekali di Prancis. Jika berbicara tentang Asia, perhatian orang Prancis waktu itu masih terpusat pada Indocina," kata Labrousse, kini 72 tahun. Dalam sejarah ilmu pengetahuan Prancis, kata dia, dunia Nusantara selalu dianggap sebagai daerah pinggiran karena berada di luar kepentingan politik Prancis.
Muncullah gagasan menerbitkan sebuah majalah yang mengkhususkan diri pada dunia Nusantara. Namanya Archipel dengan embel-embel "etudes interdisciplinaires sur le monde insulindien" atau studi interdisiplin tentang dunia Nusantara.
Gagasannya muncul dari percakapan warung kopi di Trocadero, Paris, "Tapi tempat lahir Archipel yang sebenarnya bukanlah Paris, melainkan Jakarta," kata Labrousse.
Dan itu adalah Restoran Trio di Jalan Suroso 29, Menteng. Pemandangan dari restoran ini jauh kurang indah dibanding di Trocadero. Tapi di situlah digodok Archipel, yang kemudian berkembang menjadi sebuah jurnal ilmiah sangat berwibawa mengenai Indonesia.
Berkali-kali trio Lombard-Pelras-Labrousse bertemu di Trio. "Denys Lombard terutama yang sangat bersemangat. Menurut dia, cendekiawan dibuktikan dari tulisannya, bukan sekadar dari omongannya," tutur Labrousse.
Gagasan itu segera mendapat dukungan sejumlah ahli Indonesia lain, seperti Claude Guillot, Marcel Bonneff, Henri Chambert-Loir, dan tentu Claudine Salmon, istri Lombard.
"Waktu itu kami masih buta tentang dunia penerbitan, tapi kami nekat saja. Denys mengkoordinasi materi tulisan, yang berhubungan dengan para penulis. Saya mengkoordinasi proses pencetakan dan administrasi," ujar Labrousse, yang beristri Farida Soemargono, penyusun kamus Prancis-Indonesia, yang kemudian bergabung dengan Archipel.
"Harap diingat," Labrousse menambahkan, "Denys Lombard dan Claudine Salmon waktu itu baru tiba dari penelitian di Cina. Sedangkan ayah Lombard adalah ahli Arab. Jadi, sejak awal, Archipel seakan-akan sudah menjadi persimpangan berbagai arus sejarah yang mempengaruhi Indonesia."
Dicetuskan di sebuah kafe di Trocadero, Paris, dan digodok di Restoran Trio, Jakarta, Archipel akhirnya betul-betul lahir di Bandung di sebuah rumah di Karang Setra, tempat Labrousse tinggal. Kebetulan saat itu Labrousse bekerja sebagai dosen di Universitas Padjadjaran, Bandung, dan sedang menyusun kamus Indonesia-Prancis.
Lombard sebagai pemimpin redaksi mengurus semua keredaksian dari Jakarta. Di Bandung, Labrousse mengurus teknis penerbitan Archipel: me-layout, mengeset naskah, dan membawanya ke percetakan Tjikapundung di Jalan Asia Afrika—belakangan menjadi PT Karya Nusantara. Ini berlangsung delapan tahun, mulai edisi pertama 1971 hingga edisi ke-16 pada 1979.
Sesudah itu, dari 1979 hingga 1983, terbitan dua kali setahun ini dicetak bergantian di Bandung dan Yogyakarta. Ini berkaitan dengan kedudukan tiga redakturnya: Henri Chambert-Loir di Bandung, Claude Guillot di Yogyakarta, dan Pierre-Yves Manguin di Jakarta .
Sebetulnya, Labrousse menambahkan, "Mula-mula kami mengarahkan Archipel sebagai suatu majalah yang lebih terbuka. Dalam arti berisi juga wawancara dan artikel-artikel yang lebih pribadi." Karena itu, pada nomor-nomor awal, Archipel memuat wawancara Labrousse dengan, antara lain, sastrawan Ajip Rosidi, pelukis A.D. Pirous, bahkan aktris Fifi Young.
Dampaknya lumayan. Misalnya wawancara Archipel boleh dikata membuka pintu pelukis A.D. Pirous ke Afrika Utara. Kepada Labrousse, Pirous mengaku, berkat wawancara Archipel, waktu itu ia diundang ke sebuah pameran di Maroko.
Yang juga selalu dikenang Labrousse adalah penerbitan nomor kelima pada 1974, yang khusus mengupas secara dalam tentang film Indonesia lengkap dengan filmografinya. "Waktu itu belum ada pihak yang melakukan filmografi lengkap tentang film Indonesia," Labrousse menegaskan.
Archipel dibaca para peminat, yang memang merupakan sasaran mereka. Para peneliti, perpustakaan, dan berbagai lembaga ilmiah berlangganan. Juga sejumlah kawan pribadi para redaktur, yang berlangganan sebagai bentuk solidaritas. Lambat-laun berbagai lembaga penelitian ilmiah Prancis terlibat, sebagai bagian dari penerbitan, dan menyubsidi Archipel.
Penerbitan jadi lebih terjamin. Namun, "Kami makin lama makin berada di lingkungan ilmiah murni, sehingga Archipel harus disesuaikan sedikit demi sedikit dengan tradisi penulisan ilmiah yang formal," tutur Labousse setengah mengeluh.
Ini sering membuat Labrousse merasa kehilangan karena penulisan Archipel menjadi tak memungkinkan lagi bergaya esai.
Setidaknya ada empat lembaga ilmiah Prancis yang mendukung langsung Archipel: Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS, semacam LIPI Prancis), Ecole Francaise d’Extreme Orient (Sekolah Prancis untuk Timur Jauh), Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), dan Institut National des Langues et Civilisations Orientales.
Dukungan didapat terutama dalam hal ahli yang mengirim tulisan. Juga, sejak 1986, tenaga pekerja. Dukungan dana langsung tak terlalu banyak. CNRS, misalnya, sempat menyumbang hingga 2.000 euro per tahun. Sekarang sudah berhenti, tinggal tenaga pegawai yang mereka tempatkan di Archipel.
Sudah tentu, dana awal penerbitan Archipel berasal dari kantong pribadi para pendirinya. "Kira-kira setiap orang merogoh 2.000 euro kalau nilai sekarang. Dan uang itu tak pernah dikembalikan, ha-ha-ha…," Labrousse tergelak. Namun, ujarnya, investasi pribadi itu pulalah yang membuat mereka merasa memegang penuh majalah itu.
Namun Archipel ternyata berhasil dan berkembang menjadi salah satu jurnal ilmiah paling penting dan paling berwibawa mengenai Indonesia. Bahkan, belakangan, begitu banyak peneliti yang tidak berbahasa Prancis yang mengirim tulisan. Memang Archipel dari permulaan memuat tulisan tiga bahasa: Prancis, Inggris, dan Indonesia.
Menurut Labrousse, keberhasilan Archipel terutama karena determinasi luar biasa Lombard, yang mengelola keredaksian di masa awal, dengan pandangan tajamnya sebagai seorang ahli sejarah terkemuka di dunia ilmu pengetahuan. Sedangkan Labrousse lebih mengurus administrasi dan berbagai hal teknis: mengeset, mencuci film, dan menata letak. Juga mengurus keluar-masuk uang secara disiplin. "Sebab, biasanya cendekiawan tahunya hanya ada uang, tapi tak terlalu sering berpikir bagaimana mengadakannya," ujar Labrousse terbahak.
Sesudah berpindah-pindah di Bandung-Jakarta-Yogyakarta, penerbitan Archipel sepenuhnya hijrah ke Paris pada 1980-an karena pengelolanya sebagian besar kembali ke Paris. Namun sebetulnya alamat redaksi sejak awal menggunakan alamat Paris, menumpang pada kantor Cedrasemi, kelompok peneliti tentang Asia Tenggara. Baru pada 1976 Archipel menumpang di kantor EHESS sesudah Lombard diangkat sebagai direktur di lembaga itu.
Lombard meninggal pada 1998. Christian Pelras sudah sangat uzur. Cuma tinggal Labrousse dari tiga pendiri Archipel yang masih aktif hingga sekarang.
Kepemimpinan redaksi Archipel sepeninggal Lombard dialihkan kepada Marcel Bonneff. Lalu berturut-turut digantikan oleh Henri Chambert-Loir, lalu Claude Guillot, lantas Claudine Salmon, kemudian François Raillon, dan sekarang Daniel Perret serta Jerôme Samuel.
Kalau disebutkan Archipel sebagai jurnal ilmiah yang sukses, jangan membayangkan tirasnya puluhan ribu. Sebab, Archipel merupakan jurnal ilmiah yang cakupannya sangat terbatas, terfokus pada Indonesia—sebagaimana namanya: archipel, arkipelago, atau kepulauan. Tiras Archipel awalnya 800 dan sempat dicetak lebih dari 1.000 eksemplar. Namun kini stabil pada angka 600 eksemplar, dan terjual minimum 80 persen.
Memang tidak "murni" karena 120 eksemplar dibeli Kedutaan Prancis di Jakarta, yang menyebarkannya ke berbagai lembaga dan perorangan mitra Kedutaan Besar Prancis. Sisanya rata-rata diserap perpustakaan, lembaga-lembaga penelitian, dan para peneliti di seluruh dunia.
Dari isi keseluruhan, sejak muncul pertama kali 41 tahun lalu, Archipel menerbitkan kurang-lebih 17 ribu halaman artikel ilmiah tentang dunia Nusantara serta 40 buku. Penerbitan 40 buku itu dilakukan berselang-seling dengan jurnalnya, yang merupakan bagian dari program Cahiers d’Archipel. Yang terakhir adalah empat jilid buku yang diterbitkan sebagai kenangan dan penghormatan kepada mendiang Lombard. Judulnya L’horizon nousantarien (Cakrawala Nusantara, 1998-2000) dan Indonésie: Retour sur la crise (Indonesia: Tinjauan Ulang Krisis, 2002), lalu Autour de la peinture à Java (Sekitar Seni Lukis di Jawa, dua jilid, 2005 dan 2006), serta Musiques d’un Archipel (Musik Sebuah Kepulauan, 2010).
"Ini berarti," ujar Labrousse, "Archipel sudah menghasilkan jumlah penerbitan yang dua atau tiga kali lebih banyak daripada seluruh penerbitan Prancis lain sepanjang abad tentang dunia Nusantara." Labrousse yakin semua itu membuktikan kemampuan Archipel mempertemukan para peneliti dari semua negara. Ini tentu bukan pencapaian yang kecil.
Isi Archipel menekankan pada sejarah sebagai sumber pengertian masa kini. Namun, "Karena sejarah makin lama makin kurang diwakili di antara peneliti dunia Nusantara," tutur Labrousse, "Archipel berubah menjadi tempat pertemuan para ahli yang tetap berpegang pada keutamaan sejarah sebagai dasar pengetahuan."
Pendekatan ini, selain di Archipel, dikembangkan lewat seminar Lombard di EHESS, kemudian oleh Claude Guillot, yang diangkat sebagai penggantinya. "Kedua usaha itu, seminar serta penerbitan ilmiah, sangat terikat dan merupakan dasar penelitian," tutur Labrousse.
Masalahnya sekarang, kata Labrousse, Archipel harus menghadapi tantangan revolusi informatika: digitalisasi dan internetisasi. Sekarang Archipel sudah bisa dibaca di Internet, juga arsip edisi-edisi lamanya.
"Yang saya tak tahu pasti, apakah edisi cetaknya akan dihentikan dan digantikan sepenuhnya oleh edisi Internet," Labrousse tercenung. Sesudah membangunnya bersama sejumlah kawannya lebih dari 40 tahun lalu, di usia senjanya sekarang, ia tak bisa membayangkan suatu hari tak lagi memegang Archipel di tangannya, dan hanya bisa membacanya di layar komputer.
Labrousse dan Flatnya
Dari jendela flatnya, Pierre Labrousse bisa menikmati pemandangan Paris yang spektakuler: Menara Eiffel, Sacre Coeur, dan Notre Dame. Hampir semua monumen kunci Paris sebagaimana sering kita lihat di film-film romantis. Maklum saja, Labrousse tinggal—bersama istrinya, Farida Soemargono—di lantai 49 apartemen pencakar langit terakhir di kawasan Place d’Italie sebelum kawasan kota tua. "Di kawasan kota tua, kawasan bersejarah, tidak boleh ada gedung tinggi," ujar Labrousse.
"Saya memang membeli pemandangan," kata Labrousse mengenai keputusannya pada 1971 membeli flat itu.
Ruangan-ruangan flat Labrousse penuh dengan buku, benda dan perabotan Indonesia, serta puluhan lukisan.
Di satu ruangan bisa ada 5-6 lukisan. Labrousse memang pemburu lukisan, yang kerap mendatangi pasar-pasar loak atau balai-balai lelang. Sebagian besar yang ia buru adalah lukisan produksi 1700-an hingga awal 1900-an dari pelukis yang bukan termasuk golongan nama "canon". Namun lukisan-lukisan itu otentik dan kuat. "Sering kali itu lukisan yang ditelantarkan karena pelukisnya tak dikenal. Namun, kalau rajin meriset dan mencari, kita bisa menemukan nama pelukisnya. Misalnya ada sebuah lukisan yang begitu kuat dan unik saya temukan di sebuah pasar loak. Saya memang harus merestorasinya. Biayanya sama dengan harga lukisannya. Namun ketahuan kemudian, pelukisnya adalah pesaing Ruben pada masanya, tapi ya kurang dikenal."
Labrousse menghabiskan masa pensiunnya di Paris dan rumah peristirahatan di Massif Central—pegunungan di Prancis Tengah.
Setiap tahun dia menjadwalkan kunjungan ke Indonesia.
Sekarang dia sedang dalam tahap akhir penyusunan kamus lengkap Indonesia-Prancis terbaru.
Dia juga terus memantau penerbitan Archipel kendati tidak seintens dulu. Kebetulan kantor Archipel, sekarang di gedung Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, hanya 15 menit berjalan kaki atau tiga halte metro dari rumahnya.
Dan Labrousse masih kelihatan sangat bugar pada usianya yang senja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo