Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI otoritas penjamin setiap lembar rupiah yang beredar, Bank Indonesia (BI) paling direpotkan dengan meningkatnya peredaran uang palsu. Makin merebaknya isu seputar ini juga membuat bank sentral khawatir hal itu bisa memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap rupiah sebagai alat tukar resmi. "Apalagi banyak rumor yang tidak terkonfirmasi kebenarannya," kata Deputi Gubernur Senior BI, Anwar Nasution. Berikut petikan wawancara wartawan TEMPO, Y. Tomi Aryanto, dengan guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu melalui sambungan telepon, Jumat pekan lalu.
Uang palsu pada masa pemilihan umum ini cenderung meningkat. Apakah jumlahnya sudah membahayakan sistem keuangan?
Dari yang ditemukan, jumlahnya masih kecil, belum sampai mempengaruhi sistem keuangan atau moneter. Yang jadi masalah adalah yang kita tidak tahu. Saat ini beredar rumor tentang adanya berkontainer-kontainer uang palsu. Ini kan tidak jelas. Tapi rumor itu bisa muncul dan merebak karena publik ingat, dulu ada seorang kolonel CPM (polisi militer) mantan Pasukan Pengawal Presiden yang terlibat. Ini serius sekali. Apalagi jaringan di balik itu tak sempat terungkap.
Apa tindakan BI?
Kami akan mempercepat penarikan pecahan tertentu. Bukan karena palsu, tapi karena ada begitu banyak isu. Ini hanya cara memutus rantai pemalsuan sekaligus memberi kepastian kepada publik.
Dibandingkan dengan mata uang lain, separah apa pemalsuan terhadap rupiah?
Kami tidak tahu pasti data itu. Tapi biasanya, dalam masyarakat yang sedang krisis seperti kita ini, kejahatan seperti itu muncul lebih banyak. Begitu banyak orang menganggur dan kesulitan, tentu mereka mudah tergoda melakukan hal-hal yang tidak baik. Bukan hanya pemalsuan uang, tapi juga kejahatan lain seperti meningkatnya perompakan di Selat Malaka, dan sebagainya.
Apa dampak terburuk dari makin merebaknya isu uang palsu?
Orang menjadi tidak yakin dengan uang yang ada di dompetnya, asli atau palsu. Ini akan sangat mengganggu sistem pembayaran. Bagaimana kalau orang menerima uang dari langganannya, lalu tidak yakin itu asli atau palsu? Bayangkan juga susahnya kalau istri tidak lagi tahu uang yang diberikan suaminya asli atau tidak. Bisa-bisa ia tidak berani belanja ke pasar. Efek lain tentu saja inflasi. Sebab, kalau benar uang palsu itu beredar, akan terjadi kelebihan. Yang paling buruk, masalah ini akan menyulitkan transaksi. Biaya setiap transaksi akan lebih mahal karena waktu yang dibutuhkan jadi lebih lama. Setiap lembar uang harus dicek untuk menguji keasliannya.
Benarkah rupiah palsu sebenarnya uang asli, hanya nomor serinya yang digandakan?
Memang banyak sekali rumor, dan susahnya itu tidak bisa kita konfirmasikan kebenarannya. Itu terjadi di mana-mana. Dulu memang terjadi di ujung masa pemerintahan Soeharto dan selama masa transisi ke pemerintahan reformasi. Apalagi ada peristiwa Timor Timur kala itu. Tapi, apakah itu benar, kami tidak tahu.
Bukankah BI bertugas menjelaskan?
Sudah jelas, kami lalu menarik pecahan 50 ribuan yang banyak dipalsu ketika itu. Tapi bukan tugas bank sentral membuktikan rumor tersebut benar atau tidak. Itu tugas polisi dan jaksa. Bagaimana menjelaskan ada bekas kolonel tentara bisa jadi anggota jaringan pemalsu uang? Sama seperti wartawan TEMPO yang tidak harus membuktikan tulisannya tentang dugaan kejahatan, karena itu menjadi tugas aparat hukum. Ini bukan apologi, tapi hanya menempatkan masalah sesuai dengan proporsinya. Yang sudah-sudah kan begitu.?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo