Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Seruan Lula dari Tepi Laut Merah

COP27 Mesir molor sehari. Alot membahas pendanaan kerusakan dan kerugian krisis iklim untuk negara berkembang.

20 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva menyerukan mitigasi iklim dan keadilan sosial di COP27.

  • Brasil bersama Indonesia dan Kongo membentuk aliansi Tropical Forest for Climate and People.

  • COP27 menargetkan biaya mitigasi iklim sebesar US$ 134 miliar setahun.

BINTANG konferensi iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada 6-18 November 2022 bukan Joe Biden, Presiden Amerika Serikat yang berjanji mengembalikan Amerika ke jalan Perjanjian Paris 2015 yang diputus Donald Trump, atau Rishi Sunak, warga keturunan India pertama yang menjadi Perdana Menteri Inggris pada usia 42 tahun. Tapi Lula da Silva.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Luiz Inácio Lula da Silva baru saja terpilih kembali menjadi Presiden Brasil. Politikus Partai Buruh 77 tahun ini mengalahkan Presiden Brasil 2019-2022, Jair Bolsonaro, politikus Partai Liberal yang konservatif. Dalam putaran kedua pemilihan pada 30 Oktober 2022, Lula unggul 1,8 persen suara dengan mengusung janji menyelamatkan Hutan Amazon yang porak-poranda di masa Bolsonaro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari sembilan negara Amerika Latin yang bersinggungan dengan 1,4 miliar hektare hutan hujan tropis Amazon, Brasil memiliki wilayah terluas, hampir 60 persen. Janji Lula melindungi Amazon menarik minat anak-anak muda Negeri Samba yang cemas akan krisis iklim. Karena itu, kedatangan Presiden Brasil 2003-2010 ke kota pantai di tepi Laut Merah pada Rabu, 16 November lalu, itu disambut bak bintang musik rock.

Para aktivis, pejabat, ilmuwan, dan anggota masyarakat adat berdiri memenuhi ruang konferensi. Yel-yel “Lula! Lula!” menggetarkan dinding ruang pertemuan. Menteri Luar Negeri Mesir yang menjadi Presiden COP27 Mesir, Sameh Shoukry, mengantar Lula ke podium untuk berpidato. “Saya berdiri di sini untuk mengatakan Brasil siap kembali,” kata Lula, disambut gemuruh tepuk tangan.

Brasil adalah negara pertama Konferensi Tingkat Tinggi Bumi pada 1992, cikal-bakal konferensi iklim tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terkenal dengan nama Conference of the Parties atau COP. Baru pada 1997 konferensi iklim di Jepang menghasilkan Protokol Kyoto yang mewajibkan negara-negara maju menurunkan emisi karbon untuk mencegah pemanasan global.

Perjanjian Paris 2015 menjadi batu loncatan berikutnya. COP21 mewajibkan semua negara menurunkan emisi dan menuangkan upayanya dalam proposal nationally determined contribution. Ada 194 negara yang menandatangani traktat yang menetapkan dunia harus bersama-sama mencegah krisis iklim dengan menahan suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat Celsius dibanding masa pra-industri pada 2030. Caranya adalah memangkas 45 persen produksi emisi global dari 51 miliar ton setara karbon dioksida atau CO2 setahun.

Selama menjadi presiden, Jair Bolsonaro tak pernah menghadiri COP. Ia menunjuk para tokoh yang ragu akan krisis iklim sebagai anggota kabinet. Kebijakan menarik investasi Bolsonaro membuat deforestasi Amazon mencapai angka tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Lula berjanji menghentikan semua kebijakan rivalnya dengan kembali melindungi Amazon dan 305 suku masyarakat adat yang mencakup 0,5 persen populasi Brasil.

Anak-anak muda berdemonstrasi di arena COP27 Sharm el-Sheikh, Mesir, menyerukan delegasi COP27 memasukkan biaya dampak dan pemulihan lingkungan rusak akibat krisis iklim, 10 November 2022. (TEMPO/ Bagja Hidayat)

Menurut Lula, tak ada mitigasi iklim tanpa keadilan sosial. Ia mengecam para pemimpin dunia yang menghabiskan dana besar untuk perang dan investasi di industri ekstraktif alih-alih melindungi planet bumi. Lula menyeru negara-negara maju memenuhi janji mereka menyalurkan US$ 100 miliar per tahun untuk melindungi lingkungan negara berkembang. Ia mengulang janji kampanyenya mewujudkan nol deforestasi dan degradasi Hutan Amazon pada 2030. 

Karena itu, Lula berencana membawa Brasil membentuk aliansi hutan hujan tropis bersama Indonesia dan Republik Demokratik Kongo—tiga wilayah hutan hujan tropis terbesar di dunia. Dengan aliansi itu, tutur Lula, negara-negara tropis bisa punya kekuatan lebih dan daya tawar tinggi terhadap negara maju dalam hal mitigasi iklim. Selama ini negara maju yang menghasilkan emisi gas rumah kaca besar penyebab pemanasan global acap ingkar janji membayar “utang ekologi” mereka kepada negara berkembang.

Janji kampanye Lula itu terwujud di Paviliun Indonesia. Pada 7 November 2022, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Brasil Marcus Paranaguá; Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Indonesia Nani Hendiarti; serta penasihat Menteri Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan Kongo, Malassi Joseph, mengumumkan “Tropical Forest for Climate and People”. 

Menurut Paranaguá, inisiatif ini bermula dari COP26 di Glasgow. Menteri Lingkungan Skotlandia Màiri McAllan berinisiatif mempertemukan tiga negara tropis untuk menjalin kerja sama. Para pejabat tiga negara itu menindaklanjutinya dengan pertemuan-pertemuan lain di pelbagai forum. “Pembicaraan aliansi ini sudah sangat panjang, melibatkan banyak orang, semoga dokumen final kerja sama bisa segera kami deklarasikan,” ucap Paranaguá.

Meski belum terlalu jelas bentuknya, para aktivis antusias menyambut inisiatif ini. Dua hari setelah itu, di Brazil Climate Hub ada diskusi “South and South Cooperation” membicarakan kerja sama teknis jika aliansi ini benar-benar terwujud setelah Lula menjadi Presiden Brasil ke-39 definitif pada 1 Januari 2023. Silverius Oscar Unggul, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang menjadi pembicara diskusi, mengatakan aliansi hutan tropis itu penting untuk menjamin kesejahteraan masyarakat hutan. 

Sebab, melindungi hutan tanpa kesejahteraan sama destruktifnya dengan merusak hutan. Segitiga penopang kelestarian lingkungan—sosial, ekonomi, dan ekologi—menjadi basis mitigasi iklim. Pembicara dari Brasil dan Ghana mengajukan gagasan kerja sama agroforestri sehingga komoditas petani hutan bisa memiliki pasar yang luas untuk menopang ekonomi mereka.

Menurut Oscar—Presiden Telapak Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat—pasar petani hutan Indonesia sangat besar. Kajian Kadin menyebutkan, jika digabungkan, nilai pasar kakao dan kopi saja bisa menyamai nilai pasar minyak sawit Indonesia sebesar US$ 50 miliar setahun. “Jika tiga wilayah bisa bekerja sama, nilainya akan lebih besar,” ujarnya.

Insentif ekonomi untuk melindungi lingkungan amat penting dalam mitigasi iklim. Para pembicara mengatakan agroforestri menjadi skema yang cocok untuk itu. Sistem ini memungkinkan petani hutan melindungi pohon yang menjadi naungan untuk komoditas pertanian. Produk-produk petani hutan Indonesia, kata Oscar, unik sehingga bisa menjadi obyek pertukaran dagang di wilayah hutan hujan tropis. 

Sebagai organisasi pengusaha, Oscar melanjutkan, Kadin tertarik menindaklanjutinya dengan menghubungi organisasi pengusaha di Brasil dan Kongo. Sebab, problem utama agroforestri adalah masalah akses pasar dan kualitas produk. Di Indonesia, produk agroforestri lewat program perhutanan sosial seluas 5,2 juta hektare melibatkan lebih dari 1,1 juta orang. Namun nilai perdagangannya baru Rp 43,9 miliar pada 2022. 

Peran pengusaha, karena itu, menjadi penting. Dari 9.897 kelompok usaha perhutanan sosial, mereka yang masuk kategori platinum (artinya produknya stabil dan punya pasar tetap) hanya 0,51 persen. Sisanya baru membangun lembaga, mengembangkan produk, dan mencari pasar untuk komoditas mereka. Kelompok platinum tertolong oleh adanya offtaker atau dunia usaha yang menjamin produk hutan sosial mereka.

Tanpa aliansi tiga wilayah tropis, menurut Oscar, mitigasi iklim akan bergantung pada pembiayaan negara maju. Presiden COP27 Sameh Shoukry mengatakan, guna mencapai target Perjanjian Paris 2015, biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi demi mencegah pemanasan global US$ 4-7 triliun setahun. Sedangkan negara-negara maju baru mengalokasikan US$ 100 miliar. Itu pun tak kunjung terpenuhi.

Menurut Shoukry, COP27 menargetkan angka baru biaya mitigasi iklim sebesar US$ 134 miliar setahun. Meski masih terlalu kecil dibanding kebutuhan, dana ini akan dialokasikan untuk memperbaiki dan melindungi lingkungan dengan skema hibah, pinjaman lunak, atau pinjaman bunga rendah. Skema terakhir ini ditolak para aktivis lingkungan yang berdemonstrasi di area COP27, termasuk kelompok-kelompok anak muda dari pelbagai negara yang datang ke Sharm el-Sheikh.

Mereka menyerukan loss and damage atau pembiayaan kerugian dan kerusakan lingkungan karena krisis iklim hanya dengan hibah, bukan pinjaman yang akan memberatkan negara berkembang dan kian memicu ketimpangan. PBB memperkirakan nilai kerugian serta kerusakan ekonomi dan sosial akibat krisis iklim di negara-negara berkembang mencapai US$ 1 triliun setahun. 

Sebetulnya seruan ini ada sejak COP25 2019 di Madrid, Spanyol. COP25 menghasilkan Santiago Network yang berisi aliansi negara-negara berkembang untuk merumuskan negosiasi akses keuangan global negara maju. Seperti dalam COP lain, aliansi-aliansi itu belum menunjukkan hasil signifikan.

Salah satu skema pembiayaan yang memakai mekanisme pasar adalah perdagangan karbon di semua sektor penyebab krisis iklim: energi, kehutanan, pertanian, limbah, dan proses produksi. Dengan hutan yang rusak seluas 35 juta hektare atau 29 persen dari luas total hutan, Indonesia berpeluang besar mendapatkan pendanaan lewat skema ini. Perdagangan karbon terbentuk melalui kegiatan restorasi atau pemulihan hutan rusak.

Indonesia makin dekat dengan perdagangan karbon. Sebelum COP27, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Aturan teknis perdagangan karbon ini menyediakan beberapa skema: perdagangan emisi melalui cap and trade dan carbon offset, pungutan atas karbon, pembayaran berbasis kinerja, dan skema lain yang sesuai dengan teknologi.

Contoh pembayaran berbasis kinerja adalah kerja sama menurunkan deforestasi Indonesia dengan Norwegia. Pemerintah Norwegia, sebagai produsen emisi, membayar tiap unit karbon yang tersimpan di hutan Indonesia dari penghindaran deforestasi seharga US$ 5 per ton. Untuk pencegahan deforestasi 2016-2017, Norwegia akan membayar US$ 54 juta.

Skema lain adalah hibah dari lembaga-lembaga multilateral, seperti Bank Dunia atau Green Climate Fund. Di sektor lahan dan kehutanan, pemerintah mengandalkan program FOLU Net Sink atau emisi negatif sektor kehutanan melalui penghindaran deforestasi dan degradasi lahan (REDD+). Dua pekan lalu, Bank Dunia mencairkan Rp 320 miliar untuk Provinsi Kalimantan Timur yang dinilai bisa menurunkan deforestasi pada 2020-2021.

Masalahnya, perdagangan karbon berbasis pasar yang bisa diikuti secara massal oleh pelaku usaha dan masyarakat masih jauh. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2022 masih harus menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis lewat peta jalan perdagangan karbon. Artinya, infrastruktur perdagangan emisi berbasis pasar masih belum akan berjalan.

Situasi ini bisa menjadi bumerang bagi pembiayaan hijau mitigasi iklim. Menurut Paul Butarbutar, mantan Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia yang menjadi negosiator Pasal 6 Perjanjian Paris tentang perdagangan karbon di COP27, lamanya implementasi perdagangan emisi berkejaran dengan teknologi penangkap karbon yang kini sedang dikembangkan negara dan orang kaya semacam Bill Gates.

Jika teknologi penangkap emisi marak, perdagangan karbon berbasis lahan dan ekosistem akan mendapat pesaing. “Tapi penangkap emisi itu teknologi mahal,” tutur Paul. “Perdagangan karbon paling murah, ya, berbasis lahan meskipun sangat bergantung pada penawaran dan permintaan.”

Maka politikus seperti Lula da Silva menyeru aliansi negara berkembang dan pemilik hutan tropis bersatu menaikkan daya tawar mereka atas aset hutan di pasar karbon dan akses terhadap keuangan global. Dengan visi dan tekad seperti itu, tak mengherankan Lula menjadi bintang COP27 Mesir tahun ini, meskipun seruannya tak menembus dinding negosiasi yang alot menyepakati panduan biaya kerugian dan kerusakan akibat krisis iklim.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seruan Lula dari Tepi Laut Merah"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus