Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank menyelesaikan asesmen untuk taksonomi hijau.
Masih ada kriteria dalam taksonomi hijau yang mengakomodasi bisnis tak ramah lingkungan.
Sertifikasi hijau untuk industri masih bersifat sukarela.
MANAJEMEN PT Bank BTPN Tbk kini berupaya membereskan asesmen atau penilaian akurat terhadap usaha nasabah agar cocok dengan kriteria taksonomi hijau bisnis berkelanjutan—salah satu indikator untuk mendapatkan pembiayaan hijau atau green financing. Communications and Daya Head Bank BTPN Andrie Darusman mengatakan proses ini tidak mudah. "Salah satu tantangannya adalah memilah usaha berdasarkan kriteria hijau, kuning, dan merah dalam taksonomi hijau," katanya kepada Tempo, Jumat, 18 November lalu.
Taksonomi hijau adalah dokumen panduan pengembangan produk dan jasa keuangan berkelanjutan. Dengan kata lain, taksonomi hijau adalah semacam katalog kegiatan usaha apa saja yang mendukung upaya pelindungan lingkungan hidup, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim. Panduan ini bakal dimanfaatkan bank atau lembaga keuangan lain yang akan memberikan pembiayaan hijau atau green financing bagi suatu sektor usaha.
Otoritas Jasa Keuangan memberi kriteria layaknya lampu lalu lintas dalam taksonomi hijau. Hijau diberikan untuk kegiatan usaha yang benar-benar aman bagi lingkungan serta bisa mendorong upaya mitigasi perubahan iklim. Kuning artinya tidak berbahaya bagi lingkungan. Merah diberikan untuk bisnis yang berbahaya bagi lingkungan.
Namun ada saja celah yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha tertentu. Analisis Senior Climate Policy Initiative, Luthfyana Kartika Larasati, mengatakan ada sektor usaha yang memanfaatkan klasifikasi kuning, padahal terdapat risiko bahaya bagi lingkungan. Dia memberi contoh, dalam kategori kuning ada sektor clean coal atau batu bara “bersih” yang bisa memperoleh green financing meskipun dengan penilaian risiko kredit lebih tinggi.
Menurut Luthfyana, walau ekosistem sudah terbentuk, upaya pembiayaan berkelanjutan dari bank belum optimal. "Inisiatif bank dalam pembiayaan hijau terkadang belum ambisius bila belum ada mandat dari regulator dan belum ada bank lain yang melakukan hal serupa," ujarnya dalam diskusi tentang komitmen pembiayaan hijau bank nasional pada Juni lalu.
Luthfyana yakin Peraturan OJK Nomor 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik bisa mendorong pembiayaan hijau. Aturan ini memuat 12 kegiatan yang masuk kriteria keuangan berkelanjutan. Sebelas di antaranya berkaitan dengan pembiayaan portofolio lingkungan, satu sisanya adalah portofolio sosial untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). "Tantangan ke depan bukan hanya berkaitan dengan lingkungan, tapi juga sosial, seperti UMKM.”
Pada 2021 dan 2022, sejumlah bank milik negara mencatatkan kenaikan angka pembiayaan dalam kategori kegiatan usaha berkelanjutan (KKUB). PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, misalnya, menyalurkan kredit berkelanjutan Rp 614,2 triliun. Angka ini setara dengan 65,1 persen dari total kredit perseroan pada 2021. Dari angka tersebut, sebanyak Rp 70,8 triliun mengalir ke pembiayaan hijau dan Rp 534,4 triliun ke pembiayaan sosial.
Sedangkan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyalurkan pembiayaan KKUB Rp 205,4 triliun pada 2021. Angka ini naik 23 persen dibanding pada 2020. Penyaluran kredit ke sektor UMKM sebesar Rp 107 triliun, sektor energi baru dan terbarukan Rp 4,4 triliun, kelapa sawit berkelanjutan Rp 89,1 triliun, air berkelanjutan dan pengelolaan limbah air Rp 1,2 triliun, transportasi bersih Rp 2,1 triliun, dan subsektor lain Rp 5,6 triliun.
Sedangkan pembiayaan KKUB PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI pada 2021 sebesar Rp 172,4 triliun, naik 20 persen dibanding pada 2020. Angka portofolio hijau BNI per Maret 2022 mencapai Rp 170,5 triliun. Pembiayaan untuk UMKM dan pemberdayaan sosial ekonomi memiliki porsi terbesar, yaitu Rp 115,2 triliun, pengelolaan sumber daya alam hayati dan tata guna lahan yang berkelanjutan Rp 14,9 triliun, energi baru Rp 10,3 triliun, pencegahan polusi Rp 6,8 triliun, dan pembiayaan hijau lain Rp 23,3 triliun.
Bukan cuma masalah asesmen, dukungan dari regulator untuk mendorong sertifikasi hijau bagi pelaku usaha juga menjadi persoalan. Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan selama ini sertifikasi hanya dibebankan kepada bank. "Dorongan regulator lebih besar kepada lembaga jasa keuangan. Belum terlalu signifikan kepada pelaku usaha," tuturnya pada Kamis, 17 November lalu.
Pemerintah memang masih menggodok peraturan tentang kewajiban perusahaan memenuhi Standar Industri Hijau (SIH). Selama ini penerapan SIH masih bersifat sukarela.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan tingkat partisipasi pelaku usaha dalam memenuhi SIH demi memperoleh pembiayaan hijau masih rendah. Dalam agenda Penghargaan Industri Hijau tahun lalu, hanya ada 152 perusahaan yang berpartisipasi.
Saat ini baru ada 44 perusahaan industri yang sudah mengantongi sertifikat hijau bisnis berkelanjutan. Padahal dalam direktori industri manufaktur 2021 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik, jumlah perusahaan industri skala menengah dan besar mencapai 29 ribu entitas. Artinya, sampai tahun lalu perusahaan yang mengantongi SIH kurang dari 1 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo