Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia mendapatkan komitmen pendanaan hijau JETP US$ 20 miliar.
Bank makin rajin mengucurkan kredit untuk sektor usaha berkelanjutan.
Pemerintah mesti mewaspadai bunga dari green financing seperti JETP.
HARAPAN itu terbit di Nusa Dua, Bali. Di Pulau Dewata itu, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 membuahkan asa yang ditunggu-tunggu: pendanaan untuk proyek transisi energi. Di sela-sela konferensi, Bank Pembangunan Asia (ADB) menyepakati bantuan untuk program transisi energi bagi Indonesia melalui skema energy transition mechanism (ETM) country platform. Ini adalah salah satu bentuk pendanaan hijau atau green financing yang bakal membuat gerakan ekonomi hijau kian bersemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Setelah G20, perjalanan transisi energi baru saja dimulai dan kami memiliki banyak hal yang harus dilakukan,” kata Country Director ADB Jiro Tominaga dalam acara Tempo Economic Forum di Nusa Dua pada Jumat, 18 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADB meneken nota kesepahaman dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pada Ahad, 13 November lalu. Dalam perjanjian itu, ADB akan membantu program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Salah satu pembangkit yang akan menjalani program itu dengan pendanaan ADB adalah PLTU Cirebon 1 berkapasitas 660 megawatt milik Cirebon Electric Power. ADB memberikan fasilitas senior debt dengan syarat tenor perjanjian jual-beli listrik antara Cirebon Electric dan PLN dipersingkat.
Presiden Joko Widodo (kedua belas kanan) bersama para kepala negara dan kepala pemerintahan negara anggota G20 dan pimpinan organisasi internasional usai menanam bakau saat rangkaian KTT G20 Indonesia di Taman Hutan Raya, Ngurah Rai, Denpasar, Bali, 16 November 2022. ANTARA /Media Center G20 Indonesia/Sigid Kurniawan
Jiro memperkirakan percepatan penghentian PLTU batu bara yang dilakukan dalam 15 tahun mendatang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 30 juta ton. "Ada kesadaran internasional yang meningkat mengenai hal ini. Namun Anda tahu ini masih jauh. Metode itu membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menyelesaikannya," ucapnya.
Kesepakatan penting lain yang diperoleh di sela KTT G20 adalah Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam program ini, Indonesia mendapat pendanaan untuk proyek berbasis energi terbarukan, seperti pengembangan kendaraan listrik dan pensiun dini PLTU.
Pemberi dana adalah negara-negara yang tergabung dalam International Partners Group atau IPG, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Denmark, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia, Inggris, dan Irlandia Utara. IPG mengucurkan dana US$ 20 miliar atau sekitar Rp 311 triliun. "Bersama kita memobilisasi dana pengembangan energi terbarukan dan mendukung transisi energi untuk menjauhi batu bara," ujar Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Selasa, 15 November lalu.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Pahala Nugraha Mansury di Jakarta, 9 November 2022. Tempo/Tony Hartawan
Program-program ini yang membuat banyak orang lega. Sepekan sebelum KTT G20 berakhir, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Pahala Mansury masih cemas forum itu tak akan menghasilkan kesepakatan ataupun pengakuan terhadap pembiayaan pensiun dini PLTU batu bara sebagai bagian dari transisi energi hijau. “Padahal ini seharusnya diakui sebagai pembiayaan hijau,” tuturnya kepada Tempo di kawasan Patra Jasa, Jakarta Selatan, pada Rabu, 9 November lalu.
Maklum saja, Pahala kini tengah menjalankan program pensiun dini PLTU milik PLN. Salah satunya PLTU Palabuhanratu di Jawa Barat berkapasitas 3 x 350 megawatt. Pemerintah merancang “perjodohan” PLN dengan PT Bukit Asam Tbk atau PTBA. Dalam perjodohan ini, PTBA akan membeli PLTU Palabuhanratu dan memangkas masa operasinya dari 25 tahun menjadi 15 tahun. Untuk transaksi pembelian PLTU sekaligus perpendekan masa operasinya, PTBA harus mendapatkan pendanaan murah.
Menurut Pahala, dana murah bagi PTBA bisa diperoleh dari pinjaman komersial ataupun nonkomersial, yang masuk mekanisme transisi energi atau ETM. Masalahnya, hingga sepekan sebelum KTT G20, komunitas keuangan global masih menganggap ETM tidak masuk taksonomi hijau atau sektor usaha ramah lingkungan yang layak mendapatkan pendanaan hijau atau berkelanjutan. Kini, setelah program JETP lahir, ada peluang pendanaan bagi PTBA ataupun perusahaan lain yang menjalankan program serupa.
Melalui kerangka JETP, IPG akan menggerakkan dana yang terbagi dalam dua jenis, yaitu US$ 10 miliar lewat pinjaman lunak dan hibah serta US$ 10 miliar bagian dari Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). GFANZ adalah kelompok kerja berisi bank, manajer aset, pemilik aset, perusahaan asuransi, penyedia layanan keuangan, juga konsultan keuangan yang berkomitmen mendanai transisi energi bersih lewat pinjaman murah. “JETP ini jadi semacam aliansi beberapa lembaga untuk melakukan pembiayaan,” ujar Pahala.
Pameran otomotif Indonesia Electric Motor Show (IEMS 2022) di Jakarta Convention Center, 28 September 2022. Tempo/Tony Hartawan
IPG pun mendukung Climate Investment Fund atau Dana Investasi Iklim yang telah disiapkan pemerintah Indonesia. Mereka juga, seperti yang diharapkan Pahala, akan mendukung skema ETM yang digagas ADB. Karena itu, bagi Indonesia, JETP adalah harapan jangka panjang untuk membantu mengejar rencana transisi energi dan target nol emisi karbon pada 2060.
•••
PADA Senin, 14 November lalu, di sela rangkaian acara Konferensi Tingkat Tinggi G20, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meluncurkan Platform Negara ETM bersama Presiden ADB Masatsugu Asakawa, Presiden Islamic Development Bank (IDB) Muhammad Sulaiman Al Jasser, dan Direktur Operasi Bank Dunia Axel van Trotsenburg. Pemerintah pun menunjuk PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI sebagai Manajer Platform Negara ETM.
SMI akan mengembangkan kerangka kerja pembiayaan dan investasi untuk program ETM, yang modal awalnya berasal dari komitmen ADB. Dana Investasi Iklim (CIF)—salah satu program pendanaan multilateral untuk mendukung aksi iklim negara-negara berkembang—juga berkomitmen menyediakan dana murah sebesar US$ 500 juta buat Indonesia. Pendanaan ini penting bagi Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi sebesar 43,2 persen pada 2030 dan nol emisi karbon pada 2060.
Pameran otomotif Indonesia Electric Motor Show (IEMS 2022) di Jakarta Convention Center, 28 September 2022..Tempo/Tony Hartawan
Dengan peluncuran Platform Negara ETM dan JETP, skema green financing alias pendanaan hijau akan meluncur deras pada 2023. Ini menjadi kabar baik untuk mempercepat transisi energi kita, juga memperluas praktik bisnis berwawasan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Praktik bisnis ini memang baik dan sangat dibutuhkan di masa mendatang, tapi memerlukan dana yang sangat besar.
Masalahnya, pengucuran dana ini juga pelik. Salah satu hambatannya adalah setiap negara memiliki perbedaan taksonomi hijau alias kriteria proyek dan sektor usaha yang dianggap ramah lingkungan. Taksonomi hijau menjadi penentu apakah satu bidang usaha layak mendapatkan green financing atau tidak.
Deputy Chief Executive Officer Indonesia Investment Authority (INA) Arief Budiman mengatakan, gara-gara perbedaan itu, lembaganya sulit menjaring dana serta investor untuk ikut patungan mengakuisisi PLTU dalam skema pensiun dini. Sebagian negara menganggap program pensiun dini PLTU tidak masuk taksonomi hijau mereka karena masih membiayai produksi listrik berbasis batu bara yang dianggap “tidak hijau”.
Menurut Arief, setelah menjajaki banyak lembaga keuangan global, INA cuma mendapat komitmen pembiayaan US$ 800 juta, sementara komitmen ekuitas hanya US$ 100 juta. “Yang memberikan dana itu pun entitas berupa yayasan. Dana pensiun atau pengelola dana pemerintah belum ada yang mau,” ucapnya kepada Tempo pada akhir Oktober lalu.
Petugas saat melakukan perawatan pada unit solar cell pada PLTS atap di Pabrik PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari, Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 9 September 2022. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Kondisi ini seharusnya berubah seiring dengan meluncurnya JETP Indonesia dan pengakuan negara-negara maju terhadap skema ETM yang masuk kategori hijau. Buktinya, Glasgow Financial Alliance for Net Zero alias GFANZ mau mengucurkan dana US$ 10 miliar dalam kerangka JETP Indonesia. GFANZ beranggotakan 122 bank dan lembaga keuangan top dunia, seperti Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, MUFG, dan Standard Chartered. Lembaga ini di bawah arahan Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Ambisi dan Solusi Iklim Michael R. Bloomberg serta Utusan Khusus PBB untuk Aksi Iklim dan Keuangan Mark Carney.
GFANZ, yang mengelola aset US$ 72 triliun atau 40 persen dari aset bank sejagat, siap menggelontorkan dana untuk bisnis berkelanjutan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mereka akan melengkapi daftar lembaga keuangan global yang lebih dulu berkomitmen membantu SMI mendanai skema ETM, seperti ADB, Bank Dunia, IDB, CIF, HSBC, Standard Chartered, dan Japan Bank for International Cooperation.
Selain komitmen green financing dari lembaga keuangan global, ada peluang pendanaan melalui penerbitan obligasi hijau atau green bond di pasar internasional. Sejumlah perusahaan telah memakai skema tersebut, seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Star Energy di bawah Grup Barito, SMI, dan TLFF I Pte Ltd untuk proyek perusahaan karet PT Royal Lestari Utama.
Pekerja memeriksa mesin di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 5 April 2016. [TEMPO/Tony Hartawan]
Obligasi hijau menjanjikan peminat yang banyak dengan kupon bersaing. Obligasi hijau global Bank Mandiri pada 2021, misalnya, mencatatkan kelebihan peminat delapan kali hingga mendapat kupon 2 persen. “Hasil itu lumayan oke,” kata Kepala Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono pada Rabu, 16 November lalu.
Yudo tak yakin responsnya akan bagus jika green bond itu diterbitkan di pasar lokal. Sebab, dia menjelaskan, investor lokal masih melihat risiko dan imbal hasil sebagai pertimbangan utama berinvestasi. Berbeda dengan investor global yang punya pandangan serta kesadaran untuk terlibat dalam green financing. “Itu alasan kenapa mereka cukup antusias dengan global green bonds Indonesia. Walaupun kupon rendah, mereka bisa mendapatkan reputasi,” ucap Yudo.
Kelompok ini disebut sebagai investor greenium, yaitu pemodal yang mau mendapat imbal hasil rendah asalkan investasinya memberi dampak berkelanjutan buat lingkungan. Menurut Yudo, kelompok investor greenium Indonesia baru akan tumbuh jika taksonomi hijau telah menjadi kewajiban, bukan sekadar imbauan.
Meski menjanjikan peluang, obligasi hijau global masih menghadapi tantangan. Salah satunya adalah biaya tambahan yang harus dibayar penerbit berupa verifikasi dari konsultan independen yang bekerja untuk pemberi utang. Konsultan ini akan memeriksa penggunaan dana dari penerbitan obligasi, apakah benar-benar digunakan untuk proyek hijau atau sebaliknya. Jika ada komitmen yang tak terpenuhi, pemegang obligasi dapat meminta kenaikan nilai kupon atau bahkan menjual obligasinya ke penerbit. “Kami harus menghadapi pengawasan dan verifikasi yang lumayan ketat. Biayanya cukup tinggi, belum banyak perusahaan yang sanggup melakukannya,” tutur Yudo.
Pemerintah dan SMI, misalnya, menggunakan CICERO sebagai verifikator obligasi hijau. Sedangkan Star Energy menggunakan Carbon Trust dan TLFF I memakai Vigeo Eiris. Menurut Direktur SMI Pradana Murti, Otoritas Jasa Keuangan telah merespons tantangan dalam penerbitan obligasi hijau. OJK mengatur diskon biaya lain bagi penerbit obligasi hijau. “Biaya lain-lain yang dibebankan ke penerbit obligasi hijau tidak sama dengan obligasi biasa,” ujar Pradana pada Kamis, 3 November lalu.
Peneliti dan Program Manager Trend Asia, Andri Prasetiyo, juga mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai bunga pinjaman dari skema utang green financing, seperti yang ditawarkan dalam JETP. Menurut dia, pemerintah mesti memastikan terdapat porsi hibah atau pembiayaan lunak yang cukup untuk negara berkembang. "Bukan malah terkunci pada pembiayaan komersial yang menghasilkan beban utang."
•••
DALAM laporan outlook ekonomi kali ini, Tempo menyoroti makin maraknya pembiayaan hijau atau green financing yang bakal dimanfaatkan tahun depan. Sebagai contoh, pemerintah kini memiliki Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau BPDLH yang akan menyalurkan pembiayaan dari donor internasional untuk aktivitas lingkungan dan sosial.
Di pihak lain, bank dan lembaga keuangan lokal pun makin rajin mengucurkan kredit ke proyek-proyek berorientasi lingkungan. Di antaranya proyek energi bersih dan industri kendaraan listrik. Karena itu, meski skemanya rumit dan membutuhkan biaya besar, pendanaan hijau bakal terus bersemi.
BRI, misalnya, sepanjang tahun lalu mengucurkan kredit berkelanjutan senilai Rp 639 triliun. Pada tahun yang sama, Bank Mandiri telah menyalurkan pinjaman, termasuk kartu kredit, untuk pembelian panel pembangkit listrik tenaga surya sebesar Rp 101 triliun. Ada pula kredit kendaraan listrik Rp 58 miliar dan penyaluran kredit ke sektor sosial yang mencapai Rp 120 triliun.
Kepala Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono meyakini pembiayaan hijau dari perbankan akan selalu mengikuti permintaan. Jika permintaan naik, bank pasti meresponsnya. Contohnya pada kredit kendaraan bermotor berbasis listrik. Ketika mobil-mobil listrik yang dijual di Indonesia masih mahal, kredit di sektor ini melempem. Namun perbankan kini mulai bungah karena kendaraan listrik murah makin banyak muncul. “Setelah adanya brand yang mengeluarkan produk murah, kredit langsung naik,” katanya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Dian Ediana Rai mengakui permintaan kredit masih menjadi penentu pendanaan hijau perbankan nasional. Menurut dia, ketika permintaan kredit hijau meningkat, bank tak sulit mengalokasikan pendanaan. Itu sebabnya, Dian menambahkan, kendati sudah membuat taksonomi hijau bagi perbankan, OJK tak mau memasang target penyaluran kredit, misalnya target penyaluran kredit buat usaha mikro, kecil, dan menengah. “Kami tidak bisa memaksa penyaluran kredit kalau demand tidak ada,” ujar Dian.
Meski begitu, Dian percaya, seiring dengan derasnya pendanaan dari luar negeri, ditambah berbagai insentif pemerintah, gerakan ekonomi hijau akan makin bersinar tahun depan.
***
Outlook Ekonomi 2023
Penanggung jawab: Fery Firmansyah
Kepala proyek: Khairul Anam
Penulis: Khairul Anam, Bagja Hidayat, Aisha Shaidra, Retno Sulistyowati, Dini Pramita, Fery Firmansyah
Penyumbang bahan: Vindry Florentin, Arrijal Rachman, Kholis Kurniawati, Dicky Kurniawan, Fransisca Christy (Nusa Dua)
Penyunting: Fery Firmansyah, Bagja Hidayat, Setri Yasra, Dodi Hidayat
Penyunting foto: Gunawan Wicaksono
Penyunting bahasa: Hardian
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo