Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Desakan Membuka Keran Ekspor CPO Meluas

Ribuan petani kelapa sawit se-Indonesia kompak turun ke jalan. Mereka mendesak pemerintah segera mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya karena menyengsarakan petani. 

18 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah petani kelapa sawit menggelar aksi unjuk rasa di Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, 17 Mei 2022. Tempo/Magang/Cristian Hansen

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hingga April lalu, kerugian akibat larangan ekspor CPO ditaksir mencapai Rp 11,7 triliun.

  • Sebanyak 25 persen dari 1.118 pabrik sawit se-Indonesia dilaporkan telah menyetop pembelian kelapa sawit petani.

  • Kementerian Perdagangan baru akan mencabut larangan ekspor CPO jika harga minyak goreng curah sudah mencapai Rp 14.000 per liter.

JAKARTA – Sejak pagi hari, ratusan petani kelapa sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) memadati Jalan Lapangan Banteng Timur, Jakarta Pusat, tepatnya di depan kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Menggunakan kaus oblong berwarna putih, massa mengerubungi sebuah mobil komando yang membawa tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka berunjuk rasa meminta pemerintah mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya. Aksi tersebut diikuti oleh anggota serta pengurus Apkasindo dari 146 kabupaten dan kota. Turut bergabung dalam aksi itu perwakilan dari 22 dewan pimpinan wilayah (DPW) provinsi organisasi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peserta aksi, Fitriansyah, mengatakan datang jauh-jauh dari Kalimantan Timur untuk menyampaikan keluh kesahnya langsung kepada pemerintah. “Kami akan terus menyampaikan aspirasi kami sampai larangan ekspor dicabut,” ujar dia kepada Tempo di lokasi, kemarin.

Para petani kelapa sawit kompak datang ke Ibu Kota lantaran menilai kebijakan restriksi ekspor tersebut membuat perekonomian mereka morat-marit. Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya pada akhir April lalu, harga tandan buah segar (TBS) petani langsung anjlok. Bahkan ada hasil panen petani yang tidak terserap pabrik kelapa sawit.

Truk pengangkut tandan buah segar kelapa sawit antre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit di Aceh, 17 Mei 2022. ANTARA/Syifa Yulinnas

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung, mengatakan, dari 1.118 pabrik sawit se-Indonesia, paling tidak 25 persen telah menyetop pembelian TBS sawit petani. Ini terjadi setelah harga TBS petani sudah anjlok 40-70 persen dari harga penetapan pemerintah daerah setempat. Situasi ini, kata Gulat, mengganggu perekonomian petani sawit dan rantai ekonomi nasional.

“Kami berpacu dengan waktu karena sudah rugi Rp 11,7 triliun sampai akhir April lalu, termasuk hilangnya potensi pendapatan negara melalui bea keluar, terkhusus pungutan ekspor, di mana sejak Februari sampai April sudah hilang Rp 3,5 triliun per bulan,” kata Gulat. Larangan ekspor CPO dan produk turunannya mulai efektif berlaku pada 28 April 2022 dan berlangsung tanpa batas waktu.

Gulat mengatakan unjuk rasa tersebut mengusung lima tuntutan untuk pemerintah. Salah satunya agar Presiden Jokowi melindungi 16 juta petani sawit yang terkena imbas anjloknya harga tandan buah segar hingga 70 persen di 22 provinsi. Mereka pun meminta Jokowi meninjau ulang kebijakan larangan ekspor tersebut karena dampaknya langsung dirasakan petani.

Selanjutnya, Gulat meminta pemerintah tidak hanya mensubsidi minyak goreng curah, tapi juga minyak goreng kemasan sederhana dan memperkokoh jaringan distribusinya dengan melibatkan aparat penegak hukum. Dengan demikian, target pemerintah agar minyak goreng curah mencapai harga eceran tertinggi Rp 14 ribu per liter bisa tercapai.

Para petani pun menuntut pemerintah membuat regulasi soal batas minimal 30 persen pabrik kelapa sawit dan minyak goreng dikelola oleh koperasi untuk kebutuhan domestik. Dengan demikian, hasil panen mereka tetap tersalurkan saat harga anjlok seperti sekarang. “Kami juga meminta Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Pertanian merevisi Permentan Nomor 01 Tahun 2018 tentang Tata Niaga TBS karena harga yang diatur di aturan tersebut hanya ditujukan kepada petani yang bermitra dengan perusahaan,” kata Gulat.

Untuk menggemakan tuntutannya, Gulat mengatakan Apkasindo mengerahkan petani di 22 provinsi se-Indonesia untuk melakukan demonstrasi serupa. Terpantau ratusan petani kelapa sawit di Kabupaten Belitung Timur juga menggelar unjuk rasa dengan tuntutan serupa: meminta pemerintah mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya.

Koordinator unjuk rasa di Belitung, Dwi Nanda Putra, mengatakan larangan ekspor CPO yang dimaksudkan untuk menekan harga minyak goreng sama sekali tidak berefek. Buktinya, harga minyak goreng sama sekali tidak turun. “Sementara sawit kami tidak laku,” ujarnya. “Buah sawit kami terpaksa dibiarkan membusuk karena tidak ada perusahaan di sini yang mampu lagi menampung hasil petani.”

Aksi juga digelar puluhan petani sawit di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. “Kami mendukung aksi keprihatinan para petani kelapa sawit secara nasional di 22 provinsi dan 146 kabupaten/kota yang ada di Indonesia,” kata koordinator aksi, Maryanto, kemarin.

Maryanto mengatakan larangan ekspor itu telah mengerek harga TBS kelapa sawit di Malaysia ke kisaran Rp 5.000 per kilogram. Sebaliknya, kebijakan tersebut justru menekan harga sawit petani di Tanah Air ke kisaran Rp 1.500-2.000 per kilogram. Seperti yang terjadi di daerah lain, ia pun mengungkapkan bahwa sebagian sawit hasil panen petani di Singkawang bahkan tak terbeli oleh pabrik. “Alangkah sedihnya,” ujar dia.

Tekanan kepada pemerintah untuk membuka keran ekspor juga dilakukan oleh semua organisasi petani sawit selain Apkasindo, antara lain Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Apkasindo Perjuangan, Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir), Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi), serta Serikat Petani Indonesia (SPI).

Sekretaris Jenderal SPKS, Mansuetus Darto, mengatakan organisasi-organisasi tersebut telah berembuk bersama untuk mendiskusikan dampak serta masukan kepada pemerintah atas kebijakan pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng.

Dalam pertemuan itu, kata dia, semua perwakilan organisasi petani sawit sebenarnya mengapresiasi langkah pemerintah melarang ekspor CPO dan produk turunannya. Sebab, kebijakan tersebut bisa menjadi momentum perbaikan tata kelola hulu dan hilir industri sawit nasional. Kebijakan itu juga diperlukan untuk memastikan ketersediaan minyak goreng lebih murah dan terjangkau.

Namun, di sisi lain, kebijakan pelarangan ekspor CPO menimbulkan dampak negatif dengan turunnya harga TBS petani serta banyaknya pabrik kelapa sawit yang menutup kegiatan operasionalnya. “Karena itu, kebijakan pembatasan ekspor kelapa sawit perlu dihentikan karena petani sawit di daerah tidak kuat lagi menahan permainan harga oleh pabrik-pabrik kelapa sawit atau jejaring dari segelintir pengusaha tersebut.”

Koalisi organisasi petani pun menyarankan pemerintah memastikan tata kelola minyak goreng dari hulu ke hilir dengan sebaik mungkin. Salah satunya dengan menerapkan domestic market obligation yang diawasi ketat. Pemerintah juga disarankan membuat sistem distribusi guna memastikan penyediaan minyak goreng dengan harga yang terjangkau.

Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 9 Mei 2022. ANTARA/Budi Candra Setya

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan pemerintah masih akan memastikan ketersediaan dan keterjangkauan minyak goreng curah Rp 14 ribu per liter. “Begitu itu stabil, mudah-mudahan stabil pada kesempatan pertama, nanti kita berbicara pelonggaran ekspor tersebut,” kata dia.

Direktur Riset Center of Reform on Economics, Piter Abdullah Redjalam, juga menyarankan pemerintah segera mencabut larangan ekspor CPO lantaran menilai kebijakan tersebut sangat mengganggu industri. Pasalnya, dia melanjutkan, keluaran industri sawit dari hulu sampai ke hilir jauh lebih besar dari permintaan domestik. Jadi, larangan ekspor tentu akan membuat pasokan dalam negeri berlebih.

“Sementara supply chain dikuasai oleh industri besar, yang dikorbankan sudah pasti para petani dan industri kecil. Harga TBS dipastikan jatuh. Bahkan sangat mungkin petani tidak bisa menjual TBS-nya,” kata Piter. Kalau larangan itu berlanjut, ia melihat para petani sawit akan kehilangan pemasukan dan daya belinya anjlok.

Di sisi lain, industri besar yang sudah kehilangan keuntungan dari larangan ekspor diprediksi akan menekan kerugian dengan tetap menjual minyak goreng di dalam negeri dengan harga yang cukup tinggi. “Ini sudah terbukti. Sejak larangan ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya dilakukan, minyak goreng tetap mahal.”

CAESAR AKBAR | RIANI SANUSI | SERVIO MARANDA | ANT

Baca juga:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus