Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Westerling, Algojo Dan 'Ratu Adil'

Pada 2 Februari lalu, warga Mandar, Sulawesi Barat, menggelar Kongres Rakyat Mandar, yang membahas kekejaman Westerling. Sejak Desember 1946 hingga Maret 1947, pasukan Westerling membantai konon sampai 40 ribu jiwa orang Sulawesi.

17 Februari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kongres itu diputuskan agar dibentuk sebuah tim untuk menuntut Belanda memberi ganti rugi berupa fasilitas pendidikan dan kesehatan di kawasan bekas operasi Westerling. Tim juga diharapkan mampu melobi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa agar menyusun komisi pencari fakta yang tujuannya mengusut tindakan Westerling sebagai aksi penjahat perang.

Tempo melacak ladang-ladang pembantaian Westerling di Sulawesi, mewawancarai saksi-saksi yang masih hidup, juga mengupas bagaimana di Bandung, Westerling membentuk Angkatan Perang Ratu Adil, yang mengobrak-abrik kota. Dia terobsesi menjadi Ratu Adil seperti yang diramalkan dalam Serat Jangka Jayabaya. Dalam memoarnya, Mijn memories (Kenanganku,1952), Westerling percaya dirinya adalah keturunan Turki yang akan menjadi penyelamat orang Jawa. "Hari itu saya membaptiskan kekuatan saya: Pasukan Ratu Adil," tulisnya.

Hal lain yang diturunkan dalam laporan Tempo kali ini adalah bagaimana hubungan Angkatan Perang Ratu Adil dengan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo? Sebab, sejarawan muda Belanda lulusan Universitas Nijmegen bernama Fredrik Willems, dalam penelitian mutakhirnya tentang Westerling, melihat ada kemungkinan Westerling dan Kartosoewirjo dipasok senjata dari sumber yang sama.

Dua spanduk besar terbentang di kedua sisi ruang pertemuan Gedung Assamalewuang di Jalan Gatot Subroto, Majene, Sulawesi Barat, Sabtu, 2 Februari lalu. Ratusan orang dari berbagai kalangan, dari para sesepuh masyarakat, pejabat daerah, anggota organisasi kemasyarakatan, kaum ibu, sampai anak sekolah, hadir. Hari itu digelar acara penting, yakni Kongres Rakyat Mandar II. Dengan model huruf berdarah-darah, spanduk yang kanan, entah sengaja entah salah tulis, berbunyi: "Ingat Wasterling Si Pembantai Massal". Sedangkan yang kiri bertulisan: "Remembering Westerling the Mass Murder".

Enam puluh enam tahun lalu, tepatnya pada 1 Februari, di Desa Galung Lombok, sekitar delapan kilometer sebelah timur Majene, terjadi pembantaian massal terhadap orang Mandar. Saat itu, dalam hitungan jam, lebih dari 650 orang tewas di tempat. Orang Mandar mengingat hari Sabtu berdarah itu dengan sebutan Penyapuan. Asal penyebutan itu karena ayunan sten gun serdadu Belanda yang diarahkan ke kerumunan orang tersebut seperti gerakan menyapu.

Westerling Sang Pembunuh Massal yang dimaksud spanduk itu tak lain Kapten Ray­mond Paul Pierre Westerling, pemimpin Penyapuan tersebut. Ketua Kongres Rakyat Mandar Naharuddin, yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Barat, menyebutkan kongres mengusulkan agar gubernur menerbitkan peraturan daerah yang menetapkan 1 Februari sebagai hari berkabung di seantero Sulawesi Barat.

* * *

Westerling mendarat di Makassar pada 5 Desember 1946. Pengirimannya merupakan keputusan pemimpin tertinggi tentara Belanda di Indonesia, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor (1902-1949). Westerling memimpin Depot Speciale Troepen (DST), pasukan khusus yang sampai Maret 1947 dikaitkan dengan peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan dengan korban tewas ditaksir sebanyak 40 ribu jiwa.

Herman van Goethem, salah satu bekas anak buah Westerling di DST yang pernah tampil dalam sebuah program di saluran televisi Belanda pada Januari 2007, mengenang ucapan Westerling saat pelatihan. "Jika ada seseorang di antara kalian yang tidak bisa berjalan dalam darah setinggi lutut, sekarang saatnya untuk mengundurkan diri."

Westerling menyusun strategi penumpasan pemberontakan dengan metodenya sendiri, tak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger (pedoman pelaksanaan). Dia mencari ekstremis yang ada dalam daftar yang sudah disiapkan intel. Ia mengumpulkan penduduk di sebuah tempat dan kemudian menembak mati para ekstremis di sana.

Seperti itulah yang terjadi pada 11 Desember 1946 menjelang tengah malam di Kampung Batua, Makassar. Ini adalah aksi pertama Westerling. Dalam laporannya, dia menyebutkan ekstremis yang dihabisi "cuma" berjumlah 35 orang. Tapi peristiwa pembantaian di Batua itu dikenang oleh warga Sulawesi Selatan sebagai Peristiwa Pembantaian Korban 40.000 Jiwa. Setiap 11 Desember, mereka melakukan tabur bunga di makam para pejuang.

Kepada Tempo, Horst H. Geerken, 80 tahun, pria Jerman penulis buku Der Ruf Des Geckos (Panggilan Cecak), mengatakan Westerling melarung berkarung-karung kepala manusia ke laut agar korban mustahil diidentifikasi. Geerken, yang lama melakukan penelitian tentang kejahatan perang Belanda di Indonesia, mengutip memoar Westerling, Ich war Kein Rebell. Mein Abenteuer in Indonesia (terjemahan Jerman). "Westerling menyebut dirinya 'Tiger Head' atau 'White Tiger' yang haus darah manusia," ujar Geerken, yang ditemui Tempo di rumahnya di Bonn, Jerman, Oktober tahun lalu.

Dari Batua, pasukan DST bergerak ke pedalaman. Pada 12 Desember, Desa Tanjung Bunga dibersihkan. Sebanyak 81 orang dieksekusi mati. Lalu giliran Desa Kalakkuang pada 14 Desember. Tempo bertemu dengan Puling Daeng Rannu, 84 tahun, yang menjadi saksi penembakan pamannya, Daeng Regge, oleh Westerling.

"Hanya tiga meter tepat di depan saya, paman saya yang dipasung itu tanpa ditanya-tanya langsung ditembak oleh Westerling dengan enam pelor. Ditembak di kaki kanan, kaki kiri, lutut kiri, lutut kanan, dada kiri, dan dada kanan. Tidak puas dengan itu, ia disangkur pas di dada tengah," ucap Daeng Rannu, yang ditemui di rumahnya di Jalan Daeng Regge, Makassar, Rabu pekan lalu.

Daeng Rannu tidak bisa menyebut jumlah orang yang ditembak dan dibantai. "Banyak sekali yang ditembak. Semua yang dicurigai mata-mata ditembak mati. Nama-nama orang yang mati itu kini diabadikan menjadi nama jalan," katanya.

* * *

DI Jalan Langgau, lokasi pembantaian itu, kini berdiri Monumen Korban 40 Ribu Jiwa. Letaknya sekitar empat kilometer ke arah utara Lapangan Karebosi. Di monumen terdapat relief yang mengisahkan peristiwa itu. Di dasar monumen yang berbentuk peti mati itu terdapat enam patung orang dalam posisi memanggul. Sebuah patung lain menggambarkan korban dengan kaki buntung dan lengannya menggunakan penyangga berada di sisi kanan monumen.

Di Parepare, tepatnya di sebelah Masjid Jami, juga terdapat monumen serupa. Monumen itu dibangun untuk mengenang peristiwa pembantaian yang terjadi pada 14 Januari 1947. Ketika itu, tentara Belanda menggiring 23 pejuang yang ditahan di markas polisi militer (kini Asrama CPM) ke terminal. Di sanalah mereka dieksekusi mati. Jasad-jasad itu lalu diangkut truk dan dikuburkan dalam satu lubang di pekuburan La Berru (kini Taman Makam Kesuma), Parepare.

Bukan hanya pejuang yang menjadi korban operasi pembersihan Westerling. Penduduk juga dihabisi. Di Polombangkeng, yang terletak di selatan Makassar, 330 orang tewas. Begitu juga di Gowa. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Operasi pembersihan pasukan DST terus berlanjut hingga Suppa, Kabupaten Pinrang, pada 28 Januari 1947. Pabbicara (Camat) Suppa, Andi Mondjong, adalah korban pertama yang ditembak. Andi Mondji, anak kedua dari tiga anak Andi Mondjong, menjadi saksi mata penembakan ayahnya. Saat kejadian, Mondji berusia 10 tahun. Sebelum ditembak, ayahnya diarak mengelilingi warga yang dikumpulkan di halaman Rumah Datu Suppa. Dia diminta menunjukkan warga yang menjadi teman seperjuangannya. Tapi Andi Mondjong enggan menunjuk siapa pun.

"Dia hanya berbisik kepada rekannya yang bernama La Pali, 'Kita akan mati bersama', dan saat itu ia langsung ditembak Belanda menyusul La Pali," ujar Andi Mondji, yang ditemui di kediamannya.

Menurut Mondji, orang yang ditunjuk sebagai perampok langsung ditembak. Semua korban ditembak tepat di jidatnya oleh penembak jitu yang kidal. Mayat yang ditembak itu langsung diangkat oleh orang yang ditunjuk untuk dimasukkan ke lubang berukuran 2 x 2 x 2 meter yang telah disiapkan.

"Mayat itu tidak dibopong atau dipikul, tapi ditarik. Kadang kepalanya di bawah atau kakinya tergantung dari orang yang menariknya itu," kata Mondji.

Setelah mayat dimasukkan ke lubang, si pembawa mayat langsung ditembak mati. Aksi pembantaian itu berlanjut terus sampai jumlah yang tewas mencapai 208 warga. Menurut Mondji, jumlah itu diketahui setelah Baruddin, salah seorang warga yang berlindung di kerumunan kelompok wanita, diam-diam menghitung setiap orang yang ditembak pada selembar daun.

Pejuang lain yang juga ditembak di lokasi itu adalah Abdul Rahman, suami Sukati, 91 tahun. Sukati bercerita, saat ditangkap di rumahnya di Kampung Ujung, Desa Mallongi-Longi, Kecamatan Lanrisang, Kabupaten Pinrang, suaminya diikat dan diseret dengan jip. Ketika jip Belanda itu menjauh dari tempatnya berdiri, Sukati sempat bertatapan mata dengan Abdul Rahman. "Saat itu, saya tidak bisa menafsirkan arti tatapan matanya. Ternyata tatapan itu adalah tatapan terakhir."

Sukati, yang pada hari penembakan juga digiring ke halaman Rumah Datu Suppa, tak sempat menyaksikan eksekusi sang suami. Perjalanan dari rumahnya ke lokasi berjarak 10 kilometer itu tersendat karena harus antre perahu untuk menyeberangi sungai. Walhasil, sesampai ia di lokasi, prosesi penembakan sudah berlangsung. Dia hanya melihat Westerling memimpin langsung penembakan yang dilakukan sehari penuh itu. "Ia kadang duduk di kursi atau berdiri memberikan komando kepada bawahannya. Sepucuk pistol tak pernah terlepas dari genggamannya."

Saksi mata lainnya adalah Darawisah, 86 tahun, warga Majennang, Watang Suppa. Dia hanya bisa menangis saat mengenang insiden penembakan massal yang dilakukan pasukan Westerling itu. Ayahnya, La Cunde, bersimbah darah setelah tertembak di bagian jidat. Tragisnya, saat itu sang ayah sedang menggendongnya. "Ibu saya langsung pingsan, sedangkan saya dan kedua adik saya hanya menangis," ucapnya kepada Tempo.

Darawisah bercerita, La Cunde adalah korban terakhir dari aksi penembakan sadistis di Majennang. Kala itu, ayahnya baru saja kembali dari lubang tempat penguburan massal membawa seorang warga yang telah mati ditembak Belanda. Karena menjelang malam, Belanda berteriak meminta warga yang tersisa pulang.

La Cunde kemudian jongkok untuk membopong anaknya. "Saya sudah memeluk leher ayah saya untuk naik ke pundaknya, tiba-tiba Belanda menembak dan mengenai jidatnya," ujar Darawisah. Setelah ayahnya tertembus peluru dan bersimbah darah, Darawisah tetap memeluknya hingga seorang warga menariknya agar menjauhi jenazah sang ayah. "Seandainya masih bertahan, saya mungkin juga ditembak."

* * *

DARI sekian aksi pembersihan oleh pasukan Belanda itu, di Galung Lombok-lah jumlah korban tewas terbanyak. Karena itu, masyarakat Mandar pada 2 Februari lalu mengadakan kongres untuk mengenang tragedi tersebut. Sesungguhnya Westerling saat itu sudah tidak lagi memimpin pasukan DST. Ia sudah ditarik ke Jakarta setelah banyak media massa internasional menyoroti aksi brutalnya di Sulawesi Selatan. Tampuk pemimpin pasukan DST di Sulawesi Selatan diambil alih Letnan Dua Jan B. Vermeulen.

Pemicu pembantaian itu adalah para pejuang dari Kelaskaran GAPRI 5.3.1, yang dipimpin Basong, menghadang pasukan Belanda di Desa Taloloq (kini masuk Kelurahan Baruga, Kecamatan Banggae, Majene). Mobil pasukan Belanda yang lewat digranat dan masuk jurang. Tiga serdadu Belanda tewas, yaitu Sersan Mayor Van Euw, prajurit Dickeon, dan seorang tidak diketahui namanya. Mendengar kejadian itu, Letnan Dua Vermeulen naik pitam dan memerintahkan pasukannya memberondong kerumunan orang yang telah dikumpulkan di persawahan kosong di Galung Lombok.

Tempo menemui Fatani Thayep, saksi mata yang selamat dari pembantaian Galung Lombok. Usianya kini sudah sangat sepuh, 105 tahun. Tapi, apabila diminta mengenang peristiwa nahas itu, ia ingat. Fatani ketika peristiwa itu terjadi berusia 39 tahun. Ia penjahit yang tinggal di Desa Baruga, Majene. Fatani ingat ketika itu ia hendak berwudu untuk salat subuh di bawah rumah panggungnya saat tentara Belanda menyergap.

"Sekarang kumpulkan orang-orang yang kamu cintai dan segera keluar dari ­ru­mah," ujar Fatani menirukan ucapan sang ­tentara.

Fatani, istri, dan kelima anaknya pun berbaris di halaman. Begitu pun para tetangganya. Setelah semua penduduk dikumpulkan, mereka digiring berjalan kaki tanpa tahu ke mana tujuan. Fatani, yang harus memapah istrinya yang tengah hamil tujuh bulan, berjalan tersendat. Ia tertinggal dari rombongan besar.

Perjalanan jauh itu melewati Desa Simulu, Desa Galung, Desa Tande, dan Desa Taloloq. Jauh perjalanan sekitar delapan kilometer atau menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk sampai di Desa Galung Lombok. Bukan hanya penduduk Baruga, semua warga desa di sekitar Galung Lombok, seperti Banning, Lawaran, Renggeang, Lemosusu, Katubanang, Segeri, dan Tande, juga berdatangan. Bahkan warga dari Desa Soreang, yang jaraknya 38 kilometer dari Galung Lombok, pun diangkut dengan truk.

Waktu itu pas tengah hari dan hujan baru saja reda. Betapa kagetnya Fatani melihat tanah sawah yang becek dan berlumpur berbaur dengan tumpahan darah segar. Ia menyaksikan mayat-mayat sengaja dibiarkan agar menjadi teror bagi rombongan warga yang berdatangan.

"Laa Ilaha illallah," ucap Fatani dengan mata basah mengenang kejadian itu saat ditemui di rumahnya di Lipu, Banggae Timur, Majene, Jumat dua pekan lalu. Ia ingat saat itu kemudian terdengar rentetan tembakan. Dia refleks tiarap dan menenggelamkan dirinya ke tumpukan tubuh yang berjatuhan. Beruntung, karena tiba belakangan, Fatani dan keluarga berada di pinggir kerumunan. "Peluru-peluru itu lewat di atas tubuh saya," katanya.

Muhammad Yusuf, 90 tahun, juga tak bisa melupakan pengalamannya. Ia dicokok tentara Belanda di pagi hari ketika sedang memperbaiki atap rumahnya. Ia bersama semua laki-laki di kampungnya, Tinambung, dikumpulkan di dekat jembatan. Lalu mereka digiring ke Galung Lombok disuruh menguburkan korban yang tewas. "Kalau tidak selesai pukul enam, semua akan dibunuh," ujarnya.

Kini di lokasi pembantaian di Desa Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, berdiri monumen dan menjadi kompleks taman makam pahlawan. Panjang kompleks pemakaman ini sekitar 110 meter dan lebarnya 70 meter. Tepat di tengah terdapat monumen berupa tiga pilar dengan tinggi 12, 9, dan 7 meter. Pembangunan kompleks ini beserta monumen dimulai pada 1983 atas prakarsa Pejuang 45 dengan dana dari Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sulawesi Selatan.

Ada 326 makam di kompleks pemakam­an ini, yang terbagi dalam tiga kelompok besar. Dua kelompok makam bernisan batu dan berwarna putih mengapit monumen. Di bagian belakang tembok monumen yang bertulisan 170 nama korban Penyapuan juga ada kelompok makam lain, tapi kondisinya tidak terawat. Kebanyakan berupa makam bernisan kayu yang sudah lapuk. Ada juga beberapa makam yang memiliki lebih dari satu nisan atau tindaq.

"Kami meminta setiap 1 Februari rakyat Mandar mengibarkan bendera setengah tiang selama tiga hari berturut-turut untuk mengenang para korban pembantaian massal itu," kata Ketua Kongres Rakyat Mandar Naharuddin.

Dody Hidayat, Iqbal Muhtarom (Majene), Suardi Gattang (Pinrang), Rasdiyanah (Makassar), Sri Pudyastuti Baumeister (Jerman), Lea Pamungkas (Belanda)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus