Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di sini kekasih, suami, ayah dan opa/kawan dari banyak orang/kapten tua/RayÂmond Paul Pierre/Westerling. Mantan komandan KST/rakyat memberi beliau/gelar ratu adil/Sang Ratu Adil".
Pesan itu terpahat di batu nisan Raymond Paul Pierre Westerling di kompleks pemakaman De Nieuwe Oosterbegraafplaats, Amsterdam, Belanda. Bekas komandan pasukan Âelite Belanda, Korps Speciale Troepen, yang meninggal karena gagal jantung pada 26 November 1987 itu dimakamkan di pemakaman umum biasa, bukan pemakaman khusus bagi para veteran yang dianggap telah berjasa.
Bahkan, hingga kematiannya, Westerling, yang lahir dan melewati masa kanak-kanak hingga remaja di Istanbul, Turki, tetap dianggap sebagai pendatang, Âimigran, dan orang asing oleh masyarakat Negeri Kincir Angin. Oosterbegraafplaats hanyalah kompleks pemakaman umum biasa bagi warga non-Belanda.
Sosok yang telah membantai ribuan orang di Indonesia itu meninggal dalam kesunyian di Purmerend, sekitar 15 kilometer utara Amsterdam. Menurut Fredrik Willems, sejarawan Belanda yang meraih master di Universitas Nijmegen dengan karya berjudul Imaging of Raymond Westerling in the Dutch Media 1947 and 1987 dan kini tengah menyiapkan biografi Westerling, De Turk, pesan di batu nisan Westerling mungkin dibuat oleh bekas anak buahnya yang setia. "Pesan dalam bahasa Belanda dan Indonesia itu boleh jadi dibuat oleh pengagum atau bekas anak buahnya di KNIL," katanya.
Westerling imigran yang datang ke Belanda dari Pera, daerah kecil di Istanbul. Dia lahir pada 31 Agustus 1919 ketika Turki tengah berjuang merebut kemerdekaan dari Yunani. Sang ayah, Paul Rou Westerling, pedagang barang antik dan mebel. Sedangkan ibunya, Sophie Moutzou, perempuan Yunani.
Westerling melewati masa kecil hingga remaja di Istanbul. Sewaktu kanak-kanak, dia punya hobi memelihara binatang. Dalam memoarnya, Challenge to Terror, dia menuturkan suka mengumpulkan ular, kadal, dan beberapa binatang lain di kamarnya. Pada usia tujuh tahun, Westerling mengaku sudah bisa menembak dengan jitu. "Aku bisa menembak uang logam dari jarak sekitar 18 meter dengan senapan kaliber 6 milimeter," tutur Westerling dalam memoarnya tanpa menjelaskan dari mana dia mendapatkan senapan itu.
Menginjak remaja, tatkala perang mulai berkecamuk di Eropa, Westerling mendaftarkan diri sebagai sukarelawan untuk tentara Kerajaan Belanda. Sebagai sukarelawan, dia berpindah-pindah tempat tugas: dari Turki, Mesir, hingga Kanada. Pada 1941, Westerling dikirim ke Inggris untuk bergabung dengan Princes Irene Korps, Kesatuan Putri Irene, di Wolverhampton. Di kesatuan itu, ia mendapat pendidikan militer secara profesional. "Di sinilah saya mempelajari bagaimana melawan musuh dan menggunakan bayonet, dan tidak lagi mengupas kentang di dapur," ujarnya.
Sejak itu, karier militernya kian berkilau. Pada September 1944, Westerling naik pangkat sebagai sersan untuk Bureau Bijzondere Opdrachten—Biro Kesatuan Khusus. Kesatuan ini mengatur pelatihan bagi anggota rahasia militer yang aktif di Belanda. Selesai bertugas di kesatuan itu, ia langsung direkrut sebagai anggota staf Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana, yang kala itu berkuasa di Belanda.
Westerling kemudian ditugasi ke Brussel, Belgia, untuk melatih kesatuan khusus di Provinsi Brabant dan Limburg. Bersama kesatuan ini, ia melakukan operasi klandestin ke daerah musuh. Pada pertengahan Maret 1945, Westerling terluka berat akibat serangan roket Jerman, yang membombardir Belanda. Dia dibawa ke sebuah rumah sakit di Inggris. Ketika Westerling sembuh, Perang Dunia II di Eropa telah berakhir.
Pada awal September 1945, Westerling ikut diterjunkan dalam tim Sekutu (Inggris) yang mendarat dengan parasut di lapangan terbang Medan, Sumatera Utara. Saat itu, Sekutu mengemban misi meluÂcuti senjata tentara Jepang. Westerling dan beberapa anggota pasukan elite Belanda yang mendompleng Sekutu kemudian merekrut bekas tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) untuk menjadi bagian dari pasukan Sekutu. Sejak itulah aksi petualangan militer Westerling yang kontroversial di Indonesia mulai dilancarkan. Bersama sekitar 200 anggota pasukan, atas perintah penguasa militer Belanda, Jenderal Spoor, dia diterbangkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, untuk melakukan aksi penertiban di sana.
Sepulang dari Makassar, Westerling memilih mundur dari dinas militer. Dia kemudian menikahi janda beranak dua keturunan Prancis, Yvonne Fournier, pada November 1948. Mereka kemudian menetap di Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Di daerah perkebunan teh dan sayur-sayuran itu, Westerling membuka usaha penyewaan truk. Pernikahannya dengan Yvonne melahirkan seorang putri, Cecilia.
Setelah sekitar dua tahun hidup tenang di Pacet, Westerling dipanggil untuk masuk militer lagi. Dia kemudian membentuk kesatuan militer Angkatan Perang Ratu Adil. Pada 23-24 Januari 1950, dia bersama pasukannya melakukan upaya kudeta terhadap pemerintah Republik Indonesia Serikat, tapi gagal. Dia kemudian melarikan diri ke Singapura. Di Negeri Singa itu Westerling ditangkap tentara Inggris dan kemudian dijebloskan ke penjara selama sekitar 6 bulan.
DARI Singapura, Westerling sempat menuju Mesir, lalu menetap beberapa lama di Belgia, dan kemudian tinggal di kota kecil di Prancis. Pada 1952, dia akhirnya bergabung dengan keluarganya, yang lebih dulu hengkang dari Indonesia, dan tinggal di Friesland, Belanda utara.
Westerling memulai hidup baru sebagai veteran pasukan elite Belanda. Seperti halnya para veteran lain, dia mengemban problem fisik dan psikis. Anak dan cucu Westerling mengingatnya sebagai pribadi yang sulit dimengerti. Bayangan perang selalu menghantuinya. "Dia kerap mengeluh sakit kepala, tak pernah tidur nyenyak, dan menjadi peminum," seorang kerabatnya menuturkan.
Keluarga Westerling hidup pas-pasan di sebuah rumah kecil. Dengan susah payah dia menghidupi keluarganya dari uang pensiun yang sedikit. Westerling kemudian banting setir: menjadi penyanyi opera. Dengan bantuan biaya dari Kementerian Pendidikan Belanda, dia mengikuti pendidikan khusus di Conservatorium van Amsterdam di Van Baerlestraat 27, Amsterdam.
Debutnya dilakukan di Gedung Concordia di Breda, selatan Belanda. Westerling menjadi penyanyi tenor dalam opera Tosca karya Puccini. Namun pertunjukan perdananya itu mendapat tanggapan negatif dari masyarakat. Dia pun tak meneruskan kariernya sebagai penyanyi opera.
Pada 1965, Westerling bercerai dari Yvonne Fournier. Perceraian itu kabarnya dipicu oleh keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan dan gaya hidup Westerling yang mulai bergantung pada alkohol. Pada 1971, Westerling menikahi Adriana Martina Vleesch Dubois. Mereka kemudian menetap di Purmerend, Amsterdam. Untuk menghidupi keluarganya, Westerling membuka kios buku bekas.
Saat itu, Westerling mempunyai binatang peliharaan: anjing. Sesekali dia meminta anak-anak tetangga mengajak anjingnya ke luar rumah dan bermain-main di Vondel Park, taman kota yang sangat terkenal akan keindahannya. Namun orang tua anak-anak itu melarang mereka mengajak jalan-jalan anjing milik Westerling. Para orang tua tersebut menganggap Westerling telah membantai orang-orang Hindia Belanda secara kejam.
Di masa senjanya, Westerling agaknya dikucilkan oleh lingkungannya. Ahli politik kita, Dr Salim Said, yang pernah menemui Westerling pada akhir 1969 tatkala Salim menjadi wartawan majalah Ekspres, merasakan hal tersebut. "Sebagian besar orang Belanda tidak suka Westerling," kata Salim. Kekejaman serta kegagalan menjadi penulis dan penyanyi opera membuat citra Westerling terpuruk di mata masyarakat Belanda.
Salim ingat saat itu ia tengah mengikuti training jurnalistik di Belanda. Sebagai bagian dari kegiatan training, dia tertarik menemui dua orang penting Belanda yang ada hubungannya dengan Indonesia: Profesor W.F. Wertheim, yang banyak mengkaji tentang Indonesia, dan Westerling.
Berbeda dengan Wertheim yang profesor dan punya kantor, keberadaan Westerling sulit ditemukan oleh Salim. "Namanya tidak tercatat di buku telepon," ujarnya. Saat itu, kata Salim, tidak ada orang Belanda yang bisa memberikan alamat dan nomor telepon Westerling.
Hingga akhirnya dia bisa menemui Westerling di sebuah restoran Cina di Amsterdam. Saat makan siang, Westerling sudah duduk menunggu di meja tengah restoran. Dia mengenakan pakaian preman dan jaket. Salim masih ingat, saat pertama kali bertemu, Westerling menyalaminya dengan sangat ketat. "Tangannya keras," ujar dosen di Universitas Pertahanan Indonesia, Jakarta, ini.
Westerling tidak datang sendiri ke restoran. Sejumlah orang yang berada di restoran itu adalah bekas anak buahnya. "Ketika saya masuk, semua orang yang ada di restoran itu melihat saya," kata Salim. Westerling mengatakan masih sering berkumpul dengan bekas anak buahnya. "Kami sering makan cabai," ucap Salim menirukan Westerling.
Menurut Salim, Westerling mempunyai fisik sangat kekar. Sebagai bekas tentara di pasukan komando, fisiknya terjaga. Padahal saat itu usianya telah memasuki 50-an tahun. Selama satu jam diwawancarai, dia menampakkan ekspresi biasa saja. Westerling mengatakan bersikap profesional sebagai tentara yang mendapat tugas. "Saya tanya berapa orang yang mati, dia enggak jawab. Kenapa menembak, dia enggak jawab," ujar Salim.
Westerling juga tidak berbicara dengan emosi saat diwawancarai. "Saya sampaikan, Anda hampir membunuh ayah dan paman saya," kata Salim. "Well, Mr. Said, it's nothing personal, it's war," ucap Westerling menimpali.
Nurdin Kalim Lea Pamungkas (BELANDA), Sri Pudyastuti Baumeister (Jerman), Iqbal Muhtarom (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo