Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ari H. Soemarno: Saya Merasa Dizalimi

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERANGAN bertubi-tubi meng-alir deras ke arah Ari H. Soemarno dalam dua pekan terakhir ini. Berbagai info miring tentang pegawai karier Pertamina ini me-mang marak sejak nama Direktur Pemasaran Pertamina ini disebut-sebut bakal segera menggantikan Widya Purnama, sebagai orang nomor satu di per-usahaan minyak pelat merah itu.

Kabar kedekatannya dengan para broker minyak membuat integritas pria kelahiran Yogyakarta 58 tahun silam ini kerap dipertanyakan khalayak permi-nyak-an nasional. Tak hanya itu, pekan lalu surat keputusan manajemen Pertamina tentang pemberian sanksi kepadanya pada 1996 pun beredar luas.

Untuk menjawab itu semua, selama hampir satu jam kakak mantan Mente-ri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi ini menerima wawancara khusus dengan Metta Dharmasaputra, Ali Nur Yasin, Yandhrie Arvian, M. Fasabeni, serta fotografer Arif Fadillah dari Tempo di Hotel Hilton, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Ia merasa dizalimi. ”Kalau me-mang saya membuat kesalah-an fatal, nyolong duit, ya berentiin aja gue,” kata-nya dengan nada tinggi.

Anda kabarnya segera menggantikan Widya Purnama. Benarkah?

Saya tidak tahu. Tapi saya memang sudah ikut fit and proper test pada September lalu. Juga sudah dipanggil ke tim penilai akhir. Yang minta dari awal Pak Sugiharto (Menteri Negara BUMN).

Anda dikenal sebagai orangnya Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro, termasuk sewaktu diangkat sebagai Direktur Utama Petral....

Waktu itu saya cuma dipanggil Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi untuk menjadi Direktur Utama Petral. Kalau memang saya dekat dengan Pak Purnomo, kenapa saya cuma jadi staf ahli sewaktu zamannya Pak Baihaki Hakim (Direktur Utama Pertamina). Staf ahli kan artinya diparkir. Itu setahun lamanya.

Jadi, tak ada dukungan dari pihak mana pun?

Saya nggak minta siapa-siapa u-ntuk mengangkat saya. Kalau saya mau, kan ngomong saja ke adik saya (Rini Soewandi). Masak, nggak dapat. Ngap-ain harus ke Pak Purnomo. Bahwa Pak Pur-nomo mengangkat saya sebagai salah satu ketua penyusunan draf Undang-Undang Migas, itu benar. Tapi untuk fair-nya jangan begitulah. Dinilai saja kinerja saya.

Anda merasa cukup berhasil?

Sewaktu saya di Petral, keuntungan Petral naik tiga kali lipat. Dari US$ 6 juta menjadi US$ 17,8 juta. Ini keuntung-an tertinggi dari semua anak perusa-ha-an Pertamina. Padahal modal saya wak-tu itu cuma US$ 50 juta. Itu nggak dinilai. Orang cuma ngomong saya diangkat karena Purnomo dan Rini.

Beredar rumor Anda bersama Purnomo dan Rini dua pekan lalu bertemu Ani Yudhoyono di Cikeas. Benarkah?

Nggak pernah. Cikeas di mana saja saya nggak tahu. Demi Allah. Dan kok adik saya dibawa-bawa. Dia kan sudah jauh dari pemerintahan. Kalau memang saya begitu, dari dulu saja saya ngomong ke dia, sewaktu jadi menteri.

Soal kedekatan dengan M. Reza dan para trader minyak lainnya....

Reza itu pedagang. Saya punya hubung-an dengan semua trader besar, kecil, dan multinasional, seperti BP, Shell, Total, Vitol, Trafigura, Glencore, Exxon. Karena kami memang trading. Ini link bis-nis. Jadi, saya bingung, apa sih yang diributkan.

Audit BPK menyatakan standard op-erating procedures Petral tak me-madai....

Yang memadai dan baku itu yang bagaimana? Yang penting, menciptakan untung apa tidak, dan transparan atau tidak. Bahwa memang ada yang harus diperbaiki, iya. Masalah di Petral pun banyak terjadi sebelum saya masuk ke sana pada Oktober 2003. Masak, Petral bergerak di bidang suvenir. Ini langsung saya benahi. Tapi bukan berarti ada penyimpangan.

Lantas, bagaimana soal sanksi yang pernah dijatuhkan Pertamina kepada Anda?

Ini juga sudah saya ceritakan ke tim penilai akhir. Isu ini selalu muncul tiap kali saya diangkat, baik di Petral maupun saat jadi Direktur Pemasaran Pertamina. Ini selalu menghantui saya. Se-olah-olah saya cacat seumur hi-dup. Anda harus lihat konteks kejadia-nnya wa-k-tu itu. Saya tidak pernah mau menanda-tangani berita acara itu, karena saya n-ggak setuju. Saya merasa dizalimi.

Bagaimana persisnya kasus itu?

Proyeknya adalah pembangunan jalan di Bontang pada 1991 senilai Rp 11 miliar. Anda kan tahu, kerja di Pertami-na zaman dulu kayak apa sih. Waktu itu jabatan saya manajer engineering sekali-gus ketua tim tender. Sebagai manajer engineering, saya lapor ke manajer pro-yek. Tapi, sebagai ketua tim tender, sa-ya la-por ke koordinator pelaksana pro-yek, pim-pinan tertinggi. Nah, bahwa te-n-der waktu itu diatur, sudah menjadi ke-biasaan, karena adanya ”pesanan-pesanan”.

Dari siapa ”pesanan” itu datang?

Saya nggak usah sebutlah, karena beberapa orangnya masih ada. Pokoknya dari pihak Departemen Pertambang-an. Nggak ke saya. Tapi ke koordinator pe-laksana. Dia bilang, ini ada pesanan, dana-nya akan dipakai untuk bangun sekolah atau apalah. Saya bilang ke dia, wah ini susah. Tapi dibilang, tanggung jawab ada di mereka. Oh, kalau begitu, silakan, atur saja sendiri.

Siapa pelaksana proyek itu?

Waktu itu kontraktornya PT La-mpiri Jaya Abadi, perusahaan kontraktor besar di Jakarta. Yang punya orang Batak, (alm.) Todung Barita. Bos saya juga orang Batak, Rajaguguk. Manajer Proyek saya juga orang Batak, Situmorang. Katanya ini clan Tapanuli. Saya diam saja. Dan ketika proyek ini ditender, perusahaan itu menang.

Bagaimana hingga Anda kena sanksi?

Proyeknya jadi pada 1993, bagus. Waktu itu diaudit BPKP, ng-gak ada masa-lah. Pada 1994 sa-ya dipromosikan jadi kepala di-nas di kantor pusat. Ber-arti n-ggak ada apa-apa. Tapi pada 1993 Menteri Pertambangan ber-ganti dari Ginandjar Kartasasmita ke I.B. Su-dja-na (alm.). I.B. Sudjana mende-ngar ada masalah, tapi saya nggak tahu kena-pa dia jadi concern dalam soal ini. Ni-lai-nya pun tidak tinggi, cuma Rp 11 miliar.

Lantas....

Kasus ini akhirnya disuruh ditel-iti lagi. Termasuk oleh satuan audit inter-nal dan BPKP. Dibilang proyek ini ke-mahal-an. Kontraktornya diminta me-ngem-ba-li-kan uang Rp 600 juta. Tapi waktu itu Pak Menteri nuntut harus ada yang bertanggung jawab dan dikenai sanksi. Se-mula direksi Pertamina nggak mau. Tapi, karena ditekan-tekan terus, akhir-nya saya diberi sanksi pada 1996. Bayang-kan, lima tahun kemudian!

Jadi, I.B. Sudjana yang mendesak pem-berian sanksi?

Iya, dan (almarhum) Faisal Abdaoe (Direktur Utama Pertamina). Saya diberi tahu, ini kan cuma sementara, cuma penurunan golongan gaji. Bukan penurunan pangkat. Sebetulnya, kalau direksi konsekuen, saya bisa dipecat, karena tidak mau tanda tangan. Tapi nggak dilakukan. Saya diminta terima saja.

Anda tetap menolak?

Terus terang, saya bimbang. Kel-uar atau tidak dari Pertamina. Saya m-inta nasihat ke sejumlah orang tua, dan diminta bersabar. Pada 1997 selesai. Go-longan gaji saya dipulihkan. Enam bulan kemudian, malah dinaikkan. Dan dua tahun setelah itu diangkat jadi kepala divisi, kemudian Direktur Ut-ama Petral, hingga direktur pemasaran. Jadi, sebetulnya nggak usah diributkan lagi, dong.

Ada anggapan tender impor minyak selama ini hanya semacam ”arisan” bagi-bagi jatah....

Arisan bagaimana? Ada 30 peserta tender. Tendernya transparan banget. Dulu memang pernah ada kasus impor mi-nyak Azeri. Ini karena memang ada yang memainkan data komputernya. Kalau sudah begitu, mau apa? Tapi kan bukan tendernya yang salah.

Tapi, kabarnya, tender kerap dimenangkan perusahaan tak bonafide. Karena itu dikeluarkan aturan baru....

Tender tidak ada bedanya yang dulu dengan sekarang. Lebih banyak yang ikut tender kan lebih bagus. Kalau dibatasi, makin kurang kompetitif, dong. Yang penting, tendernya transparan.

Bukankah harga pembelian minyak impor sekarang menjadi lebih murah?

Siapa yang ngomong? Suruh banding-kan. Jangan itu dipakai untuk men-jus-tifikasi tender hanya dibatasi pada perusahaan-perusahaan besar. Ju-stru per-usahaan-perusahaan kecil yang membuat persaingan jadi kompetitif. Kalau dulu perusahaan besar menawarkan harga lebih rendah, kan seharusnya menang.

Jadi, Anda tak sepakat dengan aturan baru ini?

Sekarang, proses tender diambil alih dari saya, ditangani langsung oleh Direktur Utama. Aneh juga kan? Dengan aturan baru ini pun, sebentar lagi akan ada protes. Dibilang bahwa ini mafianya yang gede-gede. Ramai lagi. Yang kalah selalu protes.

Tampaknya Anda sering tak cocok dengan Direktur Utama Pertamina, termasuk Baihaki Hakim....

Itu sejarahlah. Jangan diutak-utik.

Karena ada prinsip yang berbeda?

Mungkin iya. Saya kan orang lama di migas, mulai dari operator kilang, pe-ngembangan proyek, pemasaran, dan sebagainya. Boleh dibilang spektrum saya sudah luas di minyak. Tapi, apa saya berbeda pendapat kalau direksi-nya orang dalam? Orang luar suka membawa nilai-nilai yang kadang-kadang kurang saya pahami.

Bukankah Baihaki orang lama di perminyakan?

Beliau kan hanya di hulu. Caltex (yang pernah dipimpin Baihaki) itu hanya di hulu, tidak punya hilir. Sedangkan saya orang hilir. Saya juga orangnya ceplas-ceplos. Tapi beda pendapat itu biasa. Toh, kegagalan direksi adalah kegagal-an saya juga.

Paling cocok dengan kepemimpinan siapa?

Martiono Hadianto (Dirut Pertamina 1998-2000, kini Komisaris Utama). Karena beliau betul-betul punya konsep untuk mereformasi Pertamina dan punya visi ke depan. Saya dengan beliau dulu menyusun konsepnya. Meski-pun ma-sa kepemimpinannya pendek, dia ba-nyak meletakkan dasarnya.

Apa yang harus dilakukan Pertamina?

Pertamina memang punya beban sejarah yang cukup berat. Seolah-olah cer-minan kebobrokan Orde Baru. Ke depan Pertamina harus bisa memulihkan kepercayaan masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus