Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya sangat biasa: Abdul Rahman Saleh. Tapi, di balik nama ini, terkandung makna yang sangat dalam. ”Hamba Tuhan yang taat”, inilah arti nama laki-laki yang lahir 63 tahun silam di Pekalongan, Jawa Tengah, itu. Dan di balik nama itu pula terkandung harapan besar publik akan tegaknya hukum di negeri ini.
Harapan itulah yang dipahami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa tarik-ulur panjang, Yudhoyono mengangkatnya sebagai Jaksa Agung—posisi mahapenting sebagai benteng hukum. ”Saya mendoakan agar dia selamat dan tetap di jalan Allah,” kata Maryam, sang ibunda, yang kini berusia 80 tahun.
Pilihan SBY tidak salah. Abdul Rahman Saleh adalah sosok yang bersih dan berani. Namanya meroket saat memberi keputusan berbeda (dissenting opinion) pada kasasi kasus korupsi Akbar Tandjung. Dalam sidang hakim agung pada 12 Februari 2004, saat Akbar masih Ketua DPR, Abdul Rahman menilai Akbar terbukti melakukan korupsi dana Bulog, yang merugikan negara Rp 40 miliar. Bukan keputusan mudah, karena Arman—nama kecil Abdul Rahman—sendirian. Empat hakim lainnya memilih membebaskan Akbar. Arman kalah suara, tapi tak ada yang bisa mengalahkan nuraninya.
Kini, dia menjadi bintang dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai Jaksa Agung, Arman berjanji akan membuka kembali perkara korupsi yang masuk kotak di Kejaksaan Agung (SP3). Termasuk yang akan ditelisik ulang adalah dugaan korupsi bekas Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita dalam proyek pipa gas dan dugaan korupsi Djoko Ramiadji dalam proyek tol ring road Jakarta.
Arman adalah anak Pekalongan yang lahir dari keluarga sederhana. Ia meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Gadjah Mada. Sebelum menjadi pengacara, Arman muda sempat kepincut dunia jurnalistik. Selama 1968-1973 ia menjadi wartawan hukum di harian Nusantara. ”Saat menjadi wartawan,” ujar Arman, ”saya sempat ditawari menjadi jaksa oleh Kepala Humas Kejaksaan Agung.”
Selepas jadi wartawan, Arman beralih profesi ke pengacara. Ia sempat menangani beberapa kasus yang menyedot perhatian publik, seperti kasus subversi Sawito Kartowibowo, kasus Imran (pembajak pesawat Woyla), dan kasus tokoh PKI Asep Suryaman. Berkat kegigihannya dalam membela kelompok tertindas, Arman dipercaya menjadi Direktur LBH Jakarta (1981 –1984). Lucunya, di sela kesibukannya sebagai pengacara, tokoh yang menyukai dunia teater ini masih sempat membintangi beberapa film layar lebar. Bersama artis cantik Yeny Rachman, misalnya, Arman membintangi film Kabut Sutra Ungu (1980). Kemudian, bersama Guruh Sukarno Putra dan Deddy Sutomo, ia bermain dalam film kolosal Walisongo (1982).
Kini, sebagai Jaksa Agung, Arman bermain di pentas yang lebih besar. Banyak lakon dan drama penting yang menantangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo