Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tugas Jimly Asshiddiqie bukanlah untuk menyenangkan orang banyak. Maka, ia pun tak ragu mengambil keputusan itu: membatalkan Undang-Undang No. 16/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2/2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom Bali.
Inilah keputusan Mahkamah Konstitusi pimpinan Jimly yang membuat orang terhenyak. Di tengah ramainya teror bom, lembaganya membatalkan undang-undang yang justru untuk menjaring pelaku pengeboman di Bali Oktober 2002 lalu.
Jimly yakin, keputusan Mahkamah Konstitusi masih dalam koridor konstitusi. Bila ada undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi, UUD 1945, harus disingkirkan. ”Keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi harus dihormati,” kata Jimly, Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga pakar hukum tata negara.
Dalam putusan sidangnya pada 23 Juli 2004, Mahkamah menilai Undang-Undang No. 16/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, alias tak berlaku lagi. Sebelumnya, undang-undang ini dibuat untuk menangkap pelaku pengeboman di Bali yang menewaskan 200 orang lebih.
Keputusan mengejutkan ini adalah hasil sidang sembilan hakim Mahkamah Konstitusi yang membahas gugatan judicial review dari Masykur Abdul Kadir. Lima bulan sebelumnya, Kadir, terpidana kasus bom Bali yang divonis 15 tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar, mengajukan judicial review terhadap undang-undang yang dikenal sebagai ”Undang-Undang Terorisme Bom Bali” itu.
Menurut M. Luthfie Hakim dari Tim Pengacara Muslim (TPM), kliennya tak bisa dijerat dengan undang-undang itu. ”Tidak ada undang-undang yang dibuat khusus untuk diterapkan pada hal khusus, apalagi memakai asas retroaktif (berlaku surut),” kata Hakim. Hakim juga yakin, peristiwa bom Bali bukan kejahatan luar biasa. ”Ini kejahatan biasa. Jadi, undang-undang itu salah menerapkannya,” ujarnya.
Mahkamah Konstitusi sejak Februari 2004 menyidangkan kasus ini. Dari sembilan hakim Mahkamah, lima mengabulkan permohonan Masykur Abdul Kadir. Mereka adalah Jimly sendiri, Laica Marzuki, Muktie Fadjar, Ahmad Rustandi, dan Sudarsono. Empat hakim lainnya mengajukan dissenting opinion (perbedaan pendapat). Mereka masing-masing adalah I Dewa Gede Palguna, Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, dan Hardjono. Menurut keempat hakim yang menolak, hukum tak boleh kosong. Karena itu, penerapan Undang-Undang No. 16/2003 tidak melanggar hukum apa pun.
Tapi, Hakim Jimly tak sependapat. Pria kelahiran Palembang 17 Oktober 1956 ini menilai kejahatan bom Bali tidak bisa dikategorikan kejahatan luar biasa. Yang tergolong kejahatan luar biasa, misalnya, adalah genosida, pembantaian yang dilakukan dengan sistematis. Karena itu, adalah salah jika menghukum para terdakwa bom Bali dengan Undang-Undang No.16/2003.
Jimly sadar keputusan Mahkamah mengundang kekecewaan. ”Kami memang tidak bisa menghindari kekecewaan dan kegembiraan. Tugas kami membangun kewibawaan hukum,” katanya.
Dengan tutup bukunya Undang-Undang No. 16/2003, praktis semua dakwaan terhadap mereka yang berkaitan dengan bom Bali tak lagi memakai ”Undang-Undang Terorisme Bom Bali”. Langkah mundur? Tidak, karena Indonesia masih memiliki Undang-Undang No. 15/2003 tentang Terorisme. Dengan undang-undang ini, pelaku kejahatan terorisme masih bisa dijerat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo