Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALENDER di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tempat Deliar Noer mengajar, menunjukkan tarikh 1964. Ia belum genap dua tahun pulang dari Universitas Cornell, New York, sebagai orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor dalam ilmu politik. Di dalam kelas, ia terang-terangan menentang konsep Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom) ajaran Bung Karno. ”Sangat kontradiktif dan tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” ujar Deliar, mengenang kembali masa itu. Akibat dari sikapnya, ia menjadi sasaran kebencian massa dan mahasiswa pendukung PKI. Apalagi pendapat Deliar yang sangat kritis tentang Marxisme dan komunisme itu selalu dimuat media massa setempat. ”Setiap hari saya selalu menjadi headline,” tuturnya.
Sejak itu semua aktivitasnya dimata-matai. ”Yang memberi tahu saya justru seorang anggota CPM,” katanya terkekeh. Tak tahan dengan agitasi politik yang kian menjurus pada pembunuhan karakter, Deliar mengabari Bung Hatta—salah seorang sponsornya dalam memperoleh beasiswa ke Amerika. Proklamator itu menjawab lewat sepucuk surat. ”Pindahlah ke Jakarta karena Medan terlalu kecil sehingga langkahmu selalu disorot orang.”
Deliar patuh, dan memulai karier baru sebagai dosen di Seskoad, Seskoal, dan Seskoau. ”Saya memang dizalimi pada 1964-1965 itu. Tetapi saya tak dendam kepada pendukung PKI. Kami biasa berbeda pendapat sejak mahasiswa,” tutur Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 1953-1955 itu. Tapi tak berarti Deliar setuju dengan cara Orde Baru menangani masalah PKI. ”Ini masalah keadilan. Banyak dari mereka yang dikirim ke Pulau Buru tanpa diadili,” katanya. Matanya menerawang. Ia ingat ayahnya, seorang pegawai pegadaian di Tebing Tinggi, yang dieksekusi Jepang bersama 2.000 warga lainnya pada 1945. ”Anggota PKI tetap berhak memperoleh peradilan yang fair dan obyektif,” tuturnya.
Namun langkah Deliar sendiri terbatas. Meski sempat menjadi anggota tim ahli politik Soeharto yang diketuai Sarbini Soemawinata (1966-1968), adalah Soeharto pula yang memberhentikannya sebagai Rektor IKIP pada 1974. Deliar dilarang mengajar di perguruan tinggi mana pun di seluruh Indonesia. Secara teknis, karier akademisnya tamat. ”Periode itu jauh lebih parah ketimbang perlakuan simpatisan dan pendukung PKI,” katanya.
Tiga tawaran mengajar datang dari Chicago, Singapura, dan Brisbane, Australia. Deliar memilih yang terakhir, dan selama satu dekade (1974-1984) ia tinggal di Negeri Kanguru. ”Saya tak punya pilihan. Meskipun ingin pulang, lima tahun pertama nama saya di-blacklist pihak Imigrasi,” tuturnya. Tapi ia melihat hikmah lain yang tak pernah dialaminya di Indonesia. Deliar diangkat sebagai Presiden Asosiasi Muslim Queensland, yang anggotanya terdiri dari berbagai ras dan bangsa. ”Saya diminta memberikan pengajian untuk anggota, dalam bahasa Inggris pula. Padahal, ketika di Indonesia, saya praktis tak pernah tampil di mimbar pengajian,” katanya.
Beberapa pengalaman itu membuatnya langsung mengangguk setuju ketika diajak memperjuangkan pemulihan hak-hak politik eks anggota PKI yang terhambat oleh Undang-Undang Pemilu No. 12/2003. Deliar ber-sedia namanya ditempatkan di urutan pertama sebagai pemohon judicial review. Permohonan mereka dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Anggota eks PKI kini memiliki hak politik yang sama seperti warga negara lainnya. ”Sebenarnya peran saya hanya sebagai pendukung di sini. Yang lebih banyak berperan itu Judil (Herry Justam), Ali Sadikin, Sri Bintang (Pamungkas), dan kawan-kawan lainnya,” ujarnya merendah.
Ia mungkin benar. Tapi perannya juga tak sesedikit yang diceritakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo