Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandara Soekarno-Hatta pukul 21.00 WIB, 7 September 2004. Seteguk cokelat panas yang dipesan dari sebuah kedai kue donat di bandara mengalir ke kerongkongan Munir. Hangat. Tapi ia segera ingat sesuatu. "Jangan-jangan saya dicekal seperti Januari lalu," kata Munir seperti ditirukan Poengky Indira, Sekretaris Eksekutif Imparsial.
Januari lalu, menjelang berangkat ke Swiss untuk sebuah seminar, Munir sempat menelepon mantan Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Makhmud Hendropriyono. "Apakah saya dicekal?" tanya Munir polos. "Tidak, kok, silakan Anda pergi," kata Hendro ketika itu.
Menjelang pergi ke Belanda, Munir tak menelepon Hendro lagi. Ia yakin urusan cekal sudah tak menghambatnya lagi. Tapi, beberapa jam setelah itu, ternyata Munir benar-benar pergi untuk selamanya. Dia meninggal di pesawat Garuda dalam perjalanan dari Singapura menuju Amsterdam, Belanda. Yang mengejutkan, dari hasil otopsi Netherlands Forensisch Instituut (NFI), adanya racun arsenik di lambung, darah, dan urine.
"Di lambung, jumlah arsenik mencapai 465 miligram," kata juru bicara keluarga Munir, Rasyid Said Thalib. Padahal, dengan dosis 150 miligram?ukurannya sama dengan seperempat pil obat flu?arsen bisa membikin orang tewas dengan cepat.
Melihat temuan di lambung itu Mun'im Idris, dokter forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hakul-yakin arsenik itu masuk lewat mulut, melalui makanan atau minuman. "Ini jelas keracunan yang akut, dan bukan keracunan kronis," katanya.
Dalam dunia kedokteran, memang dibedakan antara keracunan akut dan kronis. Istilah keracunan akut dipakai bila racun masuk dalam tubuh dengan dosis tinggi dan mematikan. Adapun keracunan kronis terjadi bila racun masuk ke tubuh dalam dosis yang rendah dalam kurun waktu yang panjang. Untuk kasus kronis, korban tak langsung tewas. Pada korban biasanya muncul gejala berupa kulit bersisik atau terkena kanker kulit. Arsenik pelan-pelan akan menggerogoti tubuh dan menggiring pengidapnya hari demi hari menuju mati. Kejadian inilah yang dialami Napoleon Bonaparte, yang diracun dengan dosis rendah selama bertahun-tahun. Kasus pencemaran arsenik di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, juga tergolong kronis.
Gejala yang dialami Munir memang klop dengan kesimpulan Mun'im Idris. Sebelum meninggal, tiga jam setelah terbang dari Bandara Changi, Singapura, menuju Schippol, Amsterdam, lelaki 39 tahun asal Batu, Jawa Timur, itu muntah-muntah berat. Dia juga lebih dari enam kali harus bolak-balik ke toilet karena diare. "Muntah-beraknya hebat sekali," ujar Tarmizi Hakim, dokter ahli bedah jantung Rumah Sakit Harapan Kita, yang kebetulan bertemu dan merawat Munir di pesawat.
Mun'im Idris menjelaskan, setelah beberapa jam arsen masuk ke lambung, racun itu akan menyebabkan mual, muntah, dan diare yang parah. Seberapa cepat racun ini bekerja, menurut dia, tak ada ukuran yang pasti, tergantung toleransi tiap-tiap orang. Bila muntah dan diare ini tak segera diatasi, tubuh akan segera kekurangan cairan. Kerja sel-sel di tubuh pun akan terganggu. Bahkan, sel otot jantung bisa ngadat bekerja. Tak mengherankan bila korban keracunan arsen itu sering diduga terkena serangan jantung?gejala yang sempat dilansir media massa beberapa saat setelah Munir meninggal.
Lalu dari mana datangnya racun itu, yang di alam (dengan kadar rendah) ada di bebatuan, tiram, dan ikan? Apakah secangkir cokelat yang diseruput Munir sesaat sebelum terbang dengan pesawat Garuda bernomor GA 974 mengandung arsenik? Agaknya bukan. Soalnya, menurut Poengky Indira, Suciwati, istri Munir, pun ikut menyeruput minuman Munir itu. Bila ada arsen dalam dosis tinggi dalam cokelat ini, pasti Suciwati juga terkena akibatnya. Kenyataannya, Suciwati sampai sekarang tetap sehat?walau tak ada salahnya ia memeriksakan diri karena mungkin yang diminumnya hanya sedikit.
Mun'im punya teori lain tentang bagaimana arsen itu bisa bersarang di lambung Munir. Cara yang paling praktis adalah dengan menyusupkan bubuk arsen ke minuman panas seperti teh atau kopi. Dengan cara ini, arsen?yang mudah dibeli di toko kimia dan biasa ada di racun tikus?katanya, akan cepat terlarut dalam minuman panas. Tak perlu diaduk, juga tak menimbulkan perubahan rasa dan warna.
Karena itu Mun'im menduga, racun masuk tubuh Munir di pesawat terbang atau sesaat sebelum terbang. "Tinggal dicek saja, siapa penumpang yang dekat dengan Munir," kata dokter yang menilai tak perlu lagi ada otopsi bagi "ayah" orang-orang hilang itu. Namun Djaja Surya Atmadja, pengajar kedokteran forensik Universitas Indonesia, yang menulis kolom di Kompas edisi 20 November 2004, menduga proses peracunan bisa terjadi mulai empat hari sebelum Munir wafat. Jadi, proses penyidikan tak harus hanya ketika Munir dalam perjalanan terakhirnya.
Tabir waktu peracunan itulah yang belum tersingkap.
Burhan Sholihin, Eni Saeni, Sukma N. Loppies, Edy Can, Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo