Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini ada informasi penting," kata Munir kepada wartawan Tempo pada awal Juli lalu. "Tapi tak bisa melalui telepon." Direktur Eksekutif Imparsial ini lebih percaya bicara sambil bertatap muka. Dialog melalui kabel itu pun berlangsung singkat.
Pertemuan lalu diadakan di kantornya di Menteng, Jakarta Pusat. Dia mengutarakan hasratnya untuk mengungkap korupsi di sebuah departemen. Disebutkan pelakunya adalah beberapa tokoh penting di republik ini. Tak lupa ia menyodorkan sejumlah data. Di antaranya daftar bujet salah satu proyek di departemen itu, yang nilainya sudah digelembungkan. Hanya masih sumir.
Dua pekan kemudian, Munir kembali mengontak Tempo. Di ujung telepon dia bilang ada seorang perwira militer yang tahu soal cerita korupsi ini. Munir menambahkan, si perwira siap membeberkannya.
Setelah bertelepon itu, pertemuan dengan Tempo untuk membicarakan kasus korupsi ini terjadi beberapa kali. Hanya, kendalanya masih sama, yaitu kelengkapan bukti pendukung. Aktivis hak asasi manusia ini tak mudah patah semangat, dia bersumpah membongkar kasus ini. Dia pun berjanji melengkapinya.
Tekad Munir membongkar korupsi ini memang mengerutkan dahi. Ini sesuatu yang baru pada dirinya, karena biasanya yang diurus pelanggaran hak asasi manusia. Namun, sebelum hasratnya diwujudkan, dia terlebih dahulu terbang ke Belanda. Pria kelahiran 8 Desember 1965 ini berniat melanjutkan studinya di Universitas Utrecht.
Sayangnya, malaikat datang menjemput Munir saat terbang dengan pesawat Garuda menuju Amsterdam, 7 September lalu. Jenazahnya dimakamkan di kota kelahirannya, Batu, Malang, Jawa Timur, 12 September lalu. Dua bulan kemudian, muncul perkembangan baru menyangkut tewasnya Munir. Dari hasil otopsi, disebutkan penyebabnya adalah racun arsenik. Dari sini muncul dugaan, Munir sengaja dibunuh.
Munir dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia yang paling berani di Indonesia. Dia memulainya dengan mengurus buruh sejak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Salah seorang yang dibantunya adalah aktivis buruh Suciwati, yang ditangkap karena memimpin pemogokan di sebuah pabrik. Suciwati kemudian menjadi istrinya, yang memberinya dua anak.
Kemudian kariernya berlanjut di Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, 1989. Lalu Munir menjabat Direktur LBH Semarang pada awal 1996. Dia hijrah ke Jakarta pada 14 April 1996, lantaran dipercaya menjabat Kepala Bidang Operasional YLBI. Tiga bulan kemudian mulailah Munir berurusan dengan perkara penculikan, sebuah masalah yang amat rawan di masa Orde Baru. Berawal dari pengaduan raibnya sejumlah aktivis pada 27 Juli 1996.
Dua tahun berselang, Munir menjadi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Persoalan orang hilang yang ditangani menjadi lebih luas dan beragam, termasuk menangani lenyapnya sejumlah orang dalam peristiwa Tanjung Priok, Aceh, dan Timor Timur. Nama Munir pun meroket. Wajahnya mulai kerap terlihat di televisi.
Setelah rezim Soeharto runtuh, Munir belum berhenti mengusung beragam masalah hak asasi. Dia juga cukup sadar, banyak pejabat yang gerah dengan sepak terjangnya. "Risikonya, kalau tidak diculik, ya dipenjarakan," katanya suatu kali.
Ancaman fisik mulai mendekatinya pada 20 Agustus 2001. Rumah orang tuanya di Jalan Diponegoro, Batu, Malang, dikirimi bom dibungkus kantong plastik hitam. Uniknya, Munir mengetahui soal bom ini setelah si pengirim memberitahukannya lewat telepon. "Saya kira itu hanya peringatan," ujar Munir saat itu.
Dia menduga teror bom itu berhubungan dengan pernyataannya tentang Evaluasi Tipologi Kasus Bom di Indonesia tahun 1972-2001. Di situ, dia juga menyebut perlunya audit atas peredaran semua bahan peledak di Indonesia. Katanya, ada lima perusahaan produsen bahan peledak di Indonesia, yaitu Pindad, Dahana, serta tiga perusahaan milik sebuah yayasan. Pemerintah dan DPR tak menanggapinya. Bahkan teror yang menghampirinya.
Namun, ancaman itu tak menciutkan nyali Munir. Keluarganya juga sudah terbiasa. "Untuk hal-hal seperti itu, saya serahkan semuanya kepada Tuhan. Tuhan yang punya kuasa," kata Suciwati. Empat tahun lamanya Munir memimpin Kontras. Selanjutnya, pada April 2002, dia menjadi Ketua Dewan Penyantun Kontras. Sedangkan Koordinator Kontras dijabat Usman Hamid.
Munir mendirikan lembaga baru Imparsial pada Juni 2002. Di lembaga pengawas hak asasi ini Munir menjabat direktur eksekutif. Kegiatannya juga mirip dengan Kontras. Jadi, tak mengherankan jika teror pun masih menyambanginya. Rumahnya di Bekasi dilempari bahan peledak pada Agustus 2003. Peristiwa ini terjadi tiga bulan setelah sekelompok orang menyerbu kantor Kontras.
Dia seperti orang yang tak punya urat takut. Berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintah pun terus meluncur dari pria bertubuh kurus ini. Di antaranya terhadap Undang-Undang Terorisme (UU No. 15/2003), Rancangan Undang-Undang TNI yang telah disahkan menjadi undang-undang pada akhir September lalu, dan Rancangan Undang-Undang Pokok Intelijen Negara.
Munir mengatakan UU Terorisme memberikan peluang penyalahgunaan kekuasaan bagi aparat penyidik dan penyelidik. Selain itu, UU Terorisme memberikan ruang bagi instansi non-hukum pada proses pemeriksaan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. UU ini, menurut Munir, memberi aparat legitimasi untuk penghilangan orang.
Sedangkan UU TNI, menurut Munir, intinya mengembalikan dwifungsi TNI. Ia menunjuk pasal 45 ayat 1 undang-undang ini, yang memungkinkan untuk mempekerjakan prajurit TNI aktif pada struktur departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. Ini persis seperti zaman Orde Baru. Padahal, sejak era reformasi, prajurit TNI diharuskan pensiun jika memegang jabatan sipil, kecuali di Departemen Pertahanan.
Suciwati mengatakan, secara umum suaminya menilai undang-undang itu tak sesuai dengan semangat reformasi dan kondisi saat ini serta di masa mendatang. "Dia benar-benar menolaknya. Saya pun sempat membantu mengetik pendapat dan alasannya menolak undang-undang itu," katanya.
Adapun soal RUU Pokok Intelijen Negara, yang dimasalahkan adalah kewenangan BIN menangkap dan menahan orang yang dicurigai sebagai teroris. Kewenangan ini sama dengan Undang-Undang Antisubversif yang membenarkan intel menangkap siapa pun yang dicurigai. Itu sebabnya dia khawatir, RUU Intelijen akan menimbulkan pelanggaran hak asasi.
Selain itu, Munir juga getol menyorot pembelian kapal patroli TNI AL senilai Rp 160 miliar. Yang disoal adalah sumber dana untuk pembelian kapal yang datang dari sejumlah pemerintah daerah. Menurut Munir, RAPBD tidak boleh dialokasikan untuk anggaran di sektor pertahanan.
Munir yang selalu pantang menyerah belakangan mengeluh juga. Salah seorang sahabatnya, Rachland Nashidik, menyebutkan salah satu kerisauan sahabatnya itu adalah tentang gerakan hak asasi di Indonesia yang sering gagal. "Saya ingin beristirahat, belajar lagi dan merenung," kata Munir seperti ditirukan Rachland, yang kini menempati posisi Direktur Eksekutif Imparsial.
Bahkan dia juga mulai sentimentil. Suatu kali dia pernah mengirim pesan pendek untuk Rachland. Bunyinya: "Lan, kau di mana, aku udah kangen nih." Rachland mengaku tertawa membaca pesan itu. "Munir kok jadi begini," katanya.
Sehari sebelum berangkat ke Belanda, dia kembali mengirim pesan pendek ke Rachland. "Titip kantor, anak, dan istriku." Munir berangkat pada 6 September. Rupanya, itulah pesan Munir terakhir. Sehari kemudian, Rachland menerima kabar duka.
Nurlis E. Meuko, Eni Saeni, dan Sukma N. Loppies
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo