KALI ini cerita dari Mesir. Seorang arsitek pergi ke desa. Desa
yang dikunjunginya terletak di daerah Nubia, dekat kota Aswan.
Ketika memasuki dusun pertama di situ, sang arsitek -- Hassan
Fathy -- tahu: ia telah menemukan apa yang dicarinya. Adapun ia
tengah mencari satu segi teknis bangunan yang direncanakannja.
Ia merencanakan bangunan yang batu batanya dibuat dari lumpur
sederhana, sebagaimana rumah petani Mesir.
Dan di dusun itu ia sadar, bahwa yang dilihatnya adalah "bagian
yang masih hidup terus dari arsitektur tradisionil Mesir, suatu
cara mendirikan bangunan yang merupakan pertumbuhan wajar dari
tamasya alam, sebagaimana pohon kurma yang tumbuh di distrik
itu". Yang ia lihat adalah "suatu visi arsitektur sebelum
Kejatuhan: sebelum uang, industri, keserakahan, dan snobisme
yang telah merenggutkan arsitektur dari akarnya sejati dalam
alam". Begitulah ditulisnya dalam bukunya yang terbit tiga lahun
lalu di Amerika, Architecture for the Poor (Arsitektur bagi Si
Miskin).
Adakah Hassan Fathy hanya seorang romantis, yang mencintai apa
yang kuno, kedusun-dusunan, dan seakan tak berarti? Mungkin.
Tapi sebagaimana terbukti dari judul bukunya, ia ternyata
melontarkan suatu pikiran yang penting buat zaman ini dan kelak.
Yakni, bagaimana memecahkan persoalan perumahan yang menghantui
setiap negeri yang mayoritas rakyatnya melarat. Caranya: ia
belajar dari rakyat. Hassan Fathy, anak tuan tanah dari kota dan
lulusan Fakultas Seni Rupa Kairo, belajar dari tukang batu
bersahaja dari dusun Nubia. Ia telah membuktikan bahwa bahan
tradisionil petani Mesir -- batu bata lumpur -- bisa tahan lama,
dan bisa dipakai dengan gampang serta murah. Ia belajar dari
pengalaman rakyat yang berabad-abad. "Penyelesaian bagi masalah
perumahan Mesir", tulisnya, "terletak dalam sejarah Mesir".
Tentu saja dengan itu ia melawan arus besar: menghadapi mereka,
termasuk orang di pemerintahan, yang lebih menyukai bangunan
yang mentereng (meski tak lebih artistik), mahal (meskipun tak
lebih kuat) . . . dan banyak uang komisinya.
"Modernisasi" memang telah sering sesat. Fathy mengutip Qur'an
untuk mengingatkan bahwa manusia juga dibuat dari bahan
sederhana, tanah. Ia juga mengutip Dante Alighieri: "Mungkin apa
yang kita sebut modern hanyalah apa yang tak berharga untuk
tertinggal sampai tua".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini