KEADAAN ekonomi kita kini -- ditambah dengan hutang Pertamina
yang tampaknya makin membesar itu -- telah memaksa pemerintah
cari akal lebih banyak. Bagaimana caranya meraih uang lebih
banyak lagi? Ini urusan Direktorat Jenderal Pajak.
Menurut APBN 76/77 ini, Ditjen Pajak diminta mengumpulkan uang
sebesar Rp 564 milyar. Hampir Rp 140 milyar lebih dari anggaran
tahun yang berjalan. Dalam konperensi persnya beberapa waktu
lalu, Sekretaris Dirjen Pajak Husein Kartasasmita sudah
menegaskan akan melakukan sikap yang lebih keras lagi terhadap
para wajib pajak yang masih bandel. Misalnya kepada mereka yang
sudah dikirimi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), tapi belum juga
mengembalikan. Sekalipun batas waktunya liwat. Kepada para
penerima SPT yang belum mengembalikannya pada 31 Maret 1976 akan
diberi teguran. Kalau belum dipindahkan, akan disusul dengan
peringatan. Kalau toh masih bandel maka Kantor Inspeksi Pajak
akan menetapkan secara sepihak jumlah pajak yang harus dibayar.
Dari semula memang pengenalan SPT kurang mendapat sambutan dari
wajib pajak yang menerimanya. Mulanya hanya 60% SPT yang
dikirim diterima kembali oleh kantor pajak. Tapi akhir-akhir
ini jumlah SPT yang diterima kembali sudah bertambah. Dalam
dengar pendapat dengan Komisi VII DPR tempo hari, Dirjen Pajak
Sutadi Sukarja mengemukakan bahwa SPT yang diterima kembali kini
mencapai 80%, sekalipun katanya tidak seluruhnya diisi sesuai
dengan apa yang diminta. "Bahkan ada yang hanya membubuhkan
tanda tangannya saja", kata Sutadi. Ini menunjukkan betapa masih
renggangnya komunikasi antara kantor pajak dan wajib pajak.
Dalam pengumpulan pajak perseroan Dirjen Pajak rupanya juga
dihadapi dengan kesulitan. Banyak perusahaan yang hidup segan
mati juga tak mau. Dalam sistim ekonomi yang kompetitif sekarang
ini, perusahaan yang sedang, apalagi yang kecil gampang sekali
goyah. Sutadi juga mengemukakan adanya satu instansi pajak di
Jakarta, yang dalam satu kwartal terpaksa menghapus 500 badan
usaha dari daftar pembayar pajak. Badan-badan usaha itu
tiba-tiba menghilang begitu saja. Dan akibat keadaan ekonomi
yang sulit selama 1975 jumlah perusahaan pembayar pajak tak
mengalami pertambahan. Januari 1975, perusahaan yang efektif
sebagai pembayar pajak berjumlah 28.190 buah. Tapi pada akhir
Oktober kemarin, jumlahnya hanya mencapai 28.500 buah. Ini tak
berarti bahwa Dirjen Pajak tak akan mampu mengumpulkan lebih
banyak pajak perseroan. Banyak perusahaan. terutama yang
didirikan atas dasar PMA dan PMDN, yang akan mengalami habis
masa libur pajaknya. Lima tahun yang lalu pajak dari perusahaan
swasta hanya berjumlah Rp 5 milyar, separoh dari pajak perseroan
yang dibayar perusahaan negara. Tapi dalam bulan pertama tahun
anggaran ini jumlah pajak perseroan swasta sudah mencapai Rp 48
milyar atau 90% dari pajak yang dibayar perusahaan negara. Dan
dalam RAPBN 76/77 ini, jumlah pajak perseroan dari sektor
swasta ini diperkirakan akan melampaui pajak perseroan
perusahaan negara. Bahkan pajak perusahaan swasta akan merupakan
50% dari seluruh pajak perseroan yang akan diterima.
Coba-Coba
Dalam praktek, proses penetapan pajak perseroan ini tak selalu
lancar. Perbedaan penafsiran selalu terjadi, antara petugas
pajak dan perusahaan yang bersangkutan. Khususnya dalam pos-pos
pengeluaran apa saja yang boleh dikurangkan dari laba kena
pajak. Ini timbul karena makin kompleksnya operasi perusahaan
yang besar. Juga petugas kurang cekatan memahami situasi
tertentu. Maka dirasa perlunya konsulen pajak. Badan ini menurut
Sutadi bisa "menjembatani" perusahaan dan kantor pajak. Tapi
dalam prakteknya konsulen pajak ini justru lebih banyak
berfungsi sebagai badan yang menyatakan keberatan perusahaan
langganannya atas ketetapan pajak yang dibuat kantor pajak.
Memang kebanyakan kantor pajak menetapkan sendiri, secara
sepihak, jumlah pajak yang mesti dibayar, seperti yang
disinyalir oleh anggota DPR Komisi VII baru-baru ini.
Sekalipun pengaduan keberatan merupakan sesuatu yang bisa
diterima seperti yang dikemukakan Husein Kartasasmita, namun
dalam prakteknya penyelesaian atas pengaduan keberatan ini
sangat lambat. Satu perusahaan yang besar di sini misalnya sejak
1970 sudah mengajukan 6 kali keberatan penetapan pajak, tapi
sampai sekarang belum ada kabar penyelesaiannya. Sementara ini
perusahaan yang bersangkutan sudah membayar dulu jumlah pajak
yang ditetapkan. Husein menjanjikan bahwa penyelesaian keberatan
ini akan dipercepat. Betul, nih?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini