Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bagaimana perseroan ?

Ditjen pajak diminta dapat mengumpulkan rp 564 mil yar dari pajak pada anggaran tahun depan. sikap keras akan dilaksanakan kepada wajib pajak. keberatan pajak perseroan akan cepat diselesaikan. (nas)

13 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEADAAN ekonomi kita kini -- ditambah dengan hutang Pertamina yang tampaknya makin membesar itu -- telah memaksa pemerintah cari akal lebih banyak. Bagaimana caranya meraih uang lebih banyak lagi? Ini urusan Direktorat Jenderal Pajak. Menurut APBN 76/77 ini, Ditjen Pajak diminta mengumpulkan uang sebesar Rp 564 milyar. Hampir Rp 140 milyar lebih dari anggaran tahun yang berjalan. Dalam konperensi persnya beberapa waktu lalu, Sekretaris Dirjen Pajak Husein Kartasasmita sudah menegaskan akan melakukan sikap yang lebih keras lagi terhadap para wajib pajak yang masih bandel. Misalnya kepada mereka yang sudah dikirimi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), tapi belum juga mengembalikan. Sekalipun batas waktunya liwat. Kepada para penerima SPT yang belum mengembalikannya pada 31 Maret 1976 akan diberi teguran. Kalau belum dipindahkan, akan disusul dengan peringatan. Kalau toh masih bandel maka Kantor Inspeksi Pajak akan menetapkan secara sepihak jumlah pajak yang harus dibayar. Dari semula memang pengenalan SPT kurang mendapat sambutan dari wajib pajak yang menerimanya. Mulanya hanya 60% SPT yang dikirim diterima kembali oleh kantor pajak. Tapi akhir-akhir ini jumlah SPT yang diterima kembali sudah bertambah. Dalam dengar pendapat dengan Komisi VII DPR tempo hari, Dirjen Pajak Sutadi Sukarja mengemukakan bahwa SPT yang diterima kembali kini mencapai 80%, sekalipun katanya tidak seluruhnya diisi sesuai dengan apa yang diminta. "Bahkan ada yang hanya membubuhkan tanda tangannya saja", kata Sutadi. Ini menunjukkan betapa masih renggangnya komunikasi antara kantor pajak dan wajib pajak. Dalam pengumpulan pajak perseroan Dirjen Pajak rupanya juga dihadapi dengan kesulitan. Banyak perusahaan yang hidup segan mati juga tak mau. Dalam sistim ekonomi yang kompetitif sekarang ini, perusahaan yang sedang, apalagi yang kecil gampang sekali goyah. Sutadi juga mengemukakan adanya satu instansi pajak di Jakarta, yang dalam satu kwartal terpaksa menghapus 500 badan usaha dari daftar pembayar pajak. Badan-badan usaha itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Dan akibat keadaan ekonomi yang sulit selama 1975 jumlah perusahaan pembayar pajak tak mengalami pertambahan. Januari 1975, perusahaan yang efektif sebagai pembayar pajak berjumlah 28.190 buah. Tapi pada akhir Oktober kemarin, jumlahnya hanya mencapai 28.500 buah. Ini tak berarti bahwa Dirjen Pajak tak akan mampu mengumpulkan lebih banyak pajak perseroan. Banyak perusahaan. terutama yang didirikan atas dasar PMA dan PMDN, yang akan mengalami habis masa libur pajaknya. Lima tahun yang lalu pajak dari perusahaan swasta hanya berjumlah Rp 5 milyar, separoh dari pajak perseroan yang dibayar perusahaan negara. Tapi dalam bulan pertama tahun anggaran ini jumlah pajak perseroan swasta sudah mencapai Rp 48 milyar atau 90% dari pajak yang dibayar perusahaan negara. Dan dalam RAPBN 76/77 ini, jumlah pajak perseroan dari sektor swasta ini diperkirakan akan melampaui pajak perseroan perusahaan negara. Bahkan pajak perusahaan swasta akan merupakan 50% dari seluruh pajak perseroan yang akan diterima. Coba-Coba Dalam praktek, proses penetapan pajak perseroan ini tak selalu lancar. Perbedaan penafsiran selalu terjadi, antara petugas pajak dan perusahaan yang bersangkutan. Khususnya dalam pos-pos pengeluaran apa saja yang boleh dikurangkan dari laba kena pajak. Ini timbul karena makin kompleksnya operasi perusahaan yang besar. Juga petugas kurang cekatan memahami situasi tertentu. Maka dirasa perlunya konsulen pajak. Badan ini menurut Sutadi bisa "menjembatani" perusahaan dan kantor pajak. Tapi dalam prakteknya konsulen pajak ini justru lebih banyak berfungsi sebagai badan yang menyatakan keberatan perusahaan langganannya atas ketetapan pajak yang dibuat kantor pajak. Memang kebanyakan kantor pajak menetapkan sendiri, secara sepihak, jumlah pajak yang mesti dibayar, seperti yang disinyalir oleh anggota DPR Komisi VII baru-baru ini. Sekalipun pengaduan keberatan merupakan sesuatu yang bisa diterima seperti yang dikemukakan Husein Kartasasmita, namun dalam prakteknya penyelesaian atas pengaduan keberatan ini sangat lambat. Satu perusahaan yang besar di sini misalnya sejak 1970 sudah mengajukan 6 kali keberatan penetapan pajak, tapi sampai sekarang belum ada kabar penyelesaiannya. Sementara ini perusahaan yang bersangkutan sudah membayar dulu jumlah pajak yang ditetapkan. Husein menjanjikan bahwa penyelesaian keberatan ini akan dipercepat. Betul, nih?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus