SEBELAS Maret, sepuluh tahun yang lalu, Presiden Suharto, waktu
itu masih menjabat Menteri Pangad dan Panglima Operasi Pemulihan
Keamanan, sedang sakit. Masuk angin di tenggorokan, ditambah
dengan batuk dan tidak bisa berbicara dengan lancar. Ia
mengenakan sarung plekat warna hijau, piyama dan leher dibebat
oleh kain angkin milik ibu Tien Suharto. Demonstrasi mahasiswa
anti Presiden Soekarno dan pemerintahannya makin memuncak.
Karena diduga adanya "pasukan yang tak dikenal" di sekitar
Istana, Bung Karno terpaksa menyingkirkan diri ke Bogor, bersama
beberapa orang Menteri. Melihat keadaan ini, datanglah menghadap
tiga orang Pati, Amir Machmud, Basuki Rachmat (almarhum) dan M.
Yusuf menghadap Soeharto. Untuk minta izin pergi ke Bogor
sekalian melaporkan bagaimana sebetulnya keadaan yang
sebenarnya. Karena sakit, Soeharto waktu itu cuma titip pesan
untuk Kepala Negara yang berada di Bogor itu: "Kalau saya masih
dipercaya, saya sanggup mengatasi keadaan". Ketiga Pati tersebut
berangkatlah ke Bogor. Di sepanjang perjalanan. Amirmachmud --
yang kini jadi Menteri Dalam Negeri -- membaca Surat Al Ikhlas
dan Alfatehah. Demilian pula M Yusuf (sekarang Menteri
Perindustrian) dan Basuki Rachmat almarhum. Suasana memang
tegang.
"Jadi tidaklah benar anggapan bahwa Jenderal Soeharto menuntut
kekuasaan lebih besar, apalagi memaksa, melakukan kup atau
mendongkel kekuasaan secara inkonstitusionil terhadap
pemerintahan lama pimpinan Presiden Soekarno dengan keluarnya SP
11 Maret", demikian penjelasan Mensekneg Sudharmono, setelah
mengadakan rekonstruksi peristiwa tersebut di rumah bekas
Menteri Pangad Soeharto di jalan Agus Salim 98, Jakarta. Direkam
oleh Kepala Pusat Sejarah ABRI Nugroho Notosusanto selama
sekitar 2 jam, Presiden seminggu sebelum 11 Maret 1976, telah
menceriterakan kembali apa dan bagaimana kejadian 10 tahun
tersebut telah terjadi.
SP 11 Maret itu didiktekan Bung Karno almarhum untuk kemudian
ditik oleh Brigjen M. Sabur (juga almarhum), yang oleh J.
Leimena dan Subandrio kemudian dirobah satu kalimat saja. "Jadi
tidaklah benar kalau Jenderal Soeharto yang membuat konsep SP 11
Maret", demikian Sudharmono menambahkan. Memang sejak Oktober
1965 sampai 11 Maret 1966. Lebih dari 10 kali telah terjadi
pertemuan antara Soekarno-Soeharto. Baik secara bersama-sama
dengan yang lain, maupun secara pribadi. Untuk menentramkan
situasi, Soeharto sesungguhnya menganjurkan agar Bung Karno
membubarkan saja PKI. Bung Karno waktu itu menjawab: "Kalau PKI
dibubarkan, akan hilang muka saya sebagai pimpinan dunia".
Soeharto kemudian menekankan betapa pentingnya keutuhan nasional
dijaga, ketimbang kepentingan internasional. Dengan SP 11 Maret
itulah, Soeharto kemudian membubarkan PKI, memenuhi salah satu
di antara tiga tuntutan mahasiswa.
Rumah di jalan Agus Salim 98 sendiri tidak banyak perobahan.
Demikian pula tempat tidur Soeharto, di mana dia menerima tiga
orang Pati sebelum ke Bogor, masih seperti kamar 10 tahun yang
lalu. Beberapa perabot rumah memang ada yang baru dan rumah ini
kini didiami oleh Sigit, putera sulung Presiden, sementara di
bagian pavilyun telah dibuka salon kecantikan milik isteri
Sigit, Ilse, yang kini jadi ibu dari 2 orang anak. Sebelum
Sigit, pernah pula tinggal Probosutedjo, adik Soeharto dari satu
ibu. Beberapa saat rumah tersebut pernah kosong, dan sekali
pernah dijadikan rumah pengantin laki mengadakan upacara
kramasan, ketika adik terkecil Soeharto yang wanita, menikah.
Demi keselamatan (karena di belakangnya kini berdiri
gedung-gedung tinggi), Presiden dan keluarga kemudian pindah ke
jalan Cendana, rumah yang hingga kini tetap dihuninya.
Tampaknya, rumah Agus Salim 98 akan dijadikan rumah bersejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini