Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH hajatan besar dilakukan di kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri, Sabtu malam 24 Januari lalu. Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hangabehi memindahkan makam ibundanya almarhumah Kanjeng Raden Ayu Pradapaningrum (wafat pada 1979). Makam sang Gusti Ratu yang berada di trap paling bawah akan dipindahkan ke atas, bersisihan dengan makam raja.
Selepas magrib, aneka sesajen telah lengkap. Dari ayam cemani, air kwaci, sampai selendang sawung kuning—perlambang keselamatan di akhirat. Dan yang terpenting: busana Prameswari Anumerta warna ungu. Ritual tuguran (menunggui jenazah sebelum dimakamkan) dilakukan semalam suntuk. Keesokannya barulah pemindahan makam dilakukan. Busana Prameswari Anumerta dimasukkan ke peti mati.
Acara khusyuk ini tapi diprotes oleh KGPH Tedjowulan. Seperti diketahui, Tedjowulan adalah pesaing utama Haryo Ngabehi dalam perebutan takhta Keraton Solo. Dua saudara seayah tapi beda ibu ini masing-masing mengklaim diri sebagai Paku Buwono XIII, semenjak PB XII mangkat pada 2004. ”Kalau makam tidak dikembalikan, kami akan melakukan tindakan,” kata Tedjowulan, seperti dikatakan KGPH Soeryo Wicaksono, putra PB XII dari selir KRAy Pu-janingrum, yang merupakan pendukung Tedjowulan.
Tedjowulan curiga, Hangabehi ingin mengukuhkan statusnya dengan menobatkan sisa jenazah ibunya. ”Makam kok dibawa-bawa ke wilayah politik,” kata dia. Menurut KGPH Suryo, bila makam tidak dibongkar dikembalikan ke tempat semula, mereka menuntut makam ibu-ibu mereka, yang juga selir, dinaikkan semua. Sekadar pengetahuan, PB XII dahulu memiliki enam istri—semuanya garwo ampil (selir)—dan 34 anak. Ibu Hangabehi hanyalah salah satu dari selir itu.
RAy Koes Moertiyah, Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, yang juga adik kandung Hangabehi, menolak tudingan anak-anak selir lain itu. ”Itu sudah menjadi satu paket dengan penobatan Hangabehi sebagai raja,” katanya. ”Ibu raja berhak menyandang gelar Ratu Ageng (gelar permaisuri).” Ia menolak bila keturunan selir lain ikut-ikutan memindahkan makam.
Juru kunci makam Imogiri KPH Soerjonagoro khawatir pemindahan itu bakal berbuntut panjang. Menurut dia, seperti ditirukan Sutarno, asistennya, pemindahan makam itu sebenarnya dianggap sudah terlambat. Aturannya, sebelum Hangabehi dinobatkan jadi raja, mestinya sang ibu diangkat dulu menjadi Kanjeng Ratu. ”Ya sudah, mau gimana lagi, ikuti saja,” kata Sutarno, mengutip Soerjonagoro.
Walhasil, arwah selir yang seharusnya telah tenang di alam barzah kini dilibatkan dalam duel raja kembar itu.
Pelarian Membawa Sial
POLISI sebenarnya hanya hendak mencatat identitas Antonius, 30 tahun, untuk selanjutnya dilepas. Warga Klender, Jakarta Timur, yang mengenakan celana biru seragam satpam ini sedang berada di terminal, dekat gedung wayang orang Pasar Senen, ketika dicokok.
”Antonius ini preman atau bukan, ya?” begitu kira-kira yang terpikir oleh aparat Kepolisian Sektor Senen, Jakarta Pusat, ketika melakukan razia preman. Ketika ditemukan, Antonius menenteng kantong plastik berisi minuman keras, dari mulutnya menghambur bau alkohol.
Belum lagi kecurigaan itu terjawab, tiba-tiba Antonius kabur menerobos jendela musala di samping ruang sentra pelayanan kepolisian. Pyarrr..., kaca jendela musala sekitar satu meter persegi itu pecah berantakan. Dengan hidung mengucurkan darah, ia tetap lari, tapi belasan polisi yang sedang duduk-duduk di sana mudah meringkusnya lagi.
Antonius, nasibnya lagi apes. Ia sekarang malah dituduh melakukan perusakan aset negara secara sengaja. ”Ia bisa kena pasal 406 KUHP, maksimal lima tahun penjara,” kata Kepala Kepolisian Sektor Senen, Komisaris Polisi Aro Lumban Tobing, pekan lalu.
Antonius tetap mengaku sebagai satpam sebuah perusahaan swasta. Padahal, sewaktu didekati petugas, menurut Aro, ”Lagi mabok dia itu.”
Agus Supriyanto (Jakarta), Ahmad Rafiq (Solo), Bernada Rurit, Muh. Syaifullah (Yogyakarta), Sofian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo