Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Indonesia Sudah Resesi!

Data pertumbuhan ekonomi yang baru dipublikasikan Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lumayan baik pada 2008. Namun, sebenarnyalah perekonomian kita kini sudah memasuki masa resesi. Apakah ekonomi kita akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif (kontraksi) pada tahun ini?

23 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Purbaya Yudhi Sadewa
Chief Economist Danareksa Research Institute

Perekonomian Indonesia pada triwulan keempat tahun lalu tumbuh dengan laju 5,2 persen. Angka ini lebih rendah dari angka pertumbuhan pada triwulan ketiga, ketika ekonomi Indonesia tumbuh dengan laju tahunan 6,1 persen. Pertumbuhan pada triwulan keempat itu didukung oleh pertumbuhan belanja rumah tangga (tumbuh 4,8 persen), belanja pemerintah (16,3 persen), dan ekspor (1,8 persen). Sepanjang 2008, perekonomian Indonesia tumbuh 6,1 persen.

Di tengah resesi yang melanda perekonomian dunia saat ini, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2008 itu dapat dianggap berita yang menggembirakan. Apalagi negara-negara tetangga kita sudah banyak yang terpuruk. Perekonomian Singapura mengalami kontraksi -3,7 persen pada triwulan keempat tahun lalu. Sedangkan Malaysia diperkirakan hanya tumbuh 4,1 persen. Sementara itu, perekonomian Jepang malah mengalami kontraksi yang sangat dalam, yaitu -12,7 persen.

Masih tingginya pertumbuhan perekonomian Indonesia karena eksposur kita terhadap perekonomian global memang lebih kecil dibandingkan dengan negara tetangga kita. Rasio ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) untuk Indonesia hanya 29 persen (2007). Sedangkan Singapura mencapai 230 persen, Malaysia 110 persen, dan Thailand sekitar 73 persen. Jadi, walaupun perekonomian global terpuruk, masih ada harapan ekonomi kita untuk dapat tumbuh, bila kita dapat memelihara permintaan dalam negeri dengan baik.

Sudah Resesi
Sayangnya, data terakhir menunjukkan bahwa kita kurang hati-hati dalam memelihara permintaan domestik. Akibatnya, saat ini ekonomi Indonesia sudah mengalami perlambatan yang signifikan. Indikator Ekonomi Dini yang dikembangkan oleh Danareksa Research Institute (dRi) bahkan menunjukkan ekonomi kita saat ini sudah memasuki fase resesi.

Indikator Ekonomi Dini dRi terdiri dari dua komponen, yaitu Coincident Economic Index (CEI) dan Leading Economic Index (LEI). CEI adalah indeks yang menggambarkan keadaan ekonomi pada suatu saat. CEI disusun menggunakan data penjualan mobil, konsumsi semen, impor, suplai uang, dan indeks penjualan retail. Sedangkan LEI adalah indeks yang menggambarkan prospek ekonomi 6-12 bulan ke depan. LEI disusun dengan menggunakan data izin mendirikan bangunan, kedatangan turis asing, persetujuan investasi asing, nilai tukar rupiah efektif, indeks harga saham gabungan Bursa Indonesia, ekspor, dan inflasi sektor jasa.

Coincident Economic Index sudah menunjukkan tren yang menurun sejak Juli 2008. Artinya, ekonomi sudah melambat. Prospek ke depan pun tidak terlalu cerah, karena Leading Economic Index sudah memasuki trend penurunan sejak Januari 2008. Artinya, perlambatan yang terjadi masih akan terus berlangsung.

Metode Sequential Signaling, yang dikembangkan oleh Zarnowitz (dari Universitas Chicago) dan Moore bahkan mengindikasikan ekonomi Indonesia saat ini sudah resesi. Metode ini memanfaatkan data CEI dan LEI untuk menentukan posisi suatu perekonomian dalam siklus bisnisnya.

Ketika suatu perekonomian sedang ekspansi, bila terdeteksi sinyal P1 (puncak pertama), ekonomi tersebut memasuki fase perlambatan. Bila kemudian terdeteksi sinyal P2 (puncak kedua), perlambatan yang terjadi akan parah. Dan bila kemudian terdeteksi sinyal P3 (puncak ketiga), ekonomi tersebut memasuki masa resesi. Pendeteksian P1, P2, dan P3 dilakukan dengan perhitungan teknikal-statistika yang dikembangkan dalam analisis siklus bisnis.

Menurut metode ini, perekonomian Indonesia sudah memasuki fase perlambatan pada Juni 2008, ketika sinyal P1 terdeteksi (lihat gambar 1). Perlambatan terjadi karena daya beli masyarakat kita terpukul akibat kenaikan harga pangan dan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Sayangnya, baik otoritas fiskal maupun moneter kala itu agak kurang memperhatikan perkembangan yang terjadi. Bank Indonesia, misalnya, terus menaikkan suku bunga sampai Oktober 2008. Sementara itu, realisasi belanja pemerintah pun agak lambat. Padahal sebetulnya belanja pemerintah dapat mencegah ekonomi melambat lebih lanjut. Oktober 2008, ekspor kita pun mulai terpukul dengan signifikan. Akibatnya, ekonomi kita terus melambat. Pada Oktober itulah terdeteksi sinyal P2 yang menunjukkan bahwa perlambatan yang terjadi makin parah.

Ketika itu tampaknya BI dan pemerintah sudah mulai menyadari perkembangan yang terjadi. Pada November, misalnya, bank sentral tidak menaikkan BI Rate lagi. Bahkan sebulan kemudian BI sudah mulai menurunkan suku bunga lagi. Pemerintah pun tampak lebih serius dalam membelanjakan anggarannya.

Meskipun demikian, ekonomi kita tampak terus melambat, dan pada November 2008 sinyal P3 terdeteksi, dan ekonomi kita secara teknis sudah memasuki masa resesi. Sebagai catatan, selama ini pendeteksian P3 baru terjadi dua kali. Pendeteksian yang pertama terjadi pada November 1997, sebelum ekonomi kita terjerumus ke dalam resesi yang dalam. Karena itu, pendeteksian P3 yang terjadi pada November 2008 tidak dapat dipandang enteng. Bila kita salah mengambil kebijakan, ada kemungkinan ekonomi kita akan mengalami pertumbuhan negatif.

Namun, berbeda dengan keadaan tahun 1997, saat ini kita masih memiliki beberapa modal yang dapat mencegah terjadinya kontraksi. Yang pertama adalah daya beli masyarakat yang masih relatif baik. Hal ini terlihat dari Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) yang pada Januari lalu masih berada pada kisaran tertinggi dalam satu tahun terakhir.

Selain itu, saat ini tekanan inflasi cenderung menurun. Artinya, ada ruang untuk menurunkan suku bunga ke tingkat yang lebih rendah lagi. Penurunan suku bunga diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekonomi domestik. Selama kita dapat menjaga permintaan domestik, tampaknya peluang untuk dapat terhindar dari pertumbuhan ekonomi negatif masih terbuka.

Untuk itu, anggaran pemerintah harus dibelanjakan tepat waktu. Selain itu, stimulus fiskal yang telah direncanakan juga harus direalisasikan secepat mungkin. Sayangnya, saat ini masih terlihat tarik-ulur antara pemerintah dan parlemen tentang kapan stimulus fiskal harus dikeluarkan. Ada suara yang menyarankan agar fiskal stimulus sebaiknya dikeluarkan setelah pemilu presiden.

Mengingat keadaan perekonomian kita saat ini, penundaan stimulus fiskal dapat memperparah resesi yang saat ini sudah terjadi. Akibatnya, ekonomi kita akan sulit menghindari terjadinya kontraksi pada tahun ini. Penundaan stimulus fiskal akan membuat biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki perekonomian kita menjadi lebih besar dari yang seharusnya.

Dari sisi otoritas moneter, langkah BI selama ini sudah boleh dibilang cukup tepat. Bank sentral sudah mulai memotong suku bunga pada Desember lalu. Pada Januari dan Februari BI kembali memotong BI Rate masing-masing 50 basis poin. Hanya, dampaknya terhadap perekonomian belum akan langsung terlihat. Hal ini disebabkan dampak kebijakan moneter memerlukan waktu untuk terlihat di perekonomian.

Namun, ada hal yang tampaknya perlu diwaspadai. Perbankan kita tampaknya masih enggan menurunkan suku bunga pinjaman. Akibatnya, dampak kebijakan pelonggaran kebijakan moneter terhadap perekonomian mungkin akan terlihat lebih lambat lagi. Perbankan kita mempunyai berbagai alasan untuk menjelaskan keengganan mereka menurunkan suku bunga.

Dalam keadaan normal, hal seperti ini mungkin dapat dimaklumi. Akan tetapi, ketika perlambatan ekonomi sangat parah seperti saat ini, keengganan perbankan menurunkan bunga pinjaman dapat menyeret ekonomi Indonesia ke dalam resesi yang lebih dalam.

Jadi, pemerintah dan Bank Indonesia harus memikirkan cara agar perbankan kita dapat menurunkan bunga pinjamannya, sesuai dengan penurunan BI Rate. Dengan demikian, diharapkan dampak pelonggaran kebijakan moneter akan lebih dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian kita.

Uraian di atas menunjukkan bahwa saat ini ekonomi kita sesungguhnya sudah memasuki masa resesi. Karena itu, kita jangan terlena dengan angka pertumbuhan triwulan keempat 2008 yang relatif cukup tinggi. Perekonomian kita memerlukan stimulus dari sisi fiskal maupun moneter sesegera mungkin. Keterlambatan memberikan stimulus akan membuka peluang terjadinya kontraksi pada perekonomian kita tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus