Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tetap Mengusung Semangat UjungBerung

Burgerkill adalah band metal superkeras dari Ujungberung pertama yang pentas di luar negeri. Sudah sukses, namun tetap menolak kemapanan.

23 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Everything turns so disgust when i stayed at home
No more shelter or anything called salvation
Away from home prove i’m the real scumbag
So i begin to hate arrogant people around me
Cross the line.. Revolt !
It’s time to.. Revolt !

Kata-kata itu dirapal garang, kadang diteriakkan dengan suara seperti geraman dari dasar perut, growling. Alat musik yang mengiringinya—drum, gitar bas, dan gitar—mende­ru keras, berpacu kencang bak kereta api ekspres. Begitulah bila Burgerkill mem­bawakan Revolt!, yang dianggap sebagai ”lagu kebangsaan”-nya. Bila lagu ini dibawakan di setiap pentas, kerumunan penonton pun siap meneriakkan ”revolt” dengan keras, menderu.

Dengan mengusung lagu beraliran metal hardcore seperti Revolt!, grup band yang merupakan bagian dari band indie (independen) Tanah Air ini melakukan tur ke Perth, Australia. Tur bertema The Invasion of Noise itu dimulai sejak Jumat pekan lalu hingga awal Maret ini. Pentas di Aussy—di lima kota Australia Barat dengan tujuh kali tampil—menjadikan band beranggotakan Ebenz, Vicki, Andris, Ramdan, dan Agung itu sebagai band Ujungberung pertama yang show di luar negeri.

Tentu saja, pertunjukan tersebut­ dianggap sebagai prestasi. Menurut­ ­Ebenz, yang bernama asli Ariestanto, perjalanan ke Perth ini merupakan bagian dari pencapaian album keempat mereka—sekaligus terbaru—Beyond Coma and Despair. Album yang dirilis pada Agustus 2006 itu membawa Burgerkill ke tahapan lebih ”dewasa”. Menurut beberapa media yang meresensi album tersebut, musikalitas Burgerkill makin mantap—bukan sekadar garang, sangar, dan marah.

Album ini juga menjadi titik pijak baru Burgerkill. Karena perjalanan me­reka seterusnya tanpa Ivan Firman­syah, vokalis sekaligus salah satu pen­diri band ini. Pria yang menjuluki diri­nya sebagai Scumbag—orang tak bermo­ral yang tak berguna—ini mangkat di usia 28 tahun akibat radang otak, pada 27 Juni 2006. Kepergian Ivan tidak membuat Burgerkill bubar, walau mereka sempat gusar mencari pengganti Ivan. Seperti kata Ebenz, ”Kalau tidak ada kesulitan, hidup ini tidak menarik.” Band ini pun mencari penyanyi baru, hingga terpilih Yupi Yupiki alias Vicki.

Sebenarnya, perjalanan band yang berdiri sejak Mei 1996 ini sama sekali tak mudah. ”It’s f****** hard,” kata Ebenz mengomentari jalan hidup dia, band-nya, dan teman-teman ”seperjuangan sepemberontakannya”. Kisah mereka—terutama Ivan—ditulis Iman Rahman Anggakusumah, alias Kimung, dalam buku My Self: Scumbag. Kimung, yang pernah menjadi per­sonel awal Burgerkill ini, menuliskan bahwa romantika Burgerkill tak dapat di­pisahkan dari Ujungberung.

Ya, semuanya memang bermula dari kota kecamatan seluas sekitar 1.000 hektare di Bandung bagian paling timur itu. Kawasan yang terletak pada ketinggian 660 meter di atas permukaan laut itu semula merupakan daerah pertanian. Selain itu, Ujungberung dikenal sebagai pusat kesenian Sunda tradisional seperti bela diri benjang, angklung, dan kecapi suling. Menurut Kimung, yang pernah tinggal di Ujungberung, penduduk di sana memang sangat terbuka terhadap pengaruh ke­senian dari luar. ”Inilah mungkin yang membuat anak-anak muda di tempat itu menerima musik rock dan metal,” kata Kimung, yang kini sedang menulis buku tentang sejarah kontemporer Ujungberung itu.

Karena terbuka pada pengaruh luar itulah, anak-anak muda Ujungberung mulai menikmati musik cadas keras seperti Metallica, Guns ‘n Roses, Iron Maiden, pada era 1980-an. Namun, memasuki 1990-an, remaja Ujungberung yang menamakan diri sebagai Ujungberung Rebels memiliki selera musik yang lebih keras. Mereka memainkan lagu-lagu Sepultura, Napalm Death, Terrorizer.

”Anak-anak seusia saya lalu mulai mempertanyakan banyak hal,” kisah Kimung. Mengapa kampung mereka berubah dari daerah pertanian menjadi kawasan industri. Mereka juga menggugat konsep ketuhanan dan keagamaan, dan mempertanyakan kenapa harus mengaji. Hal-hal demikian dipertanyakan oleh Kimung, Ivan, dan teman-temannya. Namun mereka tak menemukan jawabannya di sekolah ataupun dari orang tuanya di rumah.

”Kami juga memberontak untuk hal-hal kecil seperti potongan rambut sekolah,” kata Kimung. Yang dilarang adalah rambut gondrong sampai menyentuh kerah baju. Nah, waktu itu Kimung mengecat rambutnya, tapi tidak gondrong. Dan semua ketidakpuasan itu ber­padu dengan kege­maran pada musik me­tal superkeras. Masih ditambah dengan—istilah Kimung—kenakal­an dan ke­inginan coba-coba ganja, segala je­nis obat, dan menenggak minuman keras. Klop!

Dari situlah, anak-anak muda ini lebih suka belajar dari jalanan—termasuk nongkrong hingga tidur di pinggir jalan. Kumpul-kumpul itu juga menghasilkan grup musik aliran metal hardcore seperti Jasad, Sonic Torment, Sacrilegious, juga Burgerkill. Berdirinya studio rekaman Palapa pada 1993 membuat anak-anak metal bawah tanah menjadi makin solid. Mereka membentuk perkumpulan Extreme Noise Grinding (ENG) pada 1995, yang menjadi bibit dinamika Ujungbe­rung Rebels.

Mulailah mereka bergerak kreatif, seperti membuat zine—media independen, dipublikasi sendiri, biasanya oleh kalangan minoritas dengan distribusi terbatas, serta non-profit—Revograms. Zine ini digunakan sebagai tempat berbagi oleh komunitas musik underground. Debut ini dilanjutkan dengan tampil di panggung yang dikenal sebagai Bandung Berisik I, yang menampilkan 15 band Ujungberung ditambah satu band Jakarta, Insanity. Pergelaran pertama itu disusul yang selanjutnya, yaitu Death Fest, Rottrevore Death Fest, dan Rebel Fest.

Mereka kemudian membuat kompilasi yang memuat 16 band metal Ujungberung, berjudul ”Ujungberung Re­bels”. Perusahaan Musica kemudian merilis­ kompilasi tersebut dengan judul ”Independen Rebel”. Nilai transaksinya ketika itu (1998) Rp 14 juta. Uang inilah yang digunakan untuk modal mereka membuat berbagai usaha seperti clothing sesuai dengan band mereka.

O ya, masih ada kelompok bernama Homeless Crew. Mereka adalah kru yang membantu dalam setiap pergelaran musik, namun mereka sekaligus pemain band-nya. Ivanlah yang memberi nama Homeless Crew ini, yang sampai saat ini diartikan sebagai prinsip anak-anak muda Ujungberung yang menolak ”berumah”, atau menolak kema­panan dan kenyamanan yang meninabo­bo­kan.

Di antara iklim seperti itulah Bur­gerkill tumbuh. Mulai dari masa sering manggung di Jakarta pada 1995, lalu mem­buat single pertama, yaitu Revolt!—menjadi lagu pembuka kompilasi berjudul ”Masaindahbangetse­kalipisan”, yang dirilis pada 1997. Hingga Burgerkill menghasilkan album pertamanya, Dua Sisi, pada 2000, yang direkam perusahaan indie, Riotic Records.

Burgerkill juga pernah mencicipi dikontrak major label, Sony Music Indonesia. Album Berkarat (2003) dan Dua Sisi Repacked (2004) keluar di bawah label Sony. Namun album berikutnya, Beyond Coma and Despair, Burgerkill kembali ke indie, yaitu direkam perusahaan mereka sendiri: Revolt! Records. ”Jalan-jalan dulu, lalu kembali ke indie,” kata Ebenz.

Darah Burgerkill adalah indie. Sebelum berangkat ke Australia, kelompok ini mengadakan pertunjukan untuk mengumpulkan uang saku. Mereka selain menjual tiket juga barang-barang edisi terbatas. Misalnya, gitar bas Burgerkill lengkap dengan tanda tangan pemain band terjual Rp 6,5 juta kepada Ridwan Kamil, arsitek dari Bandung. Poster raksasa band ini jatuh ke tangan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Jusuf dengan harga Rp 10 juta. Hingga akhirnya terkumpul sekitar Rp 48 juta dalam pertunjukan di Hyatt Regency Hotel, Bandung, 4 Februari lalu.

Hingga kini lirik lagu Burgerkill memang tetap menyerukan kemarahan—termasuk pada diri sendiri—dan ketidakpuasan terhadap sekitarnya. Aliran musiknya, menurut ­Ebenz, tetap terbuka pada pengaruh lain. Namun, dalam bermusik dan berbisnis, patokan mereka adalah menolak didikte pemilik modal. ”Yang pasti, kini industri besar makin kesulitan menembus kami. Komunitas independen makin pintar,” tandas Ebenz.

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus