Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Awal dan Akhir Semakbelukar

Semakbelukar berhasil mengangkat musik tradisional Melayu dengan sensibilitas kekinian. Menuai perhatian dan pengakuan justru setelah mereka bubar.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

David Hersya termangu melihat gendang Melayu yang ia beli lima tahun silam kembali ada di hadapannya. Ia membungkuk meraba-raba kulit gendang yang disobek pada hari bubarnya Semakbelukar itu. Alat tabuh yang dibelinya dari seorang perajin di Sumatera Utara itu diameternya sekitar 35 sentimeter. Bentuknya serupa dengan baskom yang bolong di bagian bokong.

David jongkok. Ia angkat gendang itu dari tanah dan ditaruhnya di pangkuan. "Saya tak mengira akan kembali bertemu dengan gendang ini," kata motor grup Semakbelukar itu kepada Tempo, yang menyambanginya di Palembang, Sabtu, 20 Desember tahun lalu.

Gendang Melayu itu adalah satu dari enam instrumen yang dipakai Semakbelukar dalam pentas terakhir mereka di Kineruku, Bandung, Ahad, 8 Desember 2013. Alat musik lain adalah akordeon, mandolin, tamborin, minigong, dan jimbana. Semuanya sudah hancur ditumbuk menggunakan kapak dan martil dalam penampilan perdana sekaligus terakhir mereka di Kota Kembang.

"Alat-alat itu kami rusak sebagai bentuk pernyataan kepada diri sendiri bahwa kami mundur dari dunia musik," ujar David. "Kami pulang ke Palembang dengan perasaan lega. Selesai sudah."

Kini, setahun lewat setelah bubar, Semakbelukar, yang seumur hidupnya baru delapan kali mengecap panggung pentas, mulai menuai perhatian dan ramai dibincangkan. Mereka diganjar penghargaan Album Terbaik dalam Indonesia's Cutting Edge Music Award 2014.

Tapi, apa boleh buat, mereka berikrar tak akan sekali pun mengadakan reuni untuk bermusik. Kini mereka memilih mendalami agama. David meninggalkan pekerjaan sebagai sound engineer untuk merintis usahanya berjualan susu kedelai dari kantin ke kantin. Tekadnya sudah bulat. "Saya tak akan kembali lagi pada musik," kata David, yang pernah kuliah di Jurusan Sastra Inggris Sekolah Tinggi Bahasa Asing Methodist Palembang.

* * * *

Pembaca, memilih rilisan Semakbelukar sebagai album terbaik 2014 pilihan Tempo boleh dibilang keputusan yang berani sekaligus nyeleneh. Sepanjang pemilihan album terbaik yang dilakukan sejak lima tahun lalu, baru kali ini kami memilih band yang sudah bubar. Toh, yang dinilai dalam proses penjurian kali ini adalah album berkualitas yang muncul pada 2014. Nyatanya album Terlahir & Terasingkan: Antologi Semakbelukar 2009-2013 memang muncul pada 2014 dan sangat layak dinobatkan sebagai album terbaik 2014.

Semakbelukar sudah bubar pada Desember 2013. Album Terlahir & Terasingkan: Antologi Semakbelukar 2009-2013 pun dicetak bukan oleh mereka. Para personelnya sudah undur diri dari dunia musik. Mereka sama sekali tak mau ikut campur dalam pembuatan album Antologi itu.

Semakbelukar adalah grup Melayu eksperimental yang beranggotakan para veteran skena underground Palembang. Grup ini diprakarsai oleh David Hersya, 30 tahun, (vokal dan mandolin). Dialah yang membuat semua lirik dan lagu, kemudian mengajak kawan-kawannya yang sebagian berasal dari komunitas punk bermusik bersama. Mereka adalah Ariansyah Long (gendang Melayu), Ricky Zulman, 37 tahun (akordeon), dan Mahesa Agung, 33 tahun (minigong dan tamborin).

Musik tradisional Melayu yang mereka suguhkan begitu padu dengan musik Barat (punk) yang selama ini mereka geluti. "Kendati bermain di ranah tradisional, Semakbelukar tetap membuat karya dengan sensibilitas kekinian," kata pengamat musik David Tarigan, yang menjadi juri dalam pemilihan album terbaik Tempo. "Semakbelukar mampu memadukan indie folk dan spirit punk dengan wajar, tanpa terjebak bergenit-genit," juri yang lain, Denny Sakrie, menambahkan.

Memang, bukan perkara apa yang terdengar oleh telinga saja yang membuat Tempo memilih antologi Semakbelukar sebagai album terbaik. Cerita di balik pembuatan karya pun ikut jadi pertimbangan. Di balik musiknya, Semakbelukar menyimpan cerita menarik tentang sekelompok anak muda yang lahir dan besar di skena underground daerah yang kemudian memilih menggeser kiblat kembali ke budaya lokal.

Adanya lagu hardcore seperti Out of My Face dan tembang tekno No Exit menunjukkan bahwa mereka pernah berada dalam fase berusaha seperti kebanyakan anak muda lain yang larut saja dalam tren lagu-lagu Barat. Namun kelak kecenderungan ini mereka kikis. Mereka kemudian menggunakan perspektif "punk" untuk mengangkat budaya lokal, dalam hal ini musik Melayu yang sarat muatan spiritual.

* * * *

Di Palembang, Sabtu, 20 Desember tahun lalu, Tempo menemui hampir semua personel Semakbelukar. Hanya Ariansyah yang tak bisa hadir karena ada urusan pribadi. Penampilan mereka kini sederhana dan apa adanya. Berkebalikan dengan 10 tahun silam, ketika masih aktif meriuhkan skena punk.

Pernak-pernik yang menunjukkan mereka anak band ditanggalkan seiring dengan akhir perjalanan musik mereka. David, yang dulu pernah berambut Mohawk, kini lebih suka memakai celana ngatung dan kopiah hitam. Bahkan dalam sesi pemotretan pun David cuek mengenakan tas selempang dan sandal Crocs. Begitupun Ricky, Mahesa, dan Angger.

Sambil menyantap pindang patin dan pempek di warung-warung pilihan, Tempo "memaksa" Semakbelukar bernostalgia, membahas kembali masa lalu yang sudah dikubur dalam-dalam para personelnya. "Baru kali inilah kami bertemu lagi. Membicarakan musik pula," kata David.

Sepanjang 2009-2014, eksperimen David dkk berbuah tiga album pendek yang diproduksi sendiri, yakni Semoga Kita Mati dalam Iman (2009), Mekar Mewangi (2009), dan Drohaka (2012). Juga dua album panjang yang diproduksi label asal Jakarta, Elevation Records, yaitu Semakbelukar (2013) dan Terlahir & Terasingkan: Antologi Semakbelukar 2009-2013 (2014).

Album Antologi, yang memuat seluruh lagu dalam album pendek dan panjang, bermaksud mengisahkan perjalanan karya Semakbelukar. Album itu dibuat oleh label Elevation Records. Pendiri Elevation, Taufiq Rahman, tak mau menyia-nyiakan semua file lagu yang diserahkan kepadanya pada hari bubarnya Semakbelukar. Semua file ia bungkus dalam satu album yang berisi dua cakram digital.

Masa-masa pembuatan ketiga album pendek, kata Ricky, adalah momen intim David dengan setiap personel Semakbelukar. Album Semoga Kita Mati dibikin bersama Mahesa. Dalam album ini, instrumen andalan mereka hanya gendang dan mandolin. Begitu juga dalam album Mekar Mewangi, yang dibuat bersama Ari. Baru pada Drohaka, yang dikerjakan bareng Ricky, ada tambahan instrumen akordeon, membuat musik mereka terdengar lebih melodius dan matang.

Semua album pendek direkam di rumah David di Jalan Haji Berlian, Kabupaten Sukarami, Kebun Bunga, Palembang, dengan peralatan sekenanya. Materi-materi awal ia rekam pakai mik yang biasa dipakai untuk chatting di warnet. Album pertama dan kedua masing-masing dicetak 50 keping. Semoga Kita Mati, yang dijual Rp 5.000, laris manis. Tapi yang kedua, Mekar Mewangi, yang dijual Rp 10 ribu, tak laku-laku.

Tak terjual di kotanya sendiri, mereka merambah dunia maya dengan mengunggah materi ke situs MySpace. Sejak itu, Semakbelukar mulai didengar skena musik indie luar Palembang. Label Yes No Wave Yogyakarta tertarik mengedarkan Semakbelukar melalui situs mereka. "Juga ada orang Malaysia ingin beli CD kami karena dengar dari situs," ujar David.

Dari situs pula Elevation Records mengetahui Semakbelukar hingga akhirnya meminta izin kepada David dkk untuk membuat CD dan piringan hitam album Semakbelukar (2013). Baru pada album inilah semua pemain yang pernah diajak rekaman David bermain bersama dalam satu grup.

Rilisan ini menuai perhatian dari pendengar musik di banyak kota. Tapi, justru ketika orang-orang mulai bertanya-tanya siapa itu Semakbelukar, mereka memilih membubarkan diri. Sebagai penutup pentas perdana dan terakhir mereka di Bandung, 8 Desember 2013, Semakbelukar menumbuk semua instrumen mereka dengan kapak dan martil hingga pecah berkeping-keping.

Dengan maksud merayakan kehadiran Semakbelukar, Elevation merilis album Antologi (2014). Album ini memuat lebih dari sekadar musik Melayu. Untuk menunjukkan pengembaraan musik David dkk, Elevation juga menyertakan lagu-lagu pop, tekno, bahkan hardcore yang dibikin David sebelum Semakbelukar ada.

Pengamat musik David Tarigan mengatakan bahwa masa hidup Semakbelukar yang begitu singkat, lengkap dengan upacara terakhirnya yang monumental, membuat kehadiran album Antologi terasa begitu spesial, menutup sebuah perjalanan yang terkesan to good to be true. "Sebuah paket yang komplet dengan awal serta akhir yang jelas, wajar, tapi begitu disadari," katanya.

Menurut David, semua yang dibutuhkan untuk mengalami Semakbelukar ada di dalam Antologi ini. Singkat, jelas, padat. "Seperti layaknya album Complete Discography milik Minor Threat, band hardcore punk asal Amerika, yang berhasil mendefinisikan suatu bentuk ekspresi yang khas, bahkan juga sebuah era, dengan begitu lugas dan tidak membosankan," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus