Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengharap Hujan, Menikam Lambung Tu(h)an

Puisi Mario F. Lawi mengawinkan Alkitab dan mitologi Sawu. Menulis puisi baginya adalah menghidupkan iman.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelajaran berjalan di atas air selesai
(Suara angin yang lembut.
Beberapa nelayan melintas dengan perahu menuju pantai.)
(Nazarenus)

Ini adalah petikan dari salah satu puisi Mario F. Lawi yang tercantum dalam kumpulan puisi Ekaristi (PlotPoint Publishing, 2014), yang mengisahkan perjalanan Yesus Kristus setelah disalibkan dan wafat. "Nazarenus" adalah kata bahasa Latin yang berarti Nazaret.

Mario, alumnus Seminari Menengah Santo Rafael Oepoi, Kupang, menafsirkan apa yang dilakukan Yesus setelah bangkit. "Dikisahkan, Yesus menemui ibunya, Maria, yang sedang menangisi dirinya yang wafat," ujar Mario di kediamannya di Naimata, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu akhir Desember tahun lalu.

Meski pernah masuk seminari, Mario tidak melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi untuk menjadi seorang imam Katolik. Namun Mario tetap menulis puisi bersama beberapa teman seminarinya dan sejumlah pastor yang pernah menjadi pembimbingnya. Bersama Romo Amanche Frank, ia membentuk komunitas sastra Dusun Flobamora. "Dusun diartikan sebagai tempat sunyi. Adapun Flobamora adalah kependekan dari Flores, Sumba, Timor, dan Alor," kata Mario.

Lahir di Kupang, 18 Februari 1991, Mario juga menulis tema-tema keseharian, yang diilhami pengalaman atau hal-hal yang dia baca di koran dan media lain. Puisi itu antara lain "Panen", "Usapi Sonbai", dan "Dingin". "Puisi-puisi saya tuliskan berdasarkan inspirasi saat berjalan-jalan atau membaca," ujarnya.

Buku puisi Ekaristi karya Mario F. Lawi adalah serangkaian pernyataan iman. Selain mengacu pada Alkitab, ia menggali kembali kekayaan tradisi lisan masyarakat Sawu di Nusa Tenggara Timur. Tidak jarang Mario melebur imaji-imaji biblikal itu ke dalam khazanah tradisi lisan setempat. Dua sumber yang berbeda (Katolik dan kepercayaan lokal Jingitiu) menghasilkan hal yang sama bagi khalayaknya: pesan keselamatan.

Ekaristi, menurut Mario, adalah sakramen utama dari enam sakramen lain dalam kepercayaan Katolik. Wafat dan kebangkitan Kristus dalam ekaristi dirayakan dengan meriah. Ekaristi menjadi sumber dan puncak seluruh hidup orang Kristen. Sebagai sakramen, ekaristi adalah tanda dan sarana persatuan dengan Allah dan persatuan di antara sesama umat manusia.

Mario juga mengangkat Jingitiu, agama tradisional yang hingga kini masih dianut orang Sawu di Pulau Sabu Raijua. Opa dan oma Mario berasal dari daerah Pulau Sabu Raijua dan menganut agama tersebut. Dalam kepercayaan Jingitiu, misalnya, orang yang meninggal harus dikubur tanpa peti dan hanya dibungkus dengan tikar sebelum ditekuk dalam posisi duduk, lalu dimasukkan ke lubang untuk pemakaman. Dari sana lahirlah puisi "Pemelli", "Tuan Padoa", dan "Kelaga Rai". "Tradisi itu hanya dilakukan kepada Opa, yang masih menganut agama tersebut. Sedangkan Oma dan Paman sudah dibaptis secara Katolik," kata Mario.

Mario menuliskan kembali fragmen-fragmen Alkitab sehingga kita dibawa ke dalam pelukisan yang mutakhir. Kitab suci selalu dipandang dari situasi dan kondisi hari ini. Kitab suci didudukkan di atas problematika masyarakat setempat. Sedangkan ketika Mario menuliskan kembali anasir penting tradisi lisan kampungnya, ia seperti tengah mencari titik temu antara jalan keselamatan Jingitiu dan jalan keselamatan Alkitab—sebuah sinkretisme yang membuat puisi-puisi Mario berwajah ganda: suci sekaligus profan, modern sekaligus purba, kasih sekaligus bengis.

Kendati demikian, cara ini tidak mengesankan Mario tengah berdakwah kepada khalayak pembaca. Ia memang tengah membagikan pengalamannya sebagai seorang penganut Katolik, tapi seluruh pernyataannya bersifat sangat personal, untuk dirinya sendiri atau untuk Tuhan. Pembaca hanya ditempatkan sebagai pendengar setia senandika dan dialog, bukan jemaat dari paroki tertentu yang mesti mengikutinya.

Menghindarkan diri dari kepentingan ultradidaktis mendorong Mario kepada permainan yang menyenangkan dengan sumber ciptaan—sikap yang tidak sepenuhnya bisa ditempuh oleh penyair pengusung warna lokal kita hari ini. Alkitab dan tradisi lisan adalah sumber ciptaan yang kaya dan memungkinkan penyair semacam Mario menyatakan sikap kritisnya. Sikap kritis ini muncul karena si penyair bersikap cukup dewasa terhadap khazanah tersebut. Kekaguman yang berlebihan kepada Alkitab dan tradisi lisan telah dikesampingkan demi gambaran iman yang kritis dari masyarakat pencari jalan keselamatan.

Dengan caranya yang terkesan polos dan tanpa beban, Mario juga menempuh jalannya sendiri dalam menulis puisi. Puisinya memang mengambil dua bentuk: lirik dan naratif, tapi ia mengerjakan dua jenis itu nyaris tanpa dibebani oleh tradisi sastra nasional yang ada. Sementara dalam banyak penyair muda hari ini dengan mudah kita menemukan tilas penyair-penyair senior yang kerap menjadi model, dalam puisi Mario hal ini agak sulit kita lakukan. Misalnya, ia menulis puisi dengan penataan larik yang menggantung; ia tidak berminat memainkan rima akhir, tapi menyuguhkan prosa menyaru tipografi puisi lirik.

Puisi "Angelus", misalnya, adalah puisi-prosa yang larik-lariknya disusun menyerupai tipografi puisi lirik yang selama ini kita kenal. Misalnya bait pertama:

"Sesudah Angelus, tidak boleh ada/ Yang berkeliaran. Ayo, semuanya masuk!"/ Tiada gemuruh gaduh menghentikan waktu./ Anak-anak tertawa dalam kebekuan./ Kesunyian melintasi lorong-lorong rumah./ Derap kaki kesunyian tetap saja mengganggu./ Di belakang kesunyian, mereka lihat wajah ayah./ Mereka cintai sekaligus mereka benci.

Yang menonjol dalam bait ini bukan lagi permainan rima akhir atau enjambemen, melainkan surealisme yang bekerja di antara otoritarianisme orang tua dan perlawanan anak, permainan citraan yang sangat hidup dan kontras yang saling mengunci. Sedangkan pada puisi "Paskah", Mario mengerjakan puisi lirik yang memainkan rima akhir secara permanen seraya menyadap tenaga haiku. Adapun puisi "Nazarenus" memberi kita alusi yang kuat kepada Alkitab dan kehidupan modern. Di sisi lain, ia mengantarkan kita kepada bentuk puisi lirik yang menyuguhkan permainan bunyi dan plot yang kuat dari puisi naratif.

Hal lain yang juga penting dicatat dalam buku ini adalah kemampuan penyair menggarap puisi-prosa dengan arsitektur yang kokoh. Kalimat-kalimatnya lancar—meski di beberapa bagian masih bisa kita temukan ungkapannya yang "remaja" dan kurang padat. Hubungan antarkalimat terbangun dengan logis dan menampilkan rinci peristiwa dan alusi yang kuat kepada sumbernya. Meski bangunan puisi itu tampak ramai dengan pelbagai citraan dan alusi, ia tidak terjerumus pada kegelapan. Seperti puisi "Panen" (2013):

Dengan ukuran kematian, kami mendepa panjang lintasan dosa dan kebangkitan. Hujan sungguh tak ada, Tuan, sebab lambungmu belum ditikam. Kepak gagak yang menjauh berusaha mengelak dari cahaya pukul tiga. Matahari dari balik detak-hentimu adalah yang paling menyilaukan, karena bumi yang terbelah akan lebih baik menghentikan lajur-hidup benih gandum. Ladang telah kami garap, demi kehidupan dan rasa sakitmu. Lima langkah dari ibumu, para pemanen menundukkan kepala. Berkas-berkas telah dipisahkan dari antara ilalang. Para pekerja mulai memindahkan mereka ke dalam lumbung demi musim-musim yang sekarat. Sebagai benih-benih gandum, Tuan, kami mesti kaujatuhkan ke tanah, meski rekuiem musim tak pernah mampu menaksir arah cuaca yang mengeras di antara kedua matamu.

Lewat puisi ini, penyair juga mengajak kita keluar-masuk yang mengasyikkan antara Alkitab dan tradisi lisan, antara yang silam dan yang kini. Fragmen penyaliban Yesus di Bukit Golgota disadur secara meyakinkan menjadi peristiwa bertani dan memanen gandum (atau sorgum) di Nusa Tenggara Timur. Permainan makna menjadi penting di sini. Darah Yesus menjadi hujan yang menyuburkan ladang pertanian. Sedangkan dagingnya, gandum yang kelak menjadi roti, adalah makanan bagi kaum tani miskin. Tanpa harus menonjolkan sikap ideologisnya, penyair menegaskan sesuatu yang penting: Yesus adalah pembela kaum lemah.

Dengan bentuk-bentuk yang menonjol seperti ini, puisi-puisi Mario F. Lawi memberi kita satu pengalaman baru dalam memahami yang lain, baik iman maupun tradisi lokal—hal yang penting di negara multikultur semacam Indonesia. Ia juga menambahkan satu lagi contoh tentang pentingnya menggarap keperajinan dan penguasaan atas bahan tulisan. Tanpa semua itu, jalan puisi hanya menjadi jalan yang semau-maunya, yang hanya akan mengantarkan sang penyair ke lubuk kesemenjanaan.


Tentang Hindia, Tentang Tan Malaka

Selain memilih prosa dan puisi terbaik, Tempo memilih buku sastra yang direkomendasikan untuk dibaca. Berikut ini empat buku hasil seleksi belasan nomine buku terbaik pilihan Tempo tahun 2014.

SEMUA UNTUK HINDIA
Penulis: Iksaka Banu
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit: Mei 2014
Tebal: 154 halaman

Lewat buku kumpulan cerpen yang meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 untuk kategori prosa ini, Iksaka Banu menunjukkan kepiawaiannya dalam menghidupkan kembali potongan-potongan peristiwa sejarah. Peristiwa itu menjadi panggung bagi tokoh-tokohnya. Tapi para tokoh ini bukanlah tokoh utama dalam sejarah. Mereka bisa jadi cuma seorang tentara, polisi, atau wartawan yang kebetulan berada pada saat peristiwa bersejarah terjadi.

RUSA BERBULU MERAH
Penulis: Ahda Imran
Penerbit: Pustaka Jaya, Bandung
Terbit: 2014
Tebal: 150 halaman

Ini merupakan kumpulan puisi Ahda Imran yang ketiga, setelah Dunia Perkawinan (1999) dan Penunggang Kuda Negeri Malam (2008). Seperti dua antologi puisi sebelumnya, kekhasan metafora, idiom, simbol, dan renungan juga terasa di sini. Ahda juga menyisipkan mitologi dalam sajak-sajaknya. Menampilkan kembali binatang seperti ular, kalajengking, dan rusa. Puisi-puisinya juga menampilkan figur seperti Adam, Isa, Buddha, atau Tan Malaka, serta sosok dalam mitologi: Hermes.

PERAWI TANPA RUMAH
Penulis:Ahmad Yulden Erwin
Penerbit: Indepth Publishing, Bandarlampung
Terbit: Oktober 2014
Tebal: 113 halaman

Buku ini merupakan kumpulan puisi yang ditulis Ahmad Yulden Erwin sepanjang 25 tahun (1989-2014). Memuat 62 puisi dan satu narasi puitik, kumpulan ini mengangkat tema beragam, dari kebebasan beragama, pelanggaran hak asasi, politik, cinta, hingga persoalan puisi itu sendiri. Bagi Erwin, menulis puisi bertema politik sekalipun harus tetap indah, mesti tak mengabaikan estetika. Puisi-puisi dalam buku ini merupakan upaya sang penyair untuk menyeimbangkan aspek gagasan dan keindahan dalam puisi.

SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2014
Tebal: 249 halaman

Seperti dua novel Eka Kurniawan sebelumnya, Lelaki Harimau dan Cantik Itu Luka, boleh dibilang novel ini juga dipenuhi tokoh utama berkarakter "absurd". Ini bercerita tentang seorang tokoh bernama Ajo Kawir yang kemaluannya tidak bisa berdiri. Hal itu disebabkan saat bocah ia melihat seorang perempuan bernama Rona Merah diperkosa bergiliran sampai mati. Sejak hari itu, kemaluannya tak bisa berdiri meski 12 pelacur telanjang di depannya. Di sepanjang buku, Ajo Kawir berusaha bercakap-cakap dengan kemaluannya sendiri. Ia mengusahakan berbagai upaya untuk mampu menegakkan kembali kemaluannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus