Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Dunia Amananunna

Rio Johan membiarkan imajinasinya bergerak liar tapi dapat membangun suatu logika yang kukuh. Ia menggali mitologi dari novel dan video game.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya, Amananunna memutuskan berkelana dengan harapan menemukan bahasa yang bisa berserasi dengan telinga juga lidahnya. Gurun-gemurun diarunginya, jajaran jejabalan ditaklukannya. Tanah Lullubi. Kata Hamazi.

Uri-ki. Susin. Shubur. Sampai ke tanah orang-orang Martu. Dilmun ...."

Rio mengajak pembacanya berkelana bersama Amananunna, sebuah dunia rekaan liar dalam cerita pendek "Aksara Amananunna", yang juga menjadi judul buku kumpulan cerpen karya Rio Johan yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia.

Dalam cerita pendek itu, Rio mendedah bagaimana sebuah bahasa lahir dan punah dengan mengikuti perjalanan Amananunna. Pada mulanya Amananunna menemukan bahasa lisan, lalu tulisan. Dia berusaha menurunkan bahasa tersebut kepada anak-anaknya, tapi ternyata mereka tak dapat merawat bahasa itu. Aksara Amananunna pun terancam punah.

Rio adalah pengkhayal. Dia membangun sebuah dunia khayali dengan logika rekaannya. Sastra adalah "dunia" yang logis, kata seorang juri tokoh sastra pilihan Tempo, sedangkan kejadian sehari-hari yang kita jalani sama sekali tidak bisa dirunut dan dipertanggungjawabkan berdasarkan logika. "Ditinjau dari satu segi, terasa bahwa cerpen-cerpen Rio Johan ini menciptakan bahasa 'Amananunna' untuk menyindir bahasa yang kita pakai dan yang dipakainya sendiri," kata sang juri.

Demikianlah Rio berkisah dengan bahasa Amananunna. Dengan liar dia membiarkan dirinya bebas berkelana ke alam antah berantah. Dalam cerpen "Undang-Undang Antibunuhdiri", Rio membangun imajinasi tentang sebuah negara antah berantah yang pemerintahnya melarang orang bunuh diri, tapi toh ada saja orang yang tetap bunuh diri dengan cara konyol. Dalam "Ginekopolis", dia dapat menciptakan sebuah dunia masa depan yang dikuasai kaum perempuan yang memperbudak kaum lelaki. Ceritanya adalah dongeng-dongeng yang digali dari berbagai sumber, dari novel, komik, hingga video game.

Rio Johan lahir di Baturaja, Sumatera Selatan, 24 tahun silam. Dia menghabiskan masa kecil hingga lulus sekolah menengah atas di kota kecil itu. Di Baturaja pula dia bertualang di dunia khayal yang tercipta dari buku-buku kiriman kerabatnya di Jakarta: komik Paman Gober, novel detektif Agatha Christie, dan novel-novel C.S. Lewis, sastrawan Inggris penulis seri Chronicles of Narnia yang terkenal. Rio tertarik pada karya C.S. Lewis karena novel-novelnya mengandung mitologi Yunani dan Romawi. Menurut Rio, buku-buku tersebut belakangan memberi banyak inspirasi kepadanya dalam menulis cerpen.

Sejak remaja Rio juga menggandrungi video game seperti Ragnarok, game online populer yang diangkat dari mitologi Skandinavia. Untuk memenuhi hasratnya dalam bermain video game, dia pernah merengek-rengek kepada orang tuanya untuk dibelikan seperangkat PlayStation.

Saat menempuh kuliah di Jurusan Teknik Kimia Universitas Sebelas Maret Surakarta, barulah Rio mulai mencoba menuangkan imajinasinya dalam bentuk cerpen. Dia menulis tanpa beban, seperti halnya dia bermain video game. "Menulis itu untuk main-main," kata Rio kepada Tempo.

Pada awalnya dia menulis cerita detektif, seperti yang ada dalam novel-novel Agatha Christie. Ceritanya seputar detektif dan kasus pembunuhan. Dia merangkai suatu misteri untuk kemudian dipecahkan oleh detektif khayalannya. Di sini dia belajar menyusun logika cerita.

Susunan logika itu membuat cerpennya menjadi panjang. Dia semakin bersemangat manakala alurnya mampu mengecoh pembaca.

Rio juga memiliki kegemaran menyaksikan film. Meski rajin menonton film populer Hollywood, ia lebih menyukai film lama dari negara kecil seperti Yunani, Cek, dan Iran. Film-film tersebut, kata Rio, banyak memberikan pengetahuan baru, termasuk tentang mitologi baru. Di masa penyelesaian skripsinya kini, ia tetap rajin menenteng setumpuk DVD di dalam ranselnya untuk disaksikan dan didiskusikan bersama sesama penggemar film alternatif.

Berbagai kisah dari novel, video game, hingga film itu menjadi bahan baku utama dalam penulisan cerpen. Tentu saja cerpennya ditambah dengan imajinasinya, yang kadang kala muncul di sela-sela dia menyelesaikan tugas kuliah atau berkutat di laboratorium kampus.

Itu sebabnya kadang kita dapat mengenali dongeng yang disampaikannya. Petualangan perempuan yang menyamar menjadi pelaut lelaki dalam "Susanna, Susanna!", misalnya, mengingatkan kita pada kisah para perempuan pelaut terkenal seperti Mary Lacy dan Hannah Snell. Cerita "Kevalier d'Orange", tentang kesatria yang kelelakiannya diragukan, mirip dengan Chevalier d'Eon, kesatria yang mengabdi pada Raja Prancis Louis XV.

Cerpen karya Rio cenderung panjang hampir sepanjang novela. Cerpen "Undang-Undang Antibunuhdiri" dan "Aksara Amananunna" masing-masing memakan delapan halaman buku. Kedua cerpen itu terhitung yang paling pendek dalam buku ini. Tapi "Susanna, Susanna!" adalah cerpen terpanjang dalam antologi ini karena memakan 72 halaman.

Rio mengaku membutuhkan waktu panjang untuk mampu menulis cerpen-cerpen itu. "Saya tidak bisa menulis cerpen dengan cepat," katanya. Terkadang dia baru bisa menyelesaikan satu cerpen dalam waktu dua bulan meski sebenarnya sudah menemukan alur ceritanya.

Beberapa kali cerpennya ditolak oleh surat kabar. Tapi dia tidak kecewa karena sudah menduganya. Bahkan, dari 12 cerita dalam buku ini, hanya satu cerpen yang pernah dimuat di surat kabar, yakni "Aksara Amananunna". Dengan tema seperti itu dan naskah yang demikian panjang, Rio sadar bahwa tak banyak orang yang tertarik pada cerpennya. Tapi dia tak kecewa. "Ini memang tulisan konyol-konyolan," katanya dengan santai. Mungkin karena Rio bersikap santai, tidak pretensius, dan sama sekali tidak ngotot dengan dirinya sendiri ataupun karyanya, cerpen-cerpennya justru terasa segar, jujur, jenaka sekaligus unik.

Tapi sikap "main-main" Rio tentu menggunakan perhitungan. Salah satu juri menilai, sebagai pencerita, Rio bisa meyakinkan orang, meski ceritanya khayalan. Dibanding beberapa buku prosa yang terbit pada 2014, karya Rio sama sekali tak berupaya menjelas-jelaskan atau bersikap pedantik atau pamer pengetahuan. "Kesan kuat ketika membaca buku ini adalah tumbuhnya rasa kebebasan untuk 'menggembalakan' imajinasi ke mana saja maunya, yang bisa saja menyebabkan tulisan menjadi tumpukan digresi, tapi yang dengan cerdik bisa 'dikendalikan' oleh Rio Johan," kata sang juri.

Rio tidak hanya ikhlas membiarkan imajinasinya tumbuh liar, tapi juga menggunakan disiplin berpikirnya untuk menyusun dunia fiksional yang menuntut kemampuannya berbahasa agar ada logika di dalamnya. Dalam taraf ini, hampir semua cerpen dalam buku ini adalah ironi, yang memiliki potensi menimbulkan kegeraman sekaligus rasa geli—suatu muslihat yang mahapenting dalam kesusastraan modern di mana pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus