Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Awas, jangan lebih kaya

Sejak jaman tsar orang rusia hidup kolektif. kepada tamu-tamunya mereka ramah dan suka menolong. mereka membenci orang-orang yang sukses. kultur kecemburuan makin kuat akibat penderitaan tiap hari.

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Soviet pada umumnya tak suka nyerempet-nyerempet bahaya. Mereka konservatif dan sangat hati-hati. Hantu pengangguran sungguh menakutkan. Dan tambah celaka, masalah ini masalah baru (yakni baru setelah Gorbachev menggelindingkan perestroika), dan Soviet belum memiliki prasarana untuk menanggulanginya. Antara 1985 dan 1989, dalam perkiraan pemerintah, sekitar 3 juta orang kehilangan pekerjaan. Dan sampai akhir abad ke-20 ini, diduga 15 juta orang Soviet akan jadi penganggur. Benar, ada juga dirintis lapangan kerja baru, yang masih disembunyikan di balik kata "koperasi". Itulah usaha-usaha kecil milik perseorangan. Yang bekerja di "koperasi" itu biasanya orang-orang muda yang berani. Tapi sebagian besar sekali para pekerja Soviet lebih suka menunggu daripada berinisiatif sendiri. Mereka biasanya tak berani keluar dari pekerjaan yang sudah dijalaninya, meski untuk itu harus hidup kekurangan -- dan sementara itu terus melakukan protes mengapa hidupnya begitu kekurangan. Tak ada keberanian untuk mengambil risiko, terjun ke "koperasi-koperasi", yang memang dengan masa depan yang belum pasti. "Orang mengharapkan perubahan datang dari atas," kata Andrei Smirnov, sutradara film, suatu malam sehabis makan. "Mereka tak menyadari bahwa demokrasi, atau perubahan nyata ekonomi seharusnya datang dari bawah. Mereka tak percaya bahwa perubahan harus datang dari mereka sendiri." Perilaku bergantung pada pemerintah bisa dilihat di semua lapisan sosial. Smirnov, ketua serikat pekerja film dalam dua tahun yang kritis di akhir 1980-an, mengatakan bahwa serikatnya merupakan cermin bagaimana Soviet menanggapi perubahan ekonomi yang lebih bebas. "Setiap orang begitu bersemangat melemparkan kediktatoran yang lama," katanya. "Tapi para sutradara dan produser kami begitu cemas pada sistem kompetisi. Bila kami disuruh memilih pasar bebas atau jaminan gaji tetap, mayoritas akan memilih jaminan gaji tetap. Mereka yang tak bisa bersaing di pasar bebas sudah melihat hari depan mereka sebagai penganggur. Dan untuk itu mereka merasa tak bahagia." Bahkan, kata Smirnov pula, mereka yang lebih berbakat pun tak merasa senang dengan sistem pasar bebas. "Mereka menduga direktur studio akan memilih teman-teman dan mereka yang jadi favorit untuk pembuatan suatu film, bukannya mereka yang mampu. Mereka ingin serikat kerja melindungi mereka, sementara mereka yang benar-benar mampu dan bisa bekerja dalam segala situasi tak merasa bahagia dengan teknologi kami yang miskin dan sistem penggajian yang buruk." Rair Simonyan, kepala manajemen industri di Institut Hubungan Internasional dan Ekonomi Dunia -- lembaga yang sangat prestisius di Moskow -- mengatakan hal yang sama di kalangan manajer industri dan kalangan para ahli di lingkungannya. "Tiap orang bisa mengatakan pada Anda kebutuhan kami akan perubahan, tapi begitu menyangkut diri mereka sendiri, masalah jadi lain," tutur Simonyan. "Saya sendiri menghadapi masalah dengan orang-orangku. Mereka semua bilang, kami membutuhkan perubahan radikal. Dan hal pertama yang kulakukan adalah mengurangi jumlah staf -- 60 periset terlalu banyak. Tapi apa yang terjadi? Orang-orang marah, dan kata mereka, 'Anda tak bisa mengelola pekerjaan ini hanya dari sudut efisiensi dan kesejahteraan sosial. Anda tak bisa mem-PHK seorang yang berusia 5-0-an tahun atau seorang wanita dengan dua anak tanpa mereka punya prospek pekerjaan'." Menurut Simonyan, bahkan para manajer industri -- yang diberi hak otonomi memutuskan sendiri kuota produksinya -- lebih suka pada sistem lama yang menjamin ditampungnya produksi pabrik. Bahkan mereka ingin 100% produksi merupakan order dari pemerintah, "hingga kami tak usah pusing memikirkan suplai material." Salah seorang pejabat yang dekat dengan Gorbachev, Aleksander N. Yakovlev, yang lebih radikal daripada Bapak Glasnost itu, mengatakan bahwa kondisi masyarakat yang paternalistik itu mengakibatkan masyarakat macet -- suatu kondisi cara berpikir yang ia sebut sebagai "hambatan terbesar" untuk reformasi. "Masyarakat sudah terbiasa dengan jaminan, dan tidak hanya dalam hal materiil," kata Yakovlev, dalam satu wawancara panjang di suatu siang. "Seseorang menginginkan kepastian bahwa ia pasti mendapat bayaran, bahkan bila ia tak bekerja sekalipun. Juga dalam politik, ia berharap ada yang memberi perintah, petunjuk apa yang harus ia kerjakan. Maka, Yakovlev lebih jauh, "Jika kami tak membuat terobosan, jika orang Soviet tetap tak mau menerima kemerdekaan jiwa, tak mau menerima inisiatif dan tanggung jawab, jika tak ada pemerintahan otonom di daerah, maka tak suatu pun akan terjadi." Dan celakanya, sejauh ini, "orang tak mau memikul tanggung jawab. Tanyakan pada orang lain, jawabnya tentu jaminan lebih penting daripada yang lain. Jaminan itu memang sudah menjadi darah daging kami." Bagi masyarakat Soviet yang besar itu, perjuangan melawan kekurangan bahan makanan pokok sepanjang tahun membentuk mereka menjadi antipembaruan. Korupsi kecil-kecilan meruyak bagaikan jamur di musim hujan. Memang itu semacam mekanisme cara bertahan yang universal. Contohnya, itu tadi, orang yang mencuri gerobak -- dan berapa juta orang yang melakukan hal seperti itu. Di balik itu, perlombaan untuk memborong belanjaan sehari-harinya mengakibatkan adanya bermacam kepribadian dalam diri orang Soviet. Dalam lingkungan yang mereka kenal, orang Soviet sangatlah hangat. Kepada tamu-tamunya mereka bersikap ramah dan suka menolong. Tapi pada orang di luar lingkungannya mereka menunjukkan sikap yang buruk. Sumber yang membentuk kepribadian macam ini tak lain adalah keadaan sekitar mereka yang pahit. Mereka adalah orang-orang yang sudah menderita demikian lama, yang bisa menerima penderitaan sejauh orang-orang lain di sekitar mereka mengalami hal yang sama. Tapi bila ada seorang yang menjadi lebih baik daripada mereka -- meski ini karena orang itu memang berusaha dengan lebih baik -- kecemburuan sosial akan segera berkobar. Mereka yang pernah berkeliling di negeri ini akan melihat protagonis sebuah budaya yang disebut kultur kecemburuan -- kebencian yang keropos yang berakar di zaman tsar, dalam kolektivisme kehidupan orang Rusia, dan kemudian lebih ditekankan oleh ideologi Lenin. Dan sekarang kecemburuan itu jadi busuk oleh penderitaan setiap hari. Kehidupan para pejabat, dengan mobil mulus mereka, jaminan kesehatan, dan rumah peristirahatan, adalah sasaran kutukan dari rakyat kecil. Tantangan bagi pembaruan Gorbachev adalah: siapa saja yang kemudian tampil lebih tinggi daripada rata-rata orang selalu jadi sasaran kemarahan massa. Perilaku ini sangat berbahaya bagi program Gorbachev untuk menumbuhkan semangat wiraswasta. Itu menjadi penghambat munculnya inisiatif di pabrik-pabrik atau di pertanian-pertanian. Seorang bekas diplomat, Valentin Bereshkov namanya, menceritakan bagaimana seorang petani yang sedikit lebih makmur daripada tetangga-tetangganya suatu hari mendapatkan kuda-kuda dan sapinya diceraiberaikan, dan lumbungnya dibakar. Surat kabar dan majalah Soviet banyak bercerita tentang perusakan milik-milik koperasi, rumah makan, dan toko-toko kelontong, oleh mereka yang marah karena orang lain memperoleh sukses usaha. Salah satu topik perdebatan utama dalam parlemen Soviet adalah tentang pasar bebas. Banyak yang khawatir bahwa sistem itu akan diperalat oleh para spekulator untuk memperkaya diri sendiri dengan cara memeras buruh. Salah satu sebab itu semua adalah indoktrinasi oleh para pengikut Lenin yang memang sangat berkuasa. Bagi sebagian besar masyarakat Soviet, kata "kapitalisme" tetap kata yang kotor. Kenyataan bahwa ada mereka yang dibayar lebih banyak, menerima lebih baik, adalah perkosaan terhadap konsep sama rasa sama rata soslialisme. Berpuluh juta orang Soviet dalam kalbunya sungguh tak mempercayai pasar. Mereka takut ditipu, diperdaya. Mereka memandang niat mencari untung adalah tak bermoral. Pada 1918, Lenin menulis: "Kami nyatakan bahwa tanah adalah milik umum. Tapi bila saya mengambil sebidang tanah ... untuk diri saya sendiri, dan menanam padi dua kali lebih banyak daripada yang saya butuhkan, dan saya jual kelebihannya untuk mencari untung ... apakah saya bertindak sebagai seorang komunis? Tidak. Saya bertindak sebagai seorang penghisap, sebagai pemilik." Tapi ada sesuatu yang lebih daripada hanya ideologi dalam kerja. Ada instink kelas dan kolektif, yang lahir di desa-desa di masa sebelum revolusi, yang mengeras dalam kejiwaan para petani, dan terbawa ke pabrik-pabrik ketika para petani itu bermigrasi ke kota-kota. Rasa permusuhan terhadap mereka yang hidup lebih baik mencerminkan etika kolektif dari yang disebut obshchina, kelompok warga desa yang di masa tsar hidup di pondok-pondok yang berdempet, yang mengakibatkan satu orang dengan yang lain begitu dekat hubungannya. Ketika pada 1861 semacam sistem perbudakan dihapuskan, para petani bersatu, mengerjakan tanah pertanian bersama-sama. Kelompok petani membagikan tanah pada tiap keluarga sebidang tanah di lahan-lahan berbeda, ada yang di dekat desa, ada yang jauh dipisahkan oleh hutan. Pembagian sedemikian rupa yang mengakibatkan ada yang kebagian tanah subur, yang lain tanah yang tidak begitu subur. Sementara itu, obshchina yang menentukan kapan musim tanam dimulai, kapan panen, bahkan bagaimana caranya mereka harus bekerja di ladang. Maka, semua warga petani sama-sama menderita akibat musim yang buruk. Mereka menanam tanaman yang sama. Mereka tumbuh menjadi satu masyarakat yang terbiasa menanggung nasib bersama. Mereka akan memusuhi siapa saja yang mencoba menjadi lain, menjadi lebih baik. Di desa-desa orang mengingatkan: rumput yang tumbuh lebih tinggi daripada yang lain itulah yang terbabat sabit pertama kali. Adapun pesan tamsil itu: jangan mencoba berdiri lebih tinggi daripada kelompok, daripada massa. Dan inilah kata Dmitri Zakharov, seorang penyiar acara "Vzglyad", sebuah siaran tengah malam: "Di Barat, bila seorang Amerika melihat seseorang dalam TV dengan mobil berkilau, ia akan bilang, 'Mungkin suatu hari nanti saya bisa memiliki seperti itu.' Tapi bila seorang Rusia melihat orang dan mobil di TV itu, ia akan berpikir, 'Bajingan ini kok punya mobil. Saya ingin membunuhnya karena ia hidup lebih baik daripada aku.' Ketika orang Rusia melihat sebuah koperasi menghasilkan keuntungan besar, mereka akan mengusutnya dengan marah, 'Mengapa orang-orang ini bisa mendapatkan banyak uang?' Daripada melakukan upaya untuk meningkatkan diri sendiri, mereka lebih suka menutup koperasi itu." Dan dengarlah apa kata Wali Kota Leningrad, Anatoly A. Sobchak. "Masyarakat kami tak bisa menerima bila ada yang menerima upah lebih besar daripada mereka. Mereka menghendaki distribusi uang yang merata, tak peduli itu berarti meratakan kekayaan atau kemiskinan. Mereka juga demikian pencemburunya, lebih menghendaki orang lain bernasib lebih buruk daripada dirinya sendiri bila perlu, agar kesamarataan tetap terjaga." "Kami punya cerita. Begini. Suatu hari Tuhan datang pada seorang petani Rusia yang beruntung, dan mengatakan bahwa apa saja yang diminta oleh petani itu akan terkabul. 'Tapi ingat,' kata Tuhan, 'apa saja yang kauperoleh, maka tetanggamu akan memperoleh dua kali lebih banyak daripada kamu'." "Petani itu tercengang, ia tak bisa menerima bahwa tetangganya akan menjadi lebih kaya daripada dirinya, tak peduli bahwa ia bisa sekaya apa pun. Akhirnya ia menemukan permintaannya, dan katanya, 'Ambillah sebiji mataku, dan karena itu copotlah kedua mata tetanggaku'." "Mengubah sikap kejiwaan seperti itu adalah hal tersulit -- pembangunan ekonomi kami," kata wali kota itu. "Sikap yang tak bisa menerima bahwa orang lain lebih kaya -- tak peduli bagaimana cara orang itu memperolehnya, dengan kerja keras, dengan kerja lebih lama atau lebih baik -- sikap ini sangat menghambat pembaruan ekonomi." Maka, adalah komentar Vlad Pozner, pada soal perilaku orang Soviet. "Bila dua orang Amerika bertemu," katanya, "mereka akan saling menyapa, 'Apa kabar.' Dan masing-masing akan menjawab bahwa mereka baik-baik saja, meski misalnya ibu mereka telah meninggal sehari sebelumnya." Dalam hal dua orang Soviet bertemu, kata Pozner melanjutkan komentarnya, mereka akan menjawab sapaan temannya dengan "biasa-biasa saja". Itu juga yang akan mereka katakan seumpama salah seorang dari mereka baru saja menerima rezeki nomplok. "Anda tak akan mencoba menggoda setan. Anda tak ingin orang lain tahu bahwa Anda punya rezeki lebih baik. Karena orang lain itu akan cemburu. Dan bila ada yang cemburu, sulit ditebak apa yang akan ia lakukan terhadap Anda," kata Pozner. Dorongan untuk meratakan nasib bagi semua, untuk ambil bagian dalam kesialan, dan membagikan penderitaan, itu semua dirumuskan oleh ekonom radikal Nikolai Shmelyov sebagai sindroma "pemerataan kemiskinan". Dalam kongres Maret yang lalu, di hadapan wakil-wakil rakyat, Shmelyov berpidato: "Kecemburuan buta terhadap sukses tetangga kita adalah rem yang sangat kuat terhadap jalannya perestroika. Sebelum kita semua bisa meredam rasa cemburu ini, perestroika dalam keadaan bahaya." Mikhail Gorbachev sendiri sering menyinggung-nyinggung soal perilaku ini. Di hadapan sejumlah kaum buruh, April lalu, Gorby dengan berang mengatakan kekurangan para buruh itu akan "rasa tanggung jawab" dan ketidaksetuajuan mereka pada sistem bonus bagi mereka yang berprestasi. Presiden Uni Soviet ini dengan keras memperingatkan, budaya cemburu akan mematikan percik-percik inisiatif dan keberanian, dan akan melumpuhkan harapan kemajuan ekonomi yang nyata. "Jika kita tidak mematahkan sistem sama rata yang tolol ini," kata Gorby dengan lantang, "kita akan meruntuhkan semua yang sudah kita miliki. Kita akan tercekik."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus