Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Awas, Semakin Terperangkap Utang

Pemerintah mengandalkan utang untuk membiayai anggaran pendapatan dan belanja negara. Beruntung, rasio utang masih rendah. Indonesia diyakini tak akan terkena krisis utang seperti negara-negara di Eropa. Tapi penumpukan utang membuat ruang gerak fiskal pemerintah terbatas.

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAPAT koordinasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara di Kementerian Keuangan, Kamis siang dua pekan lalu, berlangsung cepat. Tak ada perdebatan panjang. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto dan Direktur Jenderal Perbendaharaan Agus Supriyanto setuju membatalkan seluruh sisa lelang surat berharga negara pada akhir tahun ini.

Pembatalan itu termasuk lelang Surat Utang Negara (SUN), yang seharusnya digelar pada Selasa pekan lalu. Alasannya, saldo kas pemerintah masih cukup besar untuk menutupi kebutuhan sampai akhir 2011—bahkan awal 2012. ”Itu sesuai dengan arahan Menteri Keuangan,” kata Rahmat kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Dalam rapat itu juga terungkap, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011 ada kemungkinan lebih rendah dari target 2,1 persen produk domestik bruto. Melihat indikasi itu, katanya, Kementerian membatalkan pinjaman climate change programme senilai US$ 400 juta dari Bank Pembangunan Asia (ADB), Japan International Cooperation Agency (JICA), dan The Agence Française de Développement (AFD) Prancis. Tadinya pinjaman itu akan menutup defisit anggaran tahun ini.

Utang bilateral dari kreditor—pinjaman proyek dan program—dan utang surat berharga negara (Surat Utang Negara alias SUN, sukuk, obligasi retail atawa ORI) memang sumber utama pembiayaan APBN, juga menutup defisit anggaran. Utang tak terhindari lantaran penerimaan pajak, pendapatan minyak atau gas, serta ekspor tak mencukupi. Bahkan pinjaman juga acap kali dipakai lagi untuk membayar utang. ”Sebab, Indonesia belum surplus,” kata Rahmat.

Hingga 24 November 2011, realisasi penerbitan surat berharga negara mencapai Rp 204,6 triliun. Pinjaman bilateral sampai Oktober lalu sekitar Rp 56,2 triliun. Tahun depan, pemerintah harus membayar utang pokok plus bunga sekitar Rp 240 triliun.

Seperti pada 2011, tahun depan juga utang dari surat berharga negara tetap menjadi andalan pemerintah untuk membiayai APBN. Defisit anggaran 2012 dipatok Rp 124 triliun—1,5 persen dari PDB. Rahmat mengatakan, sumber dana untuk menutup defisit dan mempercepat pembayaran utang (refinancing) berasal dari penerbitan surat berharga neto sebesar Rp 134,5 triliun.

Ketergantungan pemerintah pada pinjaman membuat utang kian menumpuk. Sampai akhir November, total utang pemerintah mencapai Rp 1.768 triliun. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menurunkan rasio utang dari 32-an persen menjadi 26 persen. Tapi, menurut anggota Komisi Keuangan, Arif Budimanta, secara nominal nilai utang pemerintah justru bertambah. ”Utang kita meningkat 40 persen dalam enam tahun terakhir,” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan itu.

Rahmat tak menampik sinyalemen itu. Utang pemerintah memang tidak banyak menurun. Penyebabnya, anggaran negara masih defisit dan ada contingency liabilities alias jaminan buat perusahaan negara. Misalnya, jaminan utang untuk proyek PLN senilai US$ 8 miliar. Jaminan ini, kata dia, bisa menjadi utang baru.

Toh, Rahmat hakulyakin Indonesia masih bisa mengelola utang. Indonesia juga tak akan seperti Yunani atau negara-negara di Eropa yang mengalami krisis utang. Selain rasio utang relatif rendah, fundamental ekonomi Indonesia bagus. Tahun depan Indonesia berpotensi mendapatkan predikat layak investasi, yang membuat arus modal ke Tanah Air berlanjut. Efeknya, pasar surat berharga negara akan semakin likuid, yang membuat akses pemerintah mencari pembiayaan buat APBN tetap terbuka.

Direktur Internasional Bank Indonesia Nelson Tampubolon menjelaskan, krisis di Amerika dan Eropa disebabkan oleh pengelolaan fiskal yang tidak hati-hati, sehingga penumpukan utang pemerintah melebihi batas wajar. Tapi utang Indonesia, kata dia, tergolong rendah, hanya 24 persen dari produk domestik bruto. Dengan indikator itu, kemungkinan Indonesia mengalami krisis utang tergolong rendah. Namun, ”Tetap perlu berhati-hati dengan terus melakukan monitoring dan memperbaiki kualitas mitigasi risiko.”

Menurut Rahmat, pemerintah sudah siap mengantisipasi bila dampak krisis Eropa semakin berat. Salah satunya merealisasi bond stabilization framework atau menstabilkan pasar surat utang dan merealisasi pembiayaan darurat (contingency) dari kreditor tradisional, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, atau JICA. ”Kita mengamankan pembiayaan APBN agar program-program pemerintah masih bisa memberikan stimulus.”

l l l

TIGA truk pengangkut pasir perlahan menyusuri jalan berlubang di ruas Cipeundeuy-Pabuaran-Sarengseng, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Selasa siang pekan lalu. Bunyi kreat-kreot terdengar dari bawah kendaraan berat itu. Di belakangnya, sebuah Toyota Soluna merambat mengikuti laju truk. Ruas Cipeundey merupakan salah satu jalan paling rusak. Di Subang, dari panjang ruas 1.054 kilometer, sekitar 400 kilometer mengalami kerusakan.

Kepala Seksi Pembangunan Dinas Bina Marga dan Pengairan Pemerintah Kabupaten Subang, Adry, mengatakan pemerintah Subang belum bisa memperbaiki jalan-jalan rusak lantaran anggaran daerah minim, hanya Rp 85 miliar. Tambahan Rp 2 miliar dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat tak mencukupi. ”Kalau dari pusat, satu sen pun tak ada dana,” ujarnya kepada Tempo, pekan lalu.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development Economy and Finance (Indef), Ahmad Erani Yustika, tak kaget bujet pemerintah pusat untuk perbaikan sarana infrastruktur sangat minim. Seretnya anggaran untuk sektor produktif tersebut, katanya, erat kaitannya dengan utang pemerintah pusat.

Guru besar Universitas Brawijaya Malang itu memaparkan, pembayaran utang pokok plus bunga utang pemerintah sekitar 14-15 persen dari APBN atau Rp 180-an triliun. Jumlah cicilan itu lebih besar ketimbang anggaran Kementerian Pendidikan, Pertanian, atau Perindustrian. Cicilan utang juga lebih besar ketimbang belanja modal pemerintah 2011, sebesar Rp 160 triliun.

Erani sepakat, dari sisi rasio utang, Indonesia masih aman dan tidak akan senasib dengan negara-negara di Benua Biru. Tapi, dari sisi fiskal, utang sudah mengkhawatirkan. Timbunan utang membuat pemerintah tak bisa menyalurkan dana optimal untuk sektor produktif, seperti infrastruktur, pertanian, dan perindustrian. ”Ruang fiskal pemerintah jadi terbatas,” ujarnya. ”Bujet untuk sektor produktif minim karena sebagian besar digunakan untuk mencicil utang.”

Arif mengatakan pemerintah harus mewaspadai kekuatan fiskal karena keseimbangan primer dalam APBN merosot tajam. Dalam lima tahun terakhir, keseimbangan primer sudah merosot 7.000 persen dari Rp 50,8 triliun pada 2005 menjadi Rp 730 miliar pada 2011. ”Lebih besar pasak daripada tiang,” ujarnya. Keseimbangan primer adalah pendapatan negara dikurangi belanja dalam APBN di luar pembayaran cicilan utang. Semakin besar surplus keseimbangan primer semakin baik pula anggaran negara membayar utang.

Erani dan Arif sependapat, pemerintah harus mengurangi utang. Pemerintah harus memperbaiki lagi manajemen pengelolaan utang. Bila itu tidak dilakukan, Indonesia akan semakin terperangkap utang. ”Sejak 1986, Indonesia sudah masuk perangkap utang ini,” kata Erani. Bayangkan saja, Indonesia mendapat pinjaman US$ 3 miliar tapi harus membayar cicilan US$ 5 miliar.

Pengereman utang bisa dilakukan dengan mengurangi penarikan pinjaman program atau proyek. Apalagi, ujar Erani, realisasi penarikan pinjaman proyek juga rendah. Pada kuartal kedua 2011, realisasi penarikan pinjaman proyek hanya US$ 11,5 miliar atau 52,9 persen dari rencana pinjaman US$ 21,7 miliar. Seraya mengurangi utang, pemerintah juga mesti mengoptimalkan penerimaan pajak. Rasio pajak harus dinaikkan dari 12 persen menjadi 14 persen. ”Bila rasio pajak itu tercapai, tak perlu berutang lagi,” kata Erani. Pemerintah juga harus berhemat, misalnya mengurangi subsidi bahan bakar minyak, yang rata-rata mencapai Rp 170 triliun setahun.


Jatuh Tempo Utang Pokok Indonesia
(Rp Triliun)
Surat berharga negaraPinjaman
20128045
20135653
20146253
20155151
20165247
20174141
20184740
20195539
20206838
20215833
20222572
20232123
20241818
20252815
20262012
20272010
2028219

Catatan:
Setelah 2030 pinjaman ke kreditor lunas. Sisanya hanya utang surat berharga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus