Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Minyak Menyusut, Subsidi BBM Membengkak

Sepuluh tahun tanpa temuan cadangan minyak baru.

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah masa paling suram bagi industri minyak nasional. Selama satu dasawarsa tak ada peningkatan kinerja signifikan. Tengok saja produksi minyak nasional. Pada tahun 2000, sektor ini mampu memproduksi minyak rata-rata 1,4 juta barel per hari. Namun, sekarang, kegiatan produksi minyak melorot. Produksi minyak tak pernah bisa melewati 950 ribu barel per hari.

Bukan hanya produksi minyak yang terus menurun. Buruknya kinerja sektor ini juga tecermin dari cadangan pasti minyak yang kian menyusut. Sepuluh tahun lalu, cadangan pasti masih 8 miliar barel. Kini cadangan minyak yang bisa diproduksi tinggal 3,7 miliar barel. Artinya, selama 10 tahun ini, praktis tidak ada tambahan cadangan baru. Jika kondisi ini tak berubah, kandungan minyak yang tersisa ini hanya cukup untuk tiga tahun ke depan.

Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan mengingat konsumsi bahan bakar minyak terus naik setiap tahun. Tahun ini konsumsi bahan bakar bersubsidi saja sudah melonjak dari 38,5 juta kiloliter menjadi 41 juta kiloliter. Tahun depan angka ini bakal terus bertambah karena untuk pertama kalinya angka penjualan mobil di Indonesia diperkirakan mencapai 1 juta unit.

Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies Kurtubi menilai buruknya kinerja minyak dan gas bumi akibat pemerintah salah kelola sektor ini. Investasi yang masuk sedikit, tapi produksi terus digenjot. Investasi itu pun kebanyakan untuk kegiatan produksi, bukan untuk mencari cadangan baru. Akibatnya, nyaris tidak ada tambahan cadangan baru. "Jumlah cadangan terbukti saat ini sangat mengkhawatirkan," ujarnya.

Selama 10 tahun terakhir, kata dia, pemerintah tidak mampu menemukan lapangan minyak dengan cadangan baru. Penemuan lapangan terbesar terakhir adalah Blok Cepu. Itu pun, kata Kurtubi, adalah temuan 12 tahun lalu. Sayangnya, Cepu, yang diharapkan memproduksi 165 ribu barel per hari, saat ini hanya bisa menghasilkan 20 ribu barel. "Padahal seharusnya sekarang sudah masuk masa puncak produksi."

Salah kelola sektor minyak ini, kata Kurtubi, terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. "Sejak saat itu kegiatan eksplorasi menurun, investor enggan berinvestasi di sini," katanya. Para kontraktor minyak hanya berkonsentrasi pada lapangan-lapangan tua.

Kalangan investor menilai beleid minyak tersebut tak menjamin kepastian investasi. Misalnya soal pengenaan pajak eksplorasi, perizinan di daerah, dan benturan peraturan dengan instansi lain. Saat ini untuk memulai kegiatan minyak di Indonesia butuh waktu lima tahun, mulai pengajuan investasi sampai perizinan bea-cukai dan pemerintah daerah. "Dengan undang-undang lama hanya cukup tiga bulan."

Tak mengherankan jika kegiatan investasi minyak di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia. Hasil survei Global Petroleum tahun lalu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-111 dari 133 negara. Posisi ini hanya sedikit lebih baik daripada posisi Timor Leste, tapi di bawah negara-negara seperti Papua Nugini, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Australia, dan Selandia Baru.

Wakil Ketua Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Sammy Hamzah juga menyatakan hal yang sama. Dia menuding Undang-Undang Migas sebagai penyebab mandeknya kegiatan investasi di Indonesia. Asosiasi, kata Sammy, sudah meminta pemerintah membenahi iklim investasi dan memberikan kepastian hukum kepada kontraktor. Dengan begitu, kontraktor akan terdorong mencari cadangan baru. "Hasilnya pasti lebih baik dari memanfaatkan sumur tua, yang biayanya lebih mahal."

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo mengakui terjadinya penurunan kinerja di sektornya. Penerimaan negara dari sektor minyak dan gas turun drastis dalam 30 tahun terakhir. Menurut dia, hal ini akibat minimnya proyek lapangan minyak baru dan terbatasnya infrastruktur. Pada 1970-an, katanya, minyak mampu menyumbang 70 persen penerimaan negara. "Sekarang hanya 30 persen."

Untuk menggenjot kembali fulus dari minyak, pemerintah terus mendorong peningkatan wilayah kerja pengeboran minyak dan gas baru. "Arahnya ke lepas pantai." Hal ini karena, dari 228 wilayah kerja yang ada, sebanyak 52 persen di daratan dan 48 persen di lepas pantai. "Dari 19 wilayah kerja baru itu, hanya 10 persen di daratan, selebihnya di lepas pantai."

Pemerintah juga akan melakukan berbagai deregulasi dan ­memperbaiki iklim investasi. Untuk itu, Widjajono mengajak instansi lain dan pemerintah daerah duduk bersama menyelesaikan hambatan-hambatan ini. Karena itulah, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo optimistis produksi minyak bakal menembus 1 juta barel per hari. "Saya yakin pada 2014 akan tembus ke angka itu," ujarnya.

Saat ini, kata Widjajono, yang dibutuhkan adalah kegiatan eksplorasi untuk menambah cadangan pasti. Dia memperkirakan, dengan ­percepatan eksplorasi, dari cadangan ­potensial sebanyak 56 miliar barel akan bisa diper­oleh tambahan cadangan terbukti sebesar 28 miliar barel. "Tapi ini bisa dicapai jika semua hambatan dibenahi dengan sesegera mungkin."

Diharapkan, jika semua itu bisa dicapai, berkah dari minyak bisa ditingkatkan lagi. Tahun ini penerimaan dari minyak dan gas diperkirakan mencapai US$ 32,6 miliar atau Rp 273 triliun. Angka ini naik hampir 30 persen dibandingkan dengan tahun lalu, yang hanya Rp 230 triliun. Lonjakan penerimaan ini karena harga minyak berada di atas harga asumsi yang ditetapkan pemerintah. Saat ini harga minyak Indonesia (ICP) rata-rata US$ 111 per barel atau 16 persen di atas harga patokan pemerintah sebesar US$ 95.

Tapi, kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo, meski penerimaan minyak naik, pengeluaran pemerintah untuk subsidi juga melonjak. Dalam anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan, subsidi bahan bakar dipatok mencapai Rp 129 triliun, naik dari Rp 95,9 triliun pada APBN 2011. Angka ini pun diperkirakan masih akan naik lagi karena konsumsi minyak melonjak di atas angka APBN-P 2011.

Kenaikan subsidi itu sebetulnya bisa dikurangi jika pemerintah mau menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. "Ruang untuk menaikkan masih ada," kata Menteri Agus. Namun opsi ini tampaknya tak bakal dipilih pemerintah. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, pemerintah belum punya rencana menaikkan harga BBM bersubsidi. Karena tahun ini tinggal dua pekan, pemerintah sudah pasti tidak akan menaikkan harga BBM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus