Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sedikit Mendung, Tetap Optimistis

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANTANGAN akan menghadang Indonesia pada 2012. Tahun depan prospek perekonomian global tidak akan cerah, tapi juga mungkin tak terlalu buruk. Di Tahun Naga itu, krisis ekonomi Eropa dan resesi Amerika Serikat masih belum jelas arah pemulihannya. Harapannya tentu saja dampak krisis tahun depan tidak lebih dahsyat dibanding krisis keuangan empat tahun lalu—2008.

Indonesia memang punya pengalaman melewati berbagai krisis. Namun pemerintah tidak boleh lengah. Pemerintah harus tetap waspada seraya mempersiapkan diri serta melakukan sejumlah perbaikan struktural atas kebijakan fiskal (utang dan defisit anggaran), infrastruktur, sektor logistik, dan daya saing. Perlu kerja ekstra jika pemerintah ingin lolos dari krisis dan meraih pertumbuhan ekonomi tahun depan yang melebihi kinerja 2011. Pelaku bisnis juga harus bisa mencari peluang baru dan melakukan inovasi bila tidak ingin tersapu gelombang krisis dari Benua Biru dan Negeri Abang Sam.


Indonesia 2012:
Taman Surga dengan Sejumlah Syarat

Dunia pada 2012 tentu saja bukan taman firdaus. Tiga tahun lalu, krisis menghantam dunia, dimulai dari krisis di Amerika Serikat. Lehman Brothers—perusahaan sekuritas terkuat keempat di Amerika—kolaps dan dampaknya dengan cepat merembet ke seluruh dunia. Negeri Abang Sam kembali menjadi pemicu krisis global pada tahun ini. Awal Agustus lalu, perusahaan pemeringkat Standard & Poor’s menurunkan peringkat utang Amerika dari AAA menjadi AA+ dengan outlook negatif untuk pertama kalinya sejak 1917. Sejak itu, dunia kembali terantuk pada batu yang sama.

Senyum yang sempat menghiasi sejumlah negara mendadak hilang. Mereka baru sejenak menikmati pertumbuhan positif setelah minus pada 2009. Dana Moneter Internasional (IMF) pun memangkas pertumbuhan ekonomi pada 2011 dan 2012 menjadi hanya 4 persen. Sebelumnya, IMF sempat mematok angka 4,3 persen dan 4,5 persen. Padahal ekonomi dunia tahun lalu sempat tumbuh di atas 5 persen. Lembaga itu juga menyatakan bahwa saat ini ekonomi dunia menghadapi fase baru yang berbahaya. Ekonomi dunia kini mengalami pelemahan. Perekonomian Amerika terhenti akibat anjloknya permintaan swasta, dan Eropa mengalami turbulensi di sektor keuangan. Krisis kali ini agaknya juga lebih kompleks ketimbang pada 2008—waktu itu krisis berawal dari swasta, terus menjalar ke pemerintah. Ratusan miliar dolar dikucurkan pemerintah untuk membantu swasta. Namun bailout tersebut ternyata gagal merangsang geliat dunia usaha. Kini pemerintah negara-negara Eropa dan Amerika tak punya pilihan selain berpaling kepada rekan-rekan sesama anggota Uni Eropa. Namun tiap negara anggota tampaknya masih cenderung menomorsatukan kepentingan nasional, menomorduakan kepentingan komunitas.

Jerman, salah satu anggota Uni Eropa dengan performa ekonomi paling kuat, misalnya, menolak skenario pemberian dana talangan melalui bank sentral Eropa. Mereka lebih senang menggunakan dana talangan untuk membenahi masalah imigran dan pengangguran di dalam negeri ketimbang memberikan kepada para tetangga yang sedang dirundung malang. Akibatnya, Amerika, Uni Eropa, dan Kanada, juga Jepang, lumpuh. Negeri-negeri yang dulu dikenal sebagai safe haven kini nyaris tak bisa berbuat apa-apa.

Ekonom peraih Hadiah Nobel, Joseph E. Stiglitz, memandang perkembangan krisis ini merupakan tanda-tanda pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Dua jagoan Asia, Cina dan India, plus Rusia dan Brasil (BRIC) disebut-sebut sebagai calon kekuatan ekonomi dunia yang perlahan-lahan bakal menggeser posisi tiga serangkai kekuatan lama: Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Apakah Indonesia layak menggenapi kuartet negara maju baru itu menjadi lima? Ataukah Indonesia hanya bisa kembali “selamat” karena exposure kita di lembaga keuangan dunia yang sedikit?

Sayangnya, yang datang terlebih dulu adalah kabar buruk. Krisis di Uni Eropa dan Amerika telah mengakibatkan ekspor kita pada September 2011 ke dua kawasan itu anjlok cukup signifikan, yakni 23,8 persen. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding penurunan rata-rata ekspor nonmigas pada periode yang sama, yang hanya 6,24 persen. Banyak pihak meramalkan kondisi tahun depan akan lebih buruk, minimal sama dengan kondisi paruh kedua 2011. Kementerian Perindustrian, misalnya, meramalkan ekspor tekstil dan sepatu ke dua kawasan itu akan turun 20 persen pada 2012.

Menghadapi situasi seperti ini, tampaknya kita perlu berharap yang terbaik, sembari mempersiapkan diri mengatasi kemungkinan terburuk. Keberadaan sebuah landasan hukum mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan, yang akan memberi perlindungan dan arah jelas atas langkah-langkah yang bakal diambil, tentu sangat dibutuhkan. Dan, kalau sudah begini, tak ada lagi alasan bagi para politikus di gedung parlemen untuk menghambat atau menunda-nunda pengesahan undang-undang ini. Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan: tersedianya sistem jaring pengamanan sosial yang sewaktu-waktu siap diaktifkan untuk mengurangi beratnya beban masyarakat kelas bawah manakala terjadi gejolak ekonomi berkepanjangan.

Dunia pada 2012 sudah tentu bukan taman firdaus, tapi bayang-bayang akan keberhasilan negara yang berpopulasi besar boleh jadi membuat kita mengidentifikasikan diri dengan dua raksasa baru: Cina dan India. Dan, ketika kepercayaan terhadap Amerika Serikat dan Eropa berkurang, ada kemungkinan para investor akan mengalihkan pandangannya kepada negara dengan jumlah penduduk besar, seperti Indonesia. Namun apakah yang kita harapkan dari mereka? Jika yang datang sekadar investasi di pasar finansial (portfolio investment), hanya kalangan tertentu yang akan menikmati gain dari lonjakan semu yang setiap saat bisa langsung mengempis.

Indonesia jelas memerlukan investasi langsung yang dampaknya pada perekonomian Indonesia bersifat lebih fundamental. Namun laporan panjang majalah ini memperlihatkan masih banyak pekerjaan rumah—atau lebih tepat disebut penyakit menahun—yang harus diselesaikan. Infrastruktur masih jadi kendala besar untuk mengundang investor asing datang ke Indonesia. Pembangunan pembangkit listrik, jalan, pelabuhan, dan bandar udara berjalan bagai siput. Sampai medio 2011, realisasi pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap pertama baru 9,4 persen. Tambahan jalan tol baru selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hanyalah ruas Kanci-Pejagan dan Semarang-Ungaran. Pembangunan Bandara Kuala Namu, Medan, tak kunjung beres.

Belum lagi kita berbicara soal ekonomi biaya tinggi, yang ajek muncul sejak proses pengurusan perizinan sampai produk jadi dikirim ke pelabuhan. Ini adalah sejumlah contoh. Waktu untuk mendapatkan sambungan listrik di Indonesia sampai 108 hari, di Singapura hanya sepertiganya. Biaya logistik di Indonesia nyaris dua kali lipat di Malaysia. Sudah banyak pihak yang berteriak tentang berbagai soal ini, tapi tetap saja tidak ada perbaikan yang signifikan. Betapapun menariknya Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, investasi asing akan sulit datang jika berbagai persoalan tadi masih bertimbun seolah-olah tak tersentuh tangan-tangan pemerintah.


Tim Edisi Outlook Ekonomi 2012
Penanggung Jawab: Idrus F. Shahab Koordinator: Padjar Iswara Penyunting: Idrus F. Shahab, M. Taufiqurohman, Arif Zulkifli, Amarzan Loebis, Putu Setia, Budi Setyarso, L.R. Baskoro, Purwanto Setiadi, Nugroho Dewanto, Metta Dharmasaputra, Bina Bektiati, Padjar Iswara, Yandhrie Arvian Penulis: Padjar Iswara, Retno Sulistyowati, Agoeng Wijaya, Harun Mahbub, Bobby Chandra, Anton Aprianto, Nieke Indrietta, M. Nafi, Ali Nur Yasin, Efri Ritonga, Dewi Rina, Agus Supriyanto, Erwin Dariyanto, R.R. Ariyani, Fery Firmansyah Penyumbang Bahan: Nurochmi, Akbar Tri Kurniawan, Eka Utami, Martha Thertina, Jayadi Supriyadin, Wayan Agus Purnomo, Rosalina, Agung Sedayu, Arif Ardiansyah, Febriana Firdaus, Aditya Budiman, Fransisco Rosarians, Evana Dewi, Rosalina, Sutji Decilya, Evan Koesumah, Astri Pirantiwi, Danni Muhadiansyah (PDAT), Rofiqi Hasan (Bali), Nanang Sutisna (Subang), Joniansyah (Tangerang), Ahmad Fikri (Bandung), Arihta U. Surbakti (Bogor), Sohirin (Semarang) Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Sapto Nugroho Foto: Aryus Soekarno Desain: Ehwan Kurniawan, Kendra Paramita, Kiagus Auliansyah, Aji Yuliarto, Rizky Lazuardi, Tri Watno Widodo, Agus Darmawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus