Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh buah batu sebesar kepala yang tergantung bergerak menerjang ke segala penjuru. Ayunannya keras. Tatkala para aktor berkelit, ayunan itu selalu hanya beberapa inci dari tubuh mereka. Sedikit saja mereka lengah atau terlambat bereaksi, batu itu akan menghantam tubuh mereka. Batu itu bisa meremukkan kepala mereka.
Berkali-kali Merah Bolong Hitam Doblong disajikan Teater Payung Hitam, tapi tetap selalu mampu menjadi tontonan yang menegangkan. Apalagi pada Agustus tahun lalu di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta, saat Rachman Sabur sang sutradara menambah variasi dan bobot teror. Tiba-tiba dari atas jatuh guyuran hujan kerikil di sela-sela tubuh aktor, menimbulkan bunyi gemuruh luar biasa di lantai Teater Luwes yang berpapan kayu. Atau tatkala ayunan batu menghantam seng di bagian belakang menyuarakan bunyi dentang yang membuat ngilu. Juga ketika batu-batu digerojokkan dari lubang dinding seng.
Di Teater Luwes, malam itu Rachman Sabur menyajikan konflik terus-menerus antara batu dan tubuh aktor. Batu menjadi aktor sendiri yang hidup. Sama sekali tak ada musik kecuali bunyi hantaman ayunan batu, curahan batu dari atas, dan bunyi kemrosak batu di ember-ember yang digoyang-goyangkan para aktor. Dari menit pertama sampai terakhir, penonton tercekam. Penonton yang duduk di deretan pertama sampai ngeri. Seolah-olah batu-batu itu melayang ke arah mereka.
Bisa dibayangkan tatkala pada Desember tahun lalu Merah Bolong dipentaskan di Universitas Washington, Seattle, Amerika Serikat. Merah Bolong di sana diterjemahkan menjadi Red Emptiness. "Susah menerjemahkan kata Bolong yang dimaksud Rachman Sabur ke dalam bahasa Inggris, karena Bolong itu lebih dimaksudkan sebagai kekosongan," tulis sebuah ulasan dari Universitas Washington. Teater Payung Hitam di sana disebut Black Umbrella Theater. Dalam kesempatan itu, sesudah pertunjukan, Rachman Sabur melakukan diskusi panel dengan pemerhati teater Indonesia dari Amerika, antara lain Profesor Michael Bodden, Profesor Laurie Sears, dan Profesor Mark Jenkins.
Di Seattle, Merah Bolong hanya dimainkan oleh tiga pemain dari Bandung ditambah beberapa mahasiswa S-2 dan S-3 teater Universitas Washington. "Kami mencari batu di sana. Ambil dari sungai yang jaraknya dua kilometer dari kampus. Ember seng juga lebih mudah dicari di sana ketimbang di Jakarta. Kalau di Jakarta, ember kebanyakan dari plastik. Sewaktu pentas di IKJ, saya sampai harus memesan ember seng ke tukang," kata Sabur. Panggung di Seattle berbeda dengan di Teater Luwes. Posisi panggung di tengah. Rachman Sabur kemudian hanya menggantung sebuah batu. Tapi ukuran batu tersebut lebih besar daripada yang digunakan di Teater Luwes. "Batu tersebut gerakannya memutar dan melingkar-lingkar," ujar Sabur. Di lantai, ia tetap menebarkan batu-batu kecil. Ia juga tetap mempertahankan adegan gerojokan hujan kerikil dari atas.
Pertunjukan di Seattle itu dibantu oleh Otong Durahim, anggota lama Payung Hitam yang menetap dan berkeluarga di Seattle. Otong memanfaatkan pintu masuk di empat penjuru. Pertunjukan dimulai dengan para awak Payung Hitam mulanya menggedor-gedor pintu yang ditutup. Ketika pintu dibuka, mereka menggelontorkan batu-batu dari pintu. Batu-batu itu menggelinding ke arah panggung yang jaraknya dengan pintu sekitar 2-3 meter. Pintu kemudian ditutup lagi. "Untungnya, dari pintu ke arena pentas, lantainya menurun 20-25 derajat, sehingga batu bisa menggelinding mudah ke pentas," kata Sabur.
Sabur mengatakan ia tidak kesulitan beradaptasi dengan panggung berbeda. "Merah Bolong ini adalah lakon yang paling sering dimainkan, sangat fleksibel dan adaptif di semua ruang," ujarnya. Ukuran batu juga berbeda di setiap tempat. "Di Surabaya, kami pernah memainkan karya ini di hall yang luas. Kami menggantung batu-batu sebesar kerbau," tutur Sabur. Yang menarik, saat dipentaskan di Seattle, ada penonton Amerika yang pernah menonton Merah Bolong di Surabaya. "Dia bilang, 'Wah, berbeda, tapi tetap meneror'," kata Sabur.
Pentas di Seattle berlangsung dua malam berturut-turut. Ruangan dengan kapasitas 140-an orang penuh terus. Pihak penyelenggara tidak menyangka antusiasme penonton begitu besar. Saat pementasan, sama seperti pertunjukan sebelumnya di Teater Luwes IKJ, penonton juga merasa khawatir dan terteror oleh batu yang berputar itu. "Setiap kali batu terayun mendekat, tubuh mereka refleks bergerak seperti menghindari batu. Bahkan ada yang berteriak seperti kena hantaman, padahal tidak kena," kata Rachman Sabur. Jarak batu saat terayun dengan penonton memang begitu dekat. "Kami buat hanya sekitar 30 sentimeter. Saya memang ingin menggedor penonton," ujar Sabur.
Rachman Sabur mendirikan Teater Payung Hitam pada 1982. Melalui Payung Hitam, ia mengembangkan sebuah jenis teater tubuh atau physical theater. Konsep menggedor penonton diakuinya menyerap semangat Putu Wijaya. "Putu Wijaya mengajarkan sebuah pertunjukan itu bukan meninabobokkan atau memanjakan penonton, tapi meneror dan menyadarkan penonton. Teror bukan selalu berkonotasi negatif," ujar sutradara kelahiran Bandung, 12 September 1957, ini.
Sederet lakon yang digarap Rachman Sabur adalah Relief Air Mata, Blackmoon, Perahu Noah, Air Mata Air, Tubuh Tanah Air, Putih Bolong, Dzikir Bumi, Segera, Margin, Masbret, Merah Bolong, dan Kaspar. Dalam pertunjukannya, ia banyak mengeksplorasi material seperti batu, seng, besi, bambu, dan lumpur. Tapi eksperimentasi teror yang dia buat paling menemukan bentuknya dalam dua pertunjukan terakhir. Kaspar adalah naskah karya dramawan Jerman Peter Handke. Tatkala naskah ini hendak dipentaskan, banyak teman Sabur menganggapnya tak menarik.
Sabur merasa tertantang. Dia mendekonstruksi naskah yang aslinya setebal hampir 50 halaman itu menjadi 3 halaman. Ia lebih menyajikan roh naskah itu dalam bahasa tubuh dan gerak. "Saya mencoba menggarap teks sendiri dengan cara saya sendiri," ujarnya. Pertunjukan Kaspar menjadi salah satu pertunjukan teater di Indonesia yang fenomenal dan memunculkan aktor tangguh bernama Tony Broer. Pertunjukan itu minim kata-kata tapi sangat politis. Kaspar mampu mencerminkan bagaimana kekuasaan Orde Baru mengontrol semua pikiran dan tubuh warganya. Sampai gerak-gerak kecil warganya. "Saat itu 1994, masa pembredelan Tempo, Editor, dan Detik. Pas momennya. Saya semakin percaya pada 'teater politik' yang mengutamakan kekuatan tubuh," ujar Sabur.
Menurut Rachman Sabur, tubuh orang Indonesia berbeda dengan orang Barat. "Saya mengembangkan ketubuhan dari tradisi dan sosial yang berkembang di Indonesia, bukan dari konsep Barat yang individual," katanya. Ia juga tidak mengembangkan ketubuhan dari eksperimen tubuh sejumlah teater Asia, misalnya gerakan butoh dari Jepang. Pada akhir 1960-an, sejumlah seniman di Jepang, seperti Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata, melakukan pemberontakan tubuh. Mereka melawan ideal-ideal keindahan ekspresi tubuh yang menjadi standar balet Barat. Bagi mereka, ekspresi kesakitan pun bisa menampilkan estetika tubuh. Butoh merupakan suatu gerakan kesenian yang mengeksplorasi kesakitan dari dalam tubuh. "Tapi saya juga tak bertolak dari butoh," kata Sabur.
Saat latihan, sebagai sutradara, Rachman Sabur mengaku selalu intens melihat satu per satu cara tubuh pemainnya berinteraksi. Kadang ia merekam sikap keseharian mereka secara candid. Ia melakukan observasi dan riset serta berusaha mengeksplorasi kekuatan di dalam tubuh para pemain. Ia selalu ingin menambah kosakata dari tubuh para aktornya. Baginya, berekspresi dengan tubuh adalah untuk mengenal tubuh sendiri, tubuh orang lain, dan lingkungan sekitarnya.
Latihan fisik menjadi mutlak dalam Teater Payung Hitam. Juga latihan teknik untuk menghindari cedera atau bahaya saat pertunjukan. Rachman Sabur menuntut para pemain tahan banting, merasakan sakit, lelah, dan berkeringat. Biasanya mereka berlatih sedikitnya lima jam sekali pertemuan—pada malam hingga dinihari. Sebuah pementasan bisa disiapkan selama berbulan-bulan, bahkan pernah setahun. "Ada pemain yang dua-tiga kali latihan bisa muncul feel-nya. Tapi ada yang lama. Sampai harus di-stressing (ditekan) baru keluar."
Seperti dalam menyiapkan lakon Merah Bolong, para pemain harus rela kesakitan, kaki berdarah, tubuh lebam-lebam, benjol karena jatuh terpeleset batu atau kerikil yang terhampar di lantai, atau terserempet batu yang terayun-ayun di gantungan. Atau ketika menyiapkan pentas Tubuh Tanah Air, para pemain mesti rela kedinginan dalam kubangan lumpur. "Pengalaman sakit itu nyata, keluarnya tidak palsu, bukan trik," ujar Sabur, yang kini sedang mengambil gelar doktoralnya di Institut Seni Indonesia, Surakarta. Mengeksplorasi tubuh secara fisik, menurut Sabur, bukan berarti melupakan jiwa atau sukma. "Sama seperti teater dengan metode Stanislavski, ekspresi luar dari fisik itu merupakan cerminan ekspresi dari dalam jiwa."
Yang selalu juga menjadi perhatian Rachman Sabur adalah reaksi penonton. Ia memang sengaja menghadirkan suatu pertunjukan yang memperhitungkan reaksi penonton. "Kami ingin membangun dramatika bersama penonton. Penonton itu menjadi kekuatan dan bagian dari kami," tuturnya. Itulah kunci mengapa pentas Merah Bolong Hitam Doblong masih sangat menegangkan sekaligus memikat. Sebab, Sabur dalam dramaturginya mampu menyusun adegan demi adegan yang membuat miris penonton, bahkan membuat penonton sendiri, seperti di Seattle tadi, merasa terkena ayunan batu. Tanpa dialog apa pun, penonton merasa bahwa Sabur tengah membicarakan busuknya politik di negeri kita.
Bahwa masih banyak kekerasan di sekitar kita. Masih banyak ancaman di sekitar kita. Pada masa kecilnya, Sabur mengalami kekerasan negara. Pada 1960-an, bapaknya, R. Sabur Purawinata, yang bekerja di pabrik Philips dan menjadi ketua buruh, diambil aparat tanpa pengadilan dan dipenjara selama setahun. "Saya ingat, saat saya umur 6 tahun, malam-malam, rumah digedor. Bapak diciduk karena sebagai ketua buruh dianggap memiliki kekuatan massa," kata Sabur.
Pentas Merah Bolong yang makin bertambah matang dan kompleks variasinya ini yang mengantarkan Rachman Sabur dan Teater Payung Hitam menjadi tokoh Seni Pertunjukan Tempo 2015. "Jalan Merah Bolong masih panjang. Inspirasi batu bagi saya belum habis. Saya, misalnya, sekarang tengah meriset gua-gua di Pacitan. Hasilnya nanti bisa dikembangkan di Payung Hitam," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo