Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu per satu warga Yogyakarta itu memperkenalkan diri. Masih segar dalam ingatan, semua penonton yang memenuhi Taman Budaya Yogya, 31 Oktober 2015, terkekeh-kekeh menyaksikan pengakuan mereka yang apa adanya. Pertunjukan bertajuk 100% Yogyakarta tersebut sama sekali tak menggunakan aktor profesional. Mereka warga Yogya sehari-hari, dari tukang parkir, penggali kubur, preman, ibu rumah tangga, waria, ketua RT, guru, sampai ketua sebuah organisasi Islam yang dianggap bergaris keras.
Ini ide kelompok teater Jerman bernama Rimini Protokoll, yang berbasis di Berlin. Di berbagai kota di dunia, dari Paris, Wina, London, Melbourne, Oslo, Kopenhagen, Brussel, Amsterdam, sampai Tokyo, mereka mengumpulkan seratus orang warga setempat. Dan kepada warga ditanyakan berbagai isu aktual. Tingkat keberhasilan pertunjukan tergantung bagaimana mitra mereka di setiap kota di dunia itu bisa merumuskan pertanyaan yang tajam dan tanpa tedeng aling-aling. Dan di Yogya, Teater Garasi, yang menjadi mitra Rimini Protokoll, mampu menunaikan tugasnya dengan cerdas:
"Siapa yang setuju Yogya menggunakan undang-undang syariah?" Seratus warga Yogya itu kemudian memisah menjadi dua bagian. Mereka yang setuju bergabung di bagian yang memegang papan bertulisan "Saya". Mereka yang menolak berkumpul di kelompok seseorang yang menjunjung papan berkalimat "Bukan Saya". Hasilnya mengejutkan! Agak seimbang antara yang setuju dan tidak.
Pertanyaan-pertanyaan seterusnya lebih sensitif. Misalnya: Siapa yang setuju presiden memberi maaf kepada para mantan PKI? Siapa yang setuju keraton diperintah bukan anak sultan? Siapa setuju warga asing tak boleh bekerja di Yogya? Tentu saja seratus orang itu tidak bisa dianggap merepresentasikan seluruh Yogya, tapi mereka terlihat jujur sehingga seolah-olah memang sikap mereka mewakili benak warga kebanyakan. "Betul-betul ini pembelajaran politik melalui teater," kata rohaniwan Romo G. Budi Subanar, yang saat itu menonton.
Pembaca, pertunjukan 100% Yogyakarta itu merupakan salah satu pentas yang kami anggap menarik pada 2015. Sebagaimana tahun-tahun lalu, pada awal Januari kami selalu berusaha menengok perkembangan dunia seni dan sastra tahun sebelumnya. Kami memilih karya seni dan sastra yang kami anggap inovatif, menyegarkan, membuka kemungkinan-kemungkinan artistik. Untuk penjurian seni, sastra, dan musik pilihan Tempo 2015 ini, kami melibatkan kritikus sastra Zen Hae, pengamat sastra dan psikolog Bagus Takwin, kritikus seni rupa Hendro Wiyanto, pengamat seni pertunjukan Bambang Bujono, serta pengamat musik David Tarigan.
Untuk bidang seni pertunjukan, selain 100% Yogyakarta, yang ada dalam daftar nomine kami adalah karya Toni Prabowo, Gandari, yang disajikan pada 16 dan 17 Oktober di Frankfurt Lab—tempat pertunjukan alternatif di Frankfurt, Jerman. Banyak yang kagum pada pentas ini, terutama pada unsur artistiknya. "Tata cahayanya luar biasa," kata dramawan Riantiarno, saat ia menonton di Frankfurt. Desain pentas itu ditata oleh Jay Subiakto. Jay mengkombinasikan lampu yang "dikemudikan" penata cahaya Joonas Tikkanen asal Finlandia dan video mapping Taba Sanchabakhtiar. Dengan arahan Jay, lampu tidak sekadar menjadi dekorasi, tapi menjadi aktor kedua. Di lantai muncul permainan garis-garis genangan dan bercak-bercak lava merah yang memutar-mutar. Cahaya bahkan menjadi sap-sap mengejutkan yang bergerak menyapu dan membelah penonton.
Nomine lain adalah eksperimen Sardono W. Kusumo di bekas Pabrik Gula Colomadu di Solo, Jawa Tengah. Sardono mengumpulkan beberapa penari untuk mengeksplorasi mesin-mesin pabrik yang telah menjadi bangkai. Adalah terasa mencekam menyaksikan aktor Tony Broer, tanpa pengaman apa pun, naik ke ketinggian 25 meter langit-langit pabrik. Lalu ia meniti batang besi tua. Sekali tubuhnya goyang, jatuh, pasti ia tewas. Dari ketinggian itu, secara tak terduga ia mengguyurkan cat ke sebuah kain putih panjang bermeter-meter terjuntai ke bawah. Lelehannya membentuk sebuah lukisan abstrak. Terasa spektakuler. "Sayang, eksperimen ini bukan sebuah karya yang utuh," kata Bambang Bujono, salah satu juri.
Selain itu, kami mempertimbangkan pertunjukan Miroto, Simulacra, yang berusaha memunculkan sebuah tari digital. Juga pentas Lab Teater, Suluk Sungai, dengan sutradara Abdullah Wong pada 19 Desember 2015 di hutan kota Sangga Buana, Lebak Bulus, Jakarta. Ini sebuah pentas outdoor yang langka. Di dalam hutan kecil itu mereka menggali tanah sekitar 25 x 8 meter dan mengairi dengan air Sungai Pesanggrahan. Para aktor kemudian menceburkan diri ke kubangan lumpur. Juga pentas Teater Payung Hitam, Merah Bolong, di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta, 11-13 Agustus, dengan sutradara Rachman Sabur.
Yang selalu terjadi "debat panas" dari tahun ke tahun adalah penjurian sastra. Sepanjang 2015, kami melihat banyak kumpulan sajak kuat yang dihasilkan penyair muda. Sampai-sampai kami membutuhkan tiga kali pertemuan untuk menentukan lima besar kumpulan puisi. Akhirnya lima besar dapat kami pilih: Melihat Api Bekerja (M. Aan Mansyur), Harakah Haru (Iswadi Pratama), Dalam Lipatan Kain (Esha Tegar Putra), Teras Mardi (Mardi Luhung), dan Kematian Kecil Kartosoewirja (Triyanto Triwikromo).
Akan halnya lima besar prosa adalah Si Janggut Mengencingi Herucakra (A.S. Laksana), Puya ke Puya (Faisal Oddang), Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (Eka Kurniawan), Ine Pare (I.F. Rahardi), serta Kambing dan Hujan (Mahfud Ikhwan).
Setelah melalui debat panjang, untuk buku puisi, pilihan kami mengerucut menjadi dua kumpulan: Teras Mardi dan Kematian Kecil Kartosoewirjo. Kami membahas kekuatan dan kelemahan tiap buku. Dalam kumpulan sajaknya yang terbaru ini, Mardi Luhung tetap menampilkan diri sebagai seorang penyair yang menawarkan semacam "surealisme pesisir". Bahkan sureaslisme itu semakin pekat. Guru sebuah sekolah menengah atas di Gresik, Jawa Timur, itu banyak memanfaatkan metafora "dunia laut" untuk membentuk imaji aneh.
Aku ingat ketika kecil. Ketika di laut bertemu ubur-ubur. Ubur-ubur bening tanpa jantung, limpa, hati, dan usus. Hanya ada air, air, dan air yang mengisi ruang tubuhnya. Aku berpikir, alangkah eloknya jika tubuhku juga seperti itu. Dan alangkah eloknya jika aku dapat memasukkan ke tubuhku semua ikan yang ada di laut. Juga karang, koral, dan ganggangnya. Lalu ketika malam tiba, aku menyorot tubuhku dengan senter....
Sebagaimana sajak "Banjir Besar Kedua" di atas, banyak sajak Mardi yang membawa kita ke sebuah suasana "bawah sadar". Yang menjadi soal di beberapa sajak, awalnya ia mampu dengan mulus mengajak kita mengarungi perjalanannya. Tapi kemudian, di tengah, perjalanan itu makin "gelap" sehingga kita bisa tersesat. Menurut kami, Mardi Luhung seperti menumpahkan apa saja yang terkelebat dalam kepalanya. Suatu automatic writing. Andai ia lebih mengedit "luberan" kalimatnya, tentu sajaknya lebih menukik.
Akan halnya sajak-sajak Triyanto terasa lebih terasa solid dalam diksi dan kata-kata. Wartawan di sebuah surat kabar di Semarang ini mengangkat hari-hari terakhir Kartosoewirjo. Seperti kita ketahui, kisah penangkapan dan eksekusi mati tokoh Darul Islam itu sudah banyak diungkap di buku. Bahkan buku Hari Terakhir Kartosoewirjo yang dihimpun Fadli Zon menampilkan foto-foto eksklusif Kartosoewirjo menjelang dan sesudah ditembak. Majalah Tempo sendiri pernah membuat edisi khusus mengenai Kartosoewirjo. Kami mewawancarai kerabat Kartosoewirjo dan melakukan reportase ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu, tempat Karto dieksekusi mati. Tapi membaca sajak-sajak Triyanto yang segera terasa ia tidak menyajikan "laporan" atas riwayat sang imam. Ia mengabstraksikan suasana dan situasi seputar tiang gantungan menjadi sajak-sajak eksistensial:
Belum sampai juga kami di tiang penembakan itu. Seorang serdadu berbisik kepadaku, "Kalau kau yang diminta menembak aku, apa yang akan kau lakukan saat ini?"
Betapapun demikian, tidak serta-merta semua juri sepakat. "Saya tak setuju bila buku Triyanto menang. Alasan utama sosok Kartosoewirjo sama sekali tidak muncul di sajak-sajaknya," kata seorang juri, yang redaktur Tempo. "Sajaknya terlalu umum. Sajaknya menggambarkan situasi hukuman bagi semua orang. Coba kalau saja yang ditembak mati itu kita ganti dengan narapidana narkotik, bukankah itu juga cocok," ujarnya berapi-api. Sedangkan yang lain justru menganggap kekuatan Triyanto adalah sajak-sajaknya tidak jatuh menjadi biografi Karto. Sebab, yang demikian itu sudah disajikan oleh buku. Voting sampai dilakukan saat pemilihan. Dan akhirnya buku Triyanto terpilih.
Untuk novel, dibanding keempat nomine lain, kami sepakat memilih novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang. Faisal mengambil setting sebuah upacara penguburan di Toraja. Kami melihat Faisal tidak jatuh ke suatu eksotisme. Kekuatan novel ini, menurut kami, adalah khazanah dunia pemakaman Toraja dapat dimanfaatkan dengan baik oleh sastrawan belia itu menjadi sebuah permainan sudut pandang yang membuat struktur novelnya tidak linier. Novelnya, misalnya, dibuka dengan sebuah solilokui "seorang" arwah.
Novel Faisal Oddang ini sebetulnya adalah naskah pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Semula, sebelum dibukukan, istilah Toraja bertebaran di dalam novelnya. Salah satu godaan novel berbau antropologis memang adalah penggunaan istilah lokal. Novel Korrie Layun Rampan (almarhum) pada 1970-an, Upacara, yang penuh istilah Dayak, adalah contohnya. Tatkala novelnya diterbitkan, Faisal lalu banyak menghapus istilah Toraja itu. Hasilnya memang novelnya lebih lancar. "Dia berani memotong uraian-uraian di novelnya yang terlalu antropologis," kata seorang juri.
Yang cukup alot juga pemilihan tokoh seni rupa. Sepanjang 2015, kami melihat banyak pameran yang kuat: dari pameran instalasi sampai conceptual art. Di sini kami juga memasukkan performance dan pameran fotografi. Kriteria kami adalah pameran tunggal. Tak dimungkiri ada juga karya yang menarik, misalnya dalam Bienalle Yogya dan Bienalle Jakarta. Tapi, karena tergolong pameran bersama, itu tidak kami masukkan. "Karya instalasi bambu Joko Avianto, yang menutup fasad sebuah kafe di Frankfurt, meski menarik, tidak bisa dimasukkan karena itu bukan pameran tunggal," ujar seorang juri.
Meski rata-rata pameran ini sudah kami tonton, untuk penjurian ini, kembali kami bersama-sama mengamati foto atau materi video pameran atau performance yang menjadi nomine kami. Lima besar pameran yang kami pilih antara lain pameran instalasi Octora Chan, "On the Edge of Awareness", di Galeri Canna; pameran instalasi Eko Nugroho, "Anomali", di Galeri Salihara; pameran instalasi batu Sunaryo, "Wot Batu", di Bandung; pameran foto Davy Linggar, "Film", di The Papilion, Kemang, Jakarta; dan performance Melati Suryodarmo, I'm a Ghost in My Own House, di Singapore Art Museum.
Gagasan nakal tampak dalam ekshibisi Davy Linggar. Di The Papilion, Kemang, Davy menampilkan seri pemotretan studio-studio perupa Indonesia. Davy membawa sebuah manekin perempuan seksi yang hanya mengenakan lingerie. Manekin itu seolah-olah kolektor yang mengunjungi studio para seniman. Manekin itu oleh Davy diberi nama Tante Jacky. Sang tante terlihat berdiri di depan, misalnya, perupa Ugo Untoro atau Agus Suwage. Karya Davy terasa menyegarkan tatkala dunia fotografi terlalu didominasi oleh fotografer jurnalisme.
Sedangkan pameran "Wot Batu" Sunaryo tak dimungkiri sebuah pameran "raksasa". Sunaryo membuat sebuah taman batu. Di situ dia menghidangkan berbagai instalasi batu dengan suasana lanskap yang berbeda-beda. Kita bisa melihat ada karya berbentuk susunan batu megalitik seperti Stonehenge di Inggris atau karya berpola lingkaran-lingkaran batu kecil di tanah seperti di taman-taman Zen di Jepang. Taman ini dibuka Sunaryo untuk publik. "Karya Sunaryo sangat serius. Tapi banyak idiom batunya sudah sering kita lihat. Dan, bagi saya, sedikit turistik," kata Bambang Bujono.
Pilihan tokoh seni rupa akhirnya kami berikan kepada Melati Suryodarmo. Melati sekarang bisa disebut salah satu seniman Indonesia yang paling sering lalu-lalang di festival internasional. Dia diterima baik di pergaulan festival seni rupa maupun festival tari dunia. Melati hidup di Solo dan Jerman. Dia berjasa secara terus-menerus memperkenalkan performance art. Performance art adalah sebuah kawasan seni yang sampai sekarang masih susah dimengerti. Performance art bukan teater atau tari.
"Selama ini kebanyakan performance art di Indonesia selalu jatuh ke idiom-idiom teater atau tari. Sedangkan Melati tidak. Melati bisa menyuguhkan ke kita performance art sebuah disiplin tersendiri yang bertolak dari riset," kata Bambang Bujono. Hendro Wiyanto melihat ciri utama dari karya putri Suprapto Suryodarmo—tokoh gerak meditasi pendiri Padepokan Lemah Putih di Solo, Jawa Tengah—ini adalah repetisi dan endurance. Performance Melati kerap berupa sesuatu yang sama yang diulangnya berkali-kali selama berjam-jam. Karyanya menunjukkan ketahanan. "Bayangkan, saat mementaskan karyanya, I'm a Ghost in My Own House, dia menggilas arang tak habis-habisnya selama delapan jam," ujar Hendro. Dalam sebuah pameran di Venesia, pernah Melati menggantungkan badannya di ketinggian juga selama berjam-jam. Atau di sebuah pantai di Yogya, badannya ditumpuk oleh kasur-kasur bagai sandwich.
Sebagai tambahan poin, Melati kami lihat gigih secara pribadi tanpa bantuan pemerintah menyelenggarakan sebuah festival performance art internasional di rumahnya di kawasan Plesungan, Solo. Dia mengundang berbagai performer dari Eropa Timur sampai Myanmar. Mereka diminta memberi kelas, ceramah, dan workshop. Pada November tahun lalu, festivalnya telah memasuki usia kesembilan. Usia yang cukup panjang bagi sebuah festival "ajaib". Sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh kampus seni.
Adapun untuk seni pertunjukan, kami memilih pentas Merah Bolong karya Rachman Sabur dari Teater Payung Hitam. Ia bersaing ketat dengan Teater Garasi. "Pertimbangannya pementasan 100% Yogyakarta bukan gagasan murni Teater Garasi, tapi ide Rimini Protokoll," kata seorang juri. Merah Bolong adalah karya lama Rachman Sabur. Tapi pertunjukan di Teater Luwes itu penuh variasi baru. Bukan hanya ayunan dan sambaran batu yang bila menghantam kepala aktor pasti akan meretakkannya, tapi juga hujan batu dari atas. Juga gerojokan batu yang menghantam seng dan menghasilkan suara bising. Batu menjadi sumber ancaman luar biasa. Bahkan beberapa penonton di bagian depan sampai spontan mengelakkan tubuhnya tatkala batu itu mengayun ke arah mereka , meskipun jarak mereka dengan batu masih relatif jauh. "Terasa ayunan itu sampai ke kita," kata rohaniwan Mudji Sutrisno, SJ, yang saat itu menonton di bagian terdepan.
Rachman Sabur boleh disebut konsisten mengembangkan jenis physical theater. "Putu Wijaya dalam karyanya seperti Lho, Tai, yang tanpa naskah, memang mengembangkan semacam teater tubuh. Tapi memang pada Rachman Sabur kita melihat teater tubuh mencapai puncaknya," ujar Bambang Bujono. Kami sendiri menganggap karya Merah Bolong ini sangat memberi pengaruh di jagat perteateran kita. Banyak teater lain setelah melihat pentas ini kemudian mengembangkan ayunan tersebut. Misalnya batu diganti dengan kendi atau gerabah.
Adapun lima besar album musik pilihan kami adalah Haai (Kelompok Penerbang Roket), Taifun (Barasuara), My Favorite Things (Joey Alexander), Dosa, Kota, dan Kenangan (Silampukau), serta Sinestesia (Efek Rumah Kaca). Kami memilih Sinestesia sebagai album musik terbaik 2015. "Dalam album Sinestesia, Efek Rumah Kaca memadukan indie rock 1990-an khas mereka dengan sensibilitas prog rock 1970-an. Album ini terasa seperti pertunjukan musikal. Bagian-bagian komposisi yang terbangun seperti layaknya sebuah suita yang penuh petualangan," kata David Tarigan.
Pembaca, inilah tokoh dan karya seni pilihan kami sepanjang 2015.
Tim Liputan Khusus Tokoh Seni Pilihan Tempo 2015 Penanggung jawab: Seno Joko Suyono | Kepala proyek: Nurdin Kalim, Kurniawan | Tim pemilih: Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori, Idrus F. Shahab, Yos Rizal Suriaji, Kurniawan, Nurdin Kalim, Ananda Badudu, Bambang Bujono, Hendro Wiyanto, Bagus Takwin, Zen Hae, David Tarigan | Penulis: Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Kurniawan, Dian Yuliastuti, Ananda Badudu, Hendro Wiyanto, Zen Hae | Penyunting: Seno Joko Suyono, Yos Rizal Suriaji, Tulus Wijanarko | Penyumbang bahan: Kurniawan, Ananda Badudu, Anwar Siswadi (Bandung), Irmawati (Makassar) | Riset: Danni Muhadiansyah, Evan Koesumah | Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian | Foto: Ijar Karim, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih, Aditia Noviansyah, Wahyu Rizal Hermanuaji, Aditya Herlambang Putra, Kink Kusuma Rein, Budi Purwanto, Pius Erlangga | Desain: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Gatot Pandego, Kendra H. Paramita, Tri Watno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo