Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Mentega sampai Arang

Melati adalah seniman yang gigih memperjuangkan performance art. Karya performance-nya, I'm a Ghost in My Own House, tahun lalu mendapat tempat terhormat di tiga festival luar negeri. Karya ini unik. Bertumpu pada daya tahan tubuh. Tapi juga terasa reflektif.

11 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masih ingat bagaimana pertama kali Melati Suryodarmo muncul ke publik seni Indonesia setelah sekian lama bermukim di Jerman? Ketika itu tahun 2005. Di Goethe-Institut Jakarta, ia menyajikan karya bertajuk Exergie-Butter. Kita melihat di atas panggung berlantai kayu Goethe-Institut ada lingkaran mentega kuning.

Melati masuk ke panggung dengan tenang. Ia membungkus tubuhnya yang gempal dengan rok mini ketat warna hitam. Ia mengenakan sepatu tumit tinggi merah menyala. Ia lalu melangkah dan berdiri di atas lingkaran mentega yang licin itu. Tubuh gempal Melati langsung terpeleset. Melati jatuh, mencoba berdiri dan menggerakkan tubuhnya sebelum terpeleset, tapi ia terpuntir lagi. Ia "menari" di atas bongkahan-bongkahan mentega. Tapi senantiasa terguling, terpelintir, tersungkur. Roboh, ia bangkit lagi.

Dan jatuh-bangun itulah pertunjukan Melati. Suara gedebukan yang terdengar beratus kali di atas panggung temaram mengisyaratkan bahwa Melati tidak berpura-pura jatuh. Ia tak bisa sepenuhnya mengontrol tubuhnya sendiri. Mentega yang penyet berserakan di sekitar aksinya, seperti tahi yang kuning dan lembek. Properti panggung terasa ajaib. Berkali-kali terdengar suara tertahan dari kursi penonton karena jeda kejatuhan makin singkat dan posisi jatuh sang seniman makin tidak keruan.

Karya Melati Suryodarmo membuka babak baru dalam dunia seni rupa dan performance di Indonesia. Melati memperkenalkan konsep endurance dan repetisi dalam dunia performance . Dan pada 2015, karyanya, I'm a Ghost in My Own House, menyajikan endurance yang lebih gila lagi. Ia seorang diri melakukan performance menggilas arang dengan waktu kurang-lebih delapan jam. Sampai penampakan dirinya kotor, hitam karena arang. Sepanjang 2015, ia diundang untuk menyajikan performance-nya di tiga festival luar negeri, yakni di Singapore Art Museum (21 Januari), FANTasia, Seoul Museum of Art, Korea Selatan (29 Oktober), dan pada pembukaan Asia-Pacific Triennale, Queensland Gallery of Modern art (QAGOMA), Brisbane, Australia, 21 November.

I'm a Ghost in My Own House bertolak dari narasi-narasi personal dalam krisis kehidupan rumah tangga Melati yang dilakoni selama bertahun-tahun. Pada 2012, karya ini ditampilkan di Lawangwangi Creative Space, Bandung. Kala itu lantai ruang pameran Lawangwangi penuh dengan timbunan arang. Lalu Melati selama kurang-lebih 12 jam di situ menggerus arang menjadi debu di atas batu gilasan. Debu arang sampai mengubah seluruh wajahnya menghitam. Gaun putih panjang yang dikenakan penuh bercak arang sampai berubah warna menjadi kelabu. Sosok Melati sendiri babak-belur. Di antara timbunan ratusan kilogram arang, ia seolah-olah berubah bentuk menjadi bayangan gelap di antara udara dan dinding berdebu. Ia seperti sosok hantu di dalam rumahnya sendiri.

Melati, dalam penampilannya di Singapura, Korea Selatan, dan Australia tahun lalu, mengatakan arang baginya mengandung berbagai metafora. Arang sendiri adalah sumber energi. Ia adalah bahan untuk pemanas yang kemudian hancur mengalami transformasi menjadi debu. Di performance itu, Melati tidak membakar arang untuk menjadikannya debu, tapi menggilasnya sendiri arang yang memenuhi ruang satu per satu.

Melati melihat arang merupakan akhir dari kondisi-energi yang lama untuk melahirkan keseimbangan baru. Melati memungut istilah khazanah termodinamika: exergie atau exergy. Dalam termodinamika dikenal "ketika tenaga cadangan dan sistemnya mencapai keseimbangan, exergie-nya akan mencapai titik nol". Debu, menurut Melati, adalah titik nol, metafora untuk situasi penciptaan atau kelahiran energi baru yang diinginkan oleh Melati.

"Proses arang bisa mewakili pikiran dan kejiwaan saya yang ter-arangkan oleh sebuah sistem dan peristiwa-peristiwa pribadi saya. Arang memiliki potensi untuk mengubah dan menghancurkan," tuturnya.

* * * *

Melati Suryodarmo, perempuan yang memiliki bermacam gagasan radikal itu, dilahirkan di Solo pada 1969. Ia lulus dari Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran, Bandung (1993). Ia kemudian memutuskan memilih jalur seni rupa setelah tiba di Jerman, belajar seni performance dan seni patung di bawah Anzu Furukawa dan Marina Abramovic—tokoh performance dunia yang dikenal sebagai "grandmother of performance" di Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman (1994-2001).

Di bawah kedua tokoh itulah Melati terutama menyerap kepekaan akan estetika ruang dan bahasa performance. Ia kemudian melanjutkan program postgraduate di universitas yang sama dan belajar lagi pada Marina. Karya-karya performance-nya sudah dipertunjukkan di berbagai festival internasional sejak 2000. Pada 2005, misalnya, Melati berkolaborasi dengan sang guru, Marina Abramovic, dalam acara retrospektif karya-karya Egon Schiele, the SHELF, di Museum Van Gogh, Amsterdam, Belanda.

Bagaimana kita memahami performance Melati yang seolah-olah menyakiti diri sendiri itu? Jatuh-bangun di atas mentega membuat Melati lebam-lebam. Berjam-jam menggilas arang membuatnya kumuh dan terkuras energinya. Menurut pengamat seni rupa Hendro Wiyanto, pendekatan liminal yang pernah digambarkan oleh Erika Fischer-Lichte—guru besar kajian teater di Universitas Freie, Berlin, Jerman—cukup cocok untuk memahami sepak terjang Melati.

Erika menyatakan seorang performer sering menempatkan tubuhnya sendiri untuk mengalami situasi "antara" di luar kebiasaan sehari-hari yang telah rutin atau jumud. Mereka mencoba melakukan hal-hal yang melampaui keterbatasan tubuhnya sendiri. Mereka mau mentransfer tubuh ke dalam situasi in-between atau kondisi ambang (a state of liminality). Dan mereka melakukan dengan sadar. Salah satu tetandanya, mereka tak akan menampakkan misalnya ekspresi rasa sakit yang dipicu oleh kondisi tertentu di dalam tubuh. Dalam Exergie-Butter Dance itu, misalnya, Melati malah menunjukkan senyumnya setelah jatuh gedebukan.

Di samping menampilkan I'm a Ghost in My Own House, tahun lalu Melati mengelilingkan karyanya, Sisyphus, ke Frankfurt, Jerman, dan Antwerp, Belgia. Proses latihan karya ini juga menarik. Dengan bantuan seorang kiai, ia memasukkan "dunia lain" ke kesadaran para pemainnya. Melati membiarkan para pemainnya terbawa dan bergerak spontan. Sang kiai menjaga agar gerak-gerak itu tak liar dan kebablasan. Ingatan-ingatan bagaimana berada dalam situasi ambang itu yang kemudian disajikan dalam Sisyphus. Latihan-latihan dengan menjadikan tubuh sendiri eksperimen demikian adalah bagian dari konsep performance Melati yang cukup berani.

Melati pernah mengatakan bahwa baginya tidak masuk akal berbicara mengenai politik, masyarakat, atau (kondisi) psikologis jika kita tak mengenal keintiman jaringan saraf kita sendiri. Kebiasaan sehari-hari yang dibentuk sistem politik dan sosial telah mendarah daging masuk ke diri kita. Karena itu, seorang performer selalu berusaha membongkar diri sendiri.

Untuk menyebarluaskan virus performance di Indonesia, semenjak 2007 Melati menggagas proyek PALA (Performance Art Laboratory Project). Ia kemudian secara tahunan menyelenggarakan festival performance yang ia beri nama Undisclosed Territory—yang mengandaikan dunia performance masih dunia yang amat terbuka untuk dijelajahi. Mula-mula festival ini dilakukan di Padepokan Lemah Putih Solo, Jawa Tengah, milik ayah Melati, tokoh meditasi gerak Suprapto Suryodarmo, dan kemudian di studionya sendiri di Plesungan, Karanganyar, Solo. Ia mengundang para pelaku performance dari berbagai belahan dunia. Pada 2016, festival internasional ini memasuki seri kesepuluh.

Dengan sadar Melati membuka jalan bagi bahasa baru dalam ranah seni kontemporer Indonesia. Performance awalnya adalah seni yang dicetuskan oleh para seniman avant-garde di Eropa dan Amerika Serikat setelah Perang Dunia II, sebagai persilangan antara ragam seni pertunjukan dan wacana seni rupa. Performance adalah pemberontakan terhadap kebekuan-kebekuan dalam seni dan hidup sendiri yang terlalu dikuasai unsur politik dan ekonomi. "Di Indonesia, kita masih kekurangan infrastruktur untuk belajar performance art. Saya khawatir performance art berhenti pada sejarah Eropa. Maka saya membuat festival ini," tuturnya suatu kali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus