Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini kisah kematian. Dimulai dengan kematian seseorang diakhiri dengan kematianmu. Iya, kematianmu. Tidak usah terkejut," Faisal Oddang membuka kisahnya dalam novel perdananya, Puya ke Puya. Kematian menjadi kerangka seluruh narasi dan pengikat subplot-subplot di sekujur novel sepanjang 218 halaman ini.
Namun kematian di sini tak digambarkan sebagai ketakutan, kecemasan. Faisal meletakkannya dengan latar masyarakat Toraja, yang memandang kematian sebagai sesuatu yang akrab. "Kebanyakan orang Toraja merayakannya sekarib masa lalu kepada kenangan," tulis Faisal.
Dalam pandangan mereka, orang yang meninggal akan masuk ke alam roh dan berjalan menuju puya, alam tempat menemui Tuhan. Untuk mengantar sampai ke puya, keluarga dan kerabatnya akan menggelar rambu solo, upacara penyempurnaan kematian yang ditandai dengan pesta dan penyembelihan hewan-hewan kurban. Upacara itu sangatlah mahal dan Allu Ralla, pemuda yang masih kuliah di Makassar, tak sanggup menggelarnya ketika ayahnya, Rante Ralla, meninggal.
Selama upacara belum digelar, orang yang meninggal dianggap sedang sakit, sehingga jasadnya dibaringkan di tempat tidur dan selalu dihidangkan makanan, minuman, rokok, dan bahkan tetap diajak bercakap-cakap, meski komunikasi itu tak pernah sungguh-sungguh tersambung. Di satu bagian, kita akan menemukan bagaimana arwah Rante "bercakap-cakap" dengan istrinya, yang rajin menyajikan hidangan.
Allu memutuskan menguburkannya di Makassar. Keputusan ini dianggap tak menghormati keluarga besar Rante yang keturunan bangsawan dan adat Toraja. Yang paling marah adalah Marthen Ralla, paman Allu. Faisal menjadikan konflik ini sebagai pangkal dari berbagai ketegangan yang terjadi di bab-bab berikutnya.
Ketegangan makin keras ketika muncul perkara kedua: sebuah perusahaan pertambangan nikel ingin membeli tanah leluhur Allu di Kampung Kete' untuk mempermudah akses ke pertambangan. Mr. Berth, bule pemilik pertambangan, berkolusi dengan Suroso Abdullah, kepala desa di kampung itu, untuk membujuk Alla melepas tanahnya. Rante dulu menolaknya dan kini Allu pun menolaknya, tapi Marthen ingin menerimanya agar uangnya dapat dipakai untuk rambu solo bagi Rante. Konflik ini pecah menjadi kerusuhan berdarah.
Struktur Puya ke Puya unik. Alurnya bolak-balik ke masa lalu dan masa kini serta pergantian orang pertama dan narator secara cepat dan langsung tanpa perantara. Pergantian itu ditandai Faisal dalam bentuk semacam catatan kaki. Ketika orang pertama, misalkan Allu, menyebut satu nama, misalkan Rante, lalu peran orang pertama beralih ke Rante. Ketika Rante menyebut Maria, lalu peran orang pertama beralih ke Maria, begitu seterusnya. Pergantian itu tak menjadikan novel ini rumit, malah sebaliknya membuat cerita semakin jelas dan lincah.
Faisal menampilkan pertentangan antara nurani dan keinginan untuk bergerak ke depan melampaui masa lalu dan masa kini. Konflik adat dan konflik agraria, pertentangan adat dan modernitas, negeri leluhur yang suci dengan negeri manusia serakah, kampung yang penuh tradisi dan usaha perubahan yang didorong ambisi manusia, serta cinta dan kesetiaan dijalin secara padu. Pembaca dibawa keluar-masuk berbagai lapis alam nyata, alam arwah, dan alam akhirat secara realistik. Ia menawarkan sebuah alternatif untuk memahami kebudayaan dari sudut pandang orang Toraja yang menjalani kehidupan di masyarakat yang menuntut individu bergerak cepat mengikuti arus dunia.
Allu Ralla dan Faisal Oddang adalah dua pemuda yang sama-sama mahasiswa sastra. Faisal memulai pendidikannya di Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin pada 2012. Pria kelahiran 18 September 1994 ini adalah lelaki yang besar dalam lingkungan budaya tradisional Bugis di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. "Tokoh Allu mewakili suara-suara saya, tapi tidak mewakili diri saya," kata Faisal, akhir Desember tahun lalu, di sebuah warung kopi di kawasan Tamalanrea, Makassar.
Faisal dibesarkan dengan dongeng, dari La Galigo hingga Abu Nawas, yang dituturkan ayahnya, Oddang Ranreng. Faisal lantas mengisahkan kembali dongeng-dongeng itu kepada Nursana, perempuan penjaga warung di sebelah rumahnya, sehingga dia dihadiahi makanan ringan setiap kali selesai bercerita.
Faisal juga tumbuh bersama novel-novel Fredy S. dan Abdullah Harahap. Fredy adalah pengarang novel-novel "picisan" yang berisi percintaan dan selipan adegan erotis. Abdullah dikenal sebagai pengarang cerita horor yang juga menyelipkan adegan erotis di sana-sini. Faisal mengaku menyukai tulisan Fredy karena bahasanya "nyastra". Bahkan mereka pula yang mengilhami Faisal untuk menyisipkan adegan erotis di Puya ke Puya. "Menulis adegan erotis itu menjadi tempat untuk istirahat," kata Faisal, yang senang menulis di kafe atau warung kopi karena selalu tersedia kopi dan memaksanya tidak mudah tertidur.
Faisal sebetulnya sudah tertarik belajar tentang budaya tradisional sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Salah satunya melahirkan cerita pendek "Jangan Tanyakan tentang Mereka yang Memotong Lidahku", yang menjadi pemenang utama The ASEAN Young Writers Award 2014. Cerpen berlatar peristiwa 1965 ini berkisah tentang bissu, pendeta Bugis, yang punya kepercayaan lain tentang Tuhan, sehingga dituduh sebagai antek komunis.
Ketika mulai kuliah, barulah ia tertarik pada budaya Toraja, khususnya tentang konsep ketuhanannya, ritual-ritual yang berkaitan dengan kematian, dan semangat gotong-royong masyarakat Toraja. Dari penjelajahannya ini telah lahir sedikitnya 20 puisi dan lima cerpen, termasuk cerpen "Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon", yang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas pada 2014.
Puya ke Puya lahir dari riset. Faisal belajar dan meneliti budaya Toraja selama setahun, tiga kali ke Toraja, dan membaca sejumlah buku tentang Toraja, termasuk Ayah Anak Beda Warna! - Anak Toraja Kota Menggugat, buku karya Reno Saroengallo tentang masalah adat Toraja di masa modern. Ketika risetnya dirasa cukup, barulah lahir Puya ke Puya, yang manuskripnya menjadi salah satu pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014.
Namun manuskrip itu masih penuh bahasa lokal Toraja dan belum matang dalam karakter. Setelah penyuntingan di sana-sini, novel itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia dalam bentuk yang lebih rapi: tokoh Maria Ralla dihadirkan dengan bahasa anak-anak karena meninggal sejak bayi, Allu Ralla hadir dengan penggambaran sosok idealis seorang mahasiswa, dan Rante Ralla dalam bahasa bijaksana, mengingat posisinya sebagai tetua adat di Kampung Kete'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo