Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara azan magrib lewat halo-halo memecah suwung. Langit jingga, rintik hujan baru saja usai ketika lampu-lampu di-nyalakan. Sekumpulan lelaki bersarung dan perempuan bermuke-na bergegas ke masjid. Setelah salat, de-ngung tadarus segera terdengar.
Meski terletak di selatan Denpasar, jantung Pulau Bali yang mayoritas beragama Hindu, Banjar Kepaon seperti perkampungan santri. Masjid tumbuh di sudut kampung, sekolah Islam dan taman bacaan Al-Quran merebak di kampung dengan 355 kepala keluarga ini.
Islam adalah napas Kepaon. Tak salah jika kampung ini kerap disebut sebagai enclave muslim di Denpa-sar. Menurut Haji Ibrahim, 62 tahun, se-sepuh Kepaon, Islam masuk ke banjar ini pada abad ke-15.
Kala itu, kawasan Denpasar masuk wilayah Kerajaan Badung. Lantaran ingin mengembangkan wilayah, Raja Badung, Tjokorda Ngoerah Gede Pemetjoetan, mengundang ahli tata negara, Raden Mas Sastrodiningrat, dari Blambangan, Jawa Timur.
Lantaran jasanya, Sastrodining-rat yang muslim dinikahkan dengan anak perempuan raja, Anak Agung Mas Manik Dewi. Tidak hanya itu, Sastrodiningrat juga dihadiahi sehampar hutan—dalam bahasa Bali ke-rap disebut kebon. Pergeseran penye-butan ”kebon” di lidah orang Bali inilah yang akhirnya menjelma menjadi ”Kepaon”. Hingga kini, kawasan itu disebut sebagai Kampung Kepaon.
Dari perkawinan ini—ditambah para pengikut Manik Dewi yang ikut memeluk Islam—generasi pertama Islam di Badung tumbuh. Karena sejarah inilah muslim di Kepaon diterima sebagai menyama braya—menjadi saudara—dalam konsep Hindu. ”Kami berdarah sama meski berbeda agama,” kata Ibrahim.
Tak mengherankan, meski pada Hari Raya Nyepi—saat umat Hindu mengharamkan suara—warga Ke-paon diperkenankan menguman-dangkan azan lewat pengeras suara. Idul Fitri disebut ”Galungan Selam”—galungan adalah hari raya Hindu, Selam adalah sebutan orang Bali untuk Islam. ”Arti-nya, Islam sudah menjadi bagian tak terpisah dari warga Bali,” kata -Ibrahim.
MIRIP Kepaon, Kampung Loloan Barat, 125 kilometer sebelah utara Denpasar, juga menjadi wilayah muslim. Di kampung ini tak terasa nuansa Bali: tidak ada pura, tak ada sesaji dan bau dupa. Di kampung yang terletak di Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, ini dulu berdiri pesantren tertua di Bali: Pondok Pesantren -Syamsul Huda. ”Pesantren ini diba-ngun pada 1935,” kata Habib Muhammad, 50 tahun, pengasuh Pondok Pesantren -Syamsul Huda.
Masa keemasan pesantren ini berkibar pada 1940 di bawah pimpinan KH Ali Bafaqih. Saat itu, kata Muhammad, terdapat 1.000 santri yang terdaftar yang berasal dari Bali, Lombok, dan Jawa. ”Kampung ini menjadi percontohan perkampungan muslim di Lombok,” kata Muhammad.
Kini, kebesaran pesantren Syamsul Huda mulai surut seiring berkurangnya jumlah santri. Kini, ”Santrinya tinggal 25 orang,” kata Muhammad. Meski begitu, pengaruh pesantren ini masih terasa. Penduduk Loloan Barat yang berjumlah 3.482 jiwa—95 persen di antaranya beragama Islam—meng-anggap pesantren ini sebagai ”kiblat” laku agama. Apalagi, saban hari raya, pesantren ini berubah menjadi pusat kegiatan.
Sepanjang berdirinya pesantren selama 71 tahun, umat muslim di Loloan Barat dan masyarakat Hindu di Jembrana tidak pernah bertengkar. ”Beda agama tidak pernah mengganggu hubungan sosial kami,” kata Nyoman Arya.
Arya, 40 tahun, adalah warga Jembrana yang mendirikan panti asuhan Hindu di sekitar kampung Loloan. Katanya, ia banyak mengadopsi gaya pendidikan pesantren Syamsul Huda untuk panti asuhannya. ”Belajar kan bisa dari mana saja,” kata Arya pelan.
Tapak Islam di Bali juga dapat dijumpai di Singaraja. Masyarakat Islam yang terletak di utara Pulau Bali ini datang dari mana-mana: Kajanan, Sasak, Madura, dan Bugis. Hubungan Islam dan Hindu telah berkait-kelindan sejak Kerajaan Buleleng muncul pada abad ke-16.
Bahkan masjid terbesar di Singaraja, Masjid Agung Jamik, dibangun di atas tanah hibah Raja Buleleng. ”Bahkan pintu masuk masjid juga hibah raja,” kata Achmad Muchlis Sanusi, 53 tahun.
Kata Lurah Kampung Bugis ini, Islam masuk Singaraja lewat perdagang-an. Pelabuhan terbuka Buleleng memang menjadi nadi Singaraja. Sejak masa kolonial pelabuhan ini ramai dijamah kapal, terutama dari Indonesia timur. ”Orang Bugis-lah yang pertama singgah,” ia menjelaskan. Penyebar-an Islam di Buleleng umumnya memang dilakukan oleh orang Bugis.
Tapi keharmonisan beragama di Ba-li koyak oleh bom Bali pada 2002. Ra-tusan nyawa melayang dan sentimen negatif terhadap agama Islam lahir. Kampung-kampung Islam yang ter-serak di Bali dipantau dan gerak-gerik warganya dipelototi. Setidaknya, inilah yang dirasakan warga Kepaon.
Setelah tragedi itu, sejumlah pihak me-nuding warga Banjar Kepaon terli-bat aksi pengeboman. Alasannya, Ke-paon adalah kawasan muslim terbesar se-kaligus terdekat ke lokasi kejadian. Apa-lagi, para pelaku bom Bali mayo-ri-tas muslim. ”Pasca-bom Bali, kami me-rasa menjadi tertuduh,” kata Haji Ibrahim.
Banyaknya isu yang berseliweran setelah kejadian itu membuat warga Kepaon ciut. Apalagi muncul desas-desus seorang pelaku pengeboman sempat tinggal di Kepaon. Keadaan memburuk setelah aparat melakukan penggeledahan di sana. Untunglah kejadian ini tak berlarut. Raja Denpasar Tjokorda Pemetjoetan menjamin bahwa warga Kepaon tak terlibat.
Saat terjadi bom Bali II pada 2004, umat Islam di Kepaon kembali me-nuai tudingan. Kali ini lantaran dicurigainya sebuah mobil jenis Carry merah berpelat Jakarta yang melesat masuk ke kampung ini setelah kejadian. Tapi, setelah diselidiki, mobil itu memang milik salah seorang warga. Untuk meredam ketegangan, Ibrahim punya cara jitu. Dua tahun ter-akhir, warga muslim Kepaon dijadikan pecalang—petugas keamanan adat Hindu. ”Jika ada perselisihan agama, langsung dapat diselesaikan di tingkat bawah,” kata Muhammad Ahyar, 50 tahun salah satu pecalang muslim.
Ahyar menjelaskan, masyarakat muslim Kepaon juga memiliki sistem pengaman sendiri yang ampuh. Jika ada gerakan yang membahayakan kehidupan beragama, mereka langsung bertindak. ”Warga Kepaon pernah mengusir penceramah agama lantaran isi pidatonya menyakiti warga Hindu,” kata Ahyar, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir.
Untuk sejumlah kampung muslim yang terserak di Pulau Dewata, tragedi bom Bali I dan II tidak banyak berpengaruh. Hal ini diakui oleh Nursalbiah, 30 tahun, warga Loloan Barat. ”Kami tetap hidup berdampingan,” kata Nursalbiah.
Dalam sejarah Loloan Barat, masa suram hubungan Islam-Hindu terjadi pada era 80-an. Kala itu, sejumlah tokoh Bali melayangkan protes lantar-an banyaknya pendatang muslim dan maraknya isu Islamisasi. Tapi setelah sejumlah tokoh Islam dan Hindu bertemu, masalah ini cair.
Sementara itu, menurut tokoh adat Buleleng, Made Rimbawa, 48 t-ahun, hubungan antarumat beragama di Singaraja tidak ada cacat. Tragedi bom Bali I dan II tidak cukup kuat merobek keharmonisan beragama di Singaraja. ”Meski beda agama, hidup kami membaur,” tutur Made.
Senada dengan Made, menurut Ke-tua- Parisadha Hindu Darma Indone-sia, I Gusti Ngurah Sudiana, keber-ada-an kampung-kampung muslim di Bali membuktikan toleransi beragama sudah menjadi tradisi. Malahan ia melihat kehadiran warga muslim di tengah mayoritas Hindu membawa kemaslahatan. Katanya, ”Perbedaan adalah berkah, semestinya dirayakan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo