Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN orang asyik main game-lan pada sebuah Jumat ma-lam. Kalau ada yang nadanya fals, yang lain langsung menyin-dir. ”Lho, kok, nadane mblero (fals)? Yang lain menja-wab, ”Wah, inggih, nu-wun sewu. Ngantuk sajake (maaf, mung-kin sudah me-ngantuk).” Seketi-ka ruangan itu me-riah oleh gelak tawa.
Gedung Gajah, tempat gamelan dimainkan, penuh ornamen Tionghoa. Para pemain datang dari beragam kelompok etnis, terutama Jawa dan Tiong-hoa. Mereka tergabung dalam Persatuan Masyarakat Surakarta (PMS), lembaga sosial yang bertujuan merekatkan kerukunan antarwarga.
Berdiri 1 April 1932, organisasi ini merupakan penggabungan enam kelompok organisasi masyarakat Tiong-hoa. Semula PSM bernama Chuan Min Kung Hui. ”Mulanya hanyalah organisasi yang mengurusi kematian,” kata Budhi Mulyono, Ketua PMS saat ini. Belakangan mereka mengurusi kegiatan lainnya, misalnya mendirikan sekolah. Warga non-Tionghoa ikut serta. Pada 1 Oktober 1959, Chuan Min Kung Hui resmi berganti nama menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta. ”Setelah itu, gerakan integrasi antaretnis mulai digalakkan,” ujar Budhi Mulyono. Aktivitas lain yang ditekuni kelompok ini di antaranya kesenian, olahraga, dan sosial. Mereka menghindari aktivitas politik.
Seni karawitan yang latihannya di-pimpin Sudarti malam itu adalah sa-lah satu andalan kegiatan PMS. ”Sejak awal, kesenian Jawa adalah kebutuhan masyarakat Tionghoa,” ujar Sumartono Hadinoto alias Khoe L-iong Hauw, salah satu tokoh PMS.
Belakangan tak cukup karawitan, anggota PMS juga berlatih tari, ketoprak, dan wayang. Pemainnya tentu saja orang Jawa dan Tionghoa. Tak -ingin melupakan kesenian leluhur, mereka juga menggeluti musik yang khim dan barongsay.
Keampuhan kesenian untuk merekatkan hubungan antarkelompok terbukti ketika Solo diguncang prahara etnis pada ujung dekade 1980. Saat itu PMS menggelar pentas wayang pembauran di 12 kota besar Jawa Tengah. Dalam kerusuhan etnis di Solo 1990-an, PMS ikut aktif menyiram bara.
Menurut Willy Santosa (Tjan Hing Nio), Ketua Seksi Wayang Orang PMS, grup mereka ikut mendorong perkembangan wayang orang di Solo. Mereka pernah menggelar festival segala. ”Pemain-pemain jempolan pernah lahir dari sini,” ujar perempuan yang -biasa berperan sebagai ibu kesatria ini. Selain dia, kedua anaknya, Linda dan Sherly Santosa, juga kerap main wa-yang orang. ”Linda biasanya berpe-ran sebagai Dewi Sembodro.” Pentas terakhir PMS April lalu dengan lakon ”Abimanyu Dadi Ratu”.
Perhatian PMS pada olahraga ditun-juk-kan dengan menyediakan fasilitas yang memadai di kompleks Gedung Ga-jah. Di bagian belakang kawasan ini ter-dapat arena bulu tangkis, tenis meja, tae-kwondo, dan senam. PMS juga memi-liki pusat pendidikan latihan untuk beberapa cabang olahraga: bulu tangkis, te-nis meja, gulat, taekwondo, wushu, dan catur. ”Pendidikan bulu tangkis pa-ling menonjol. Atlet nasional seperti Sigit Budiarto alumnus sini,” kata Sumar-tono.
Para atlet penghuni pusdiklat bulu tangkis berasal dari berbagai latar belakang. ”Mereka yang berprestasi- di-tampung, tak peduli etnisnya,” kata Sumartono, yang juga aktif sebagai Ketua Umum Persis, tim sepak bola kesayangan warga Solo. Untuk mendukung program itu, PMS menyediakan mes atlet di lantai atas markas mereka. Selain seni dan olahraga, PMS juga menyediakan balai peng-obatan khusus untuk warga tak mampu. Saban hari, sekurangnya 30 orang berobat ke sana.
Sumartono menerangkan, pendirian balai tersebut diilhami semangat dr Oen Boen (Ketua PMS 1955-1957), yang tak memasang tarif saat praktek. Beberapa pasien malah diberi uang saku. Kini, nama dr Oen diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit terkemuka di Solo.
Sehari-hari, balai pengobatan itu dijaga dua orang dokter. Pasien yang berkunjung hanya dikutip Rp 6.000 sekali periksa. Sayangnya, balai ini belum bisa menerima pasien rawat inap. Tapi warga tak kecewa. ”Saya sangat tertolong dengan balai ini. Setiap sakit, saya ke sini,” ujar Suwardi, 63 tahun, warga Jebres, Solo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo