Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cerita di balik pasang-surut klub bulu tangkis.
Bagaimana mereka bertahan di kala pandemi Covid-19?
Menerima murid yang tak berminat jadi atlet.
TAK banyak orang yang berlatih di sana sore itu. Bersimbah peluh, sebelas anak dari “kelompok pembibitan" bergerak zigzag. Kaki mereka maju-mundur di lapangan bulu tangkis area gedung latihan Perkumpulan Bulu Tangkis (PB) Suryanaga, Jalan Darmahusada Indah Barat, Surabaya, Jumat, 3 September lalu. Bungkus shuttlecock ditata berjajar sebagai arena slalom. Seusai pemanasan, mereka diinstruksikan berlatih sejumlah gerakan oleh pelatih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumlah anak asuh PB Suryanaga kian merosot setelah pandemi merebak. Pada 2019, jumlah murid di sana masih 200-an. Dari jumlah itu, delapan di antaranya berasal dari Prancis. Mereka magang di Suryanaga selama Juli-Agustus. Pada Desember 2019, rencananya datang lagi 20 murid dari negara yang sama. Namun rencana tersebut batal karena Covid-19. Badai itu makin terasa pada April 2020. Ketika itu, sebagian besar orang tua menarik sementara anak mereka dari pusat pelatihan. Tak mengherankan bila jumlah murid pembinaan merosot drastis, hingga tinggal 40 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Bidang Prestasi PB Suryanaga Tjondro Tamardi tak menampik kabar bahwa kondisi klub sedang mengalami kemunduran. Ini ironis mengingat perkumpulan bulu tangkis ini dulu membidani lahirnya legenda seperti Rudy Hartono dan Alan Budikusuma. Namun Tjondro mengaku tak bisa berbuat banyak. “Semua kembali ke masalah pendanaan,” ujarnya.
Dengan murid yang tinggal segelintir, Suryanaga bersiasat agar kegiatan latihan bisa tetap berlangsung rutin. Sudah beberapa tahun terakhir ini mereka hanya mengandalkan iuran siswa Rp 500 ribu per bulan. Dengan kondisi ini, klub tak leluasa merekrut murid potensial. Situasi ini jauh berbeda dengan keadaan pada 2000-2015. Ketika itu PB Suryanaga masih mendapat kucuran dana dari perusahaan Gudang Garam. Mencari murid berbakat pun tak menjadi masalah karena pendanaannya mencukupi.
Saat masih dibantu sponsor, Suryanaga bisa menugasi pelatih datang ke turnamen bulu tangkis di berbagai daerah. Bila ada pemain yang dianggap punya bakat menonjol, mereka akan didekati untuk berlatih di Suryanaga. Selama di klub, murid akan diikutsertakan ke sejumlah turnamen tingkat daerah dan sirkuit nasional. Dari situlah klub akan melihat perkembangan sang murid. Jika setelah setahun dinilai tak berkembang, si murid akan dikembalikan kepada orang tuanya.
Dengan pola perekrutan itu, Suryanaga sebelumnya banyak mengirimkan atletnya ke pusat pelatihan nasional (pelatnas). Mereka di antaranya Sony Dwi Kuncoro, Alvent Yulianto, Rony Agustinus, dan Tri Kusharjanto. Prestasi mereka itu, disebut Tjondro, secara tak langsung mempromosikan Suryanaga. Dulu banyak orang tua dari luar Surabaya, bahkan luar Pulau Jawa, mengirim anak mereka ke Suryanaga untuk berlatih. “Padahal dulu gedung ini penuh,” katanya.
Pamor Suryanaga mulai redup saat Sony dan para atlet yang sebelumnya bersinar perlahan “menghilang” dari lapangan, bahkan gantung raket. Ditambah kontrak dengan sponsor berakhir, klub pun mulai kembang-kempis bernapas. Belum muncul lagi idola baru dari Suryanaga setelah era Sony Dwi Kuncoro. Kendati demikian, latihan di Suryanaga masih berjalan seperti biasa.
Problem yang dialami Suryanaga juga dirasakan klub lain. Pendiri PB Vios, yang bermarkas di Jakarta Timur, Iman, menyebutkan dinamika klub bergantung pada kondisi eksternal. Ia menjelaskan, pandemi Covid-19 sempat menyapu jumlah anak didiknya menjadi tujuh orang saja. Padahal biasanya Vios, yang lahir 11 tahun lalu, menggembleng puluhan murid, bahkan pernah 70 orang. Jumlah yang besar untuk sebuah klub kecil. Walhasil, murid yang tergabung dalam grup reguler (berlatih tiga kali sepekan) diliburkan sementara. Adapun siswa dari kelompok intensif yang biasa berlatih setiap hari masih tetap dilatih.
Latihan pun dilakukan semampunya karena gelanggang olahraga tempat mereka biasa berlatih ditutup sementara. Dua dari tiga asisten pelatih Vios juga terpaksa dirumahkan karena keterbatasan biaya. “Makanya prestasi anak-anak (didik) langsung anjlok,” ujar Iman, yang melatih bulu tangkis sejak 28 tahun lalu, saat dihubungi pada Kamis, 9 September lalu.
TEMPO/Kukuh S Wibowo
Ketua Masyarakat Pemerhati Bulu Tangkis Indonesia Kurniadi mengatakan ada sejumlah persoalan yang membelit klub bulu tangkis, di antaranya soal keuangan. Tak bisa dimungkiri, klub memerlukan suntikan dana dari sponsor atau perusahaan untuk pengembangan kualitas anak didik, bukan sekadar iuran bulanan murid yang jumlahnya tak besar.
Bantuan dari sponsor vital untuk menyokong operasional pemain ke sirkuit-sirkuit nasional. “Pengalaman bertanding ke sana-sini itu sangat penting karena mempengaruhi mental pemain dan mengukur porsi latihan selama ini serta untuk mendapatkan peringkat nasional. Selain itu, di sirkuit biasanya ada pemandu bakat yang memantau,” kata Kurniadi melalui sambungan telepon, Kamis, 9 September lalu.
Selama ini, bantuan dari perusahaan kepada klub bulu tangkis bersifat bantuan biasa. Karena itu, Kurniadi berharap klub mempunyai inisiatif untuk menawarkan diri kepada perusahaan dalam urusan sponsor. “Misalnya dengan tawaran bahwa dengan mensponsori PB, citra perusahaan akan naik. Ini penting karena sekarang dana dari perusahaan statusnya masih charity," tuturnya.
Persoalan selain dana adalah ketidakmerataan penyebaran dan kualitas klub. Menurut Kurniadi, klub bulu tangkis di Indonesia yang berjumlah 3.152 (berdasarkan data yang dipresentasikan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia pada 2019) memang tersebar. Fasilitas latihan klub di luar Jawa pun tak sedikit yang mumpuni. Namun, kembali lagi, para pemain di luar Jawa terbentur minimnya kesempatan bertanding di sirkuit nasional yang menguji kemampuan mereka.
Mau tak mau, klub mesti berjuang sendiri untuk bertahan. Suryanaga, misalnya, berhemat dengan menerapkan giliran masuk bagi 11 pelatih. Gaji mereka pun dipangkas setengah. Untuk menambah pemasukan, klub menyewakan lapangan Rp 600 ribu per bulan kepada masyarakat umum. Penyewaan dilakukan setelah latihan kelompok pembibitan berakhir. Sumber pendapatan lain ialah kontrak pemasangan banner iklan produk di dalam gedung.
Kendati biayanya Rp 10 juta selama satu tahun, kata Tjondro Tamardi, hal itu dapat menambal biaya operasional. “Yang penting kegiatan latihan ini tidak mati.”
Tjondro berujar, di tengah situasi sulit seperti saat ini, klub tak lagi selektif dalam menerima murid. Yang tak punya motivasi menjadi atlet tapi sekadar ingin memperbanyak kegiatan positif dipersilakan mendaftar. Nungki Purnomo, misalnya. Pegawai Bank Central Asia di Surabaya itu memasukkan tiga anaknya ke Suryanaga agar mereka tak kecanduan gawai. “Tidak ada seleksi oleh klub, langsung masuk saja,” ucapnya.
KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo