Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terpojok Proyek Jenderal Scotch

Proyek pengadaan satelit untuk pengisian slot orbit 123 derajat Bujur Timur diduga terkatung-katung. Jejak masalah dalam tender tiga tahun lalu mencuat di tengah tak kunjung datangnya calon investor.

27 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Persiapan uji coba komponen satelit Airbus di Pusat uji luar angkasa di Ottobrunn, Munich, Jerman. Foto: airbus.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia kembali terancam kehilangan slot orbit 123 derajat Bujur Timur.

  • Nama Wiranto mencuat di pusaran masalah pengadaan satelit.

  • Operator proyek berburu investor hingga ke jaringan Nahdlatul Ulama.

ISMAIL, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, sedang waswas. PT Dini Nusa Kusuma (DNK), perusahaan pemegang lisensi pemanfaatan slot orbit 123 derajat Bujur Timur, tak kunjung memberikan kepastian pendanaan proyek satelit yang akan ditempatkan di langit Sulawesi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya, Indonesia harus mengisi ruang angkasa di ketinggian 36 ribu kilometer itu paling lambat November 2024. Jika tidak, Persatuan Telekomunikasi Internasional (ITU)—lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa—bisa mencabut hak Indonesia mengisi slot orbit satelit yang dianggap strategis tersebut. “Amannya 36 bulan sebelum November 2024,” kata Ismail ketika ditemui, Senin, 22 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Batas aman yang dimaksud adalah waktu yang diperlukan untuk proses konstruksi hingga peluncuran satelit ke orbit sasaran. Ketika masih berstatus program dengan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pada 2016, nilai proyek ini sebesar US$ 669 juta—kini sekitar Rp 9,5 triliun.

Kementerian Komunikasi dan Informatika bertambah ketar-ketir lantaran janji DNK berulang kali meleset. Pada 9 September 2020, misalnya, Direktur Penataan Sumber Daya Kementerian Komunikasi dan Informatika Denny Setiawan—anak buah Ismail—menyurati DNK untuk menanyakan kesanggupan DNK melanjutkan proyek. Membalas surat sepekan kemudian, DNK menegaskan bahwa mereka tetap optimistis bakal mendapatkan perjanjian pokok (LOI) dari pemberi pinjaman pada akhir September 2020. Tapi optimisme itu tak terbukti.

Pada 14 Januari lalu, giliran Ismail yang menyurati DNK. Kali ini Ismail meminta perusahaan milik Arifin Wiguna, pengusaha yang tersohor sebagai pendiri Indika Entertainment, itu menyerahkan bukti pendanaan (proof of fund). Arifin, Komisaris Utama DNK, membalasnya sepekan kemudian.

Lagi-lagi DNK meminta perpanjangan waktu. Dalam suratnya, tertanggal 20 Januari 2021, Arifin menyatakan penyelesaian proof of fund dari investor yang akan digunakan untuk kepentingan kelanjutan proyek satelit 123° BT dan penyelesaian residu Kementerian Pertahanan tertunda.

Arifin berdalih belum bisa memenuhi kepastian pendanaan yang diminta Kementerian Komunikasi akibat pandemi. “Covid-19 benar-benar membuat keadaan kami sama sekali di luar dugaan,” ucap Arifin ketika ditemui di Jakarta, Rabu, 24 Februari lalu. Arifin meminta perpanjangan waktu bukti pendanaan sampai Mei 2021.

Arifin mengklaim sisa waktu 42 bulan hingga November 2024 masih cukup untuk membangun sampai meluncurkan satelit. Sedangkan Ismail menyatakan telah melaporkan perkembangan terakhir persoalan ini kepada pemimpinnya. 

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate juga tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. “Waktunya sudah terbatas. Slot itu nanti akan sulit diperjuangkan untuk dipertahankan lagi,” tutur Plate, Jumat, 26 Februari lalu.  

Slot orbit 123° BT merupakan satu dari tujuh wilayah angkasa yang diberikan oleh ITU kepada Indonesia. Sejak 2000, Indonesia memanfaatkan slot ini sebagai orbit satelit Garuda-1. Belakangan, pada 2015, satelit yang pengelolaannya beralih dari PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) ke Inmarsat Plc, Inggris, tersebut hengkang. Pemerintah harus memastikan penggantinya jika tak ingin slot itu lepas dari genggaman Indonesia.

Dari sini semuanya bermula. Pengadaan satelit sempat dirancang sebagai proyek negara, lewat Kementerian Pertahanan, dengan judul Satelit Komunikasi Pertahanan. Belakangan, proyek ini batal, meninggalkan tagihan dari sejumlah vendor teknologi yang kadung diikat kontrak pada 2016, seperti Airbus dan Navayo.

Tak mau kehilangan slot 123° BT, proyek satelit berlanjut dengan skema swasta. DNK memenangi kontes dan mengantongi lisensi pada Oktober 2018. Namun ketidakpastian kelangsungan proyek dua tahun terakhir kini membuka tabir banyaknya persoalan dalam proyek satelit 123° BT.

•••

PT Dini Nusa Kusuma, perusahaan yang pernah menjadi bagian dari PT Indika Multimedia, terlihat hanya meneruskan program Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) yang mandek. Namun jejak orang-orangnya ternyata telah ada sejak proyek itu dirancang Kementerian Pertahanan era Menteri Purnomo Yusgiantoro.

Satkomhan tercetus pada 2011. Kementerian Pertahanan mengundang sejumlah perusahaan untuk mengembangkan satelit khusus pertahanan. DNK, yang saat itu dipimpin Thomas Widodo, menyanggupinya.

Bisnis DNK semula hanya menyediakan jaringan Internet dan distributor telepon satelit. Untuk menyiapkan permintaan Kementerian Pertahanan, Thomas Widodo menggaet Thomas van der Heyden, insinyur satelit yang kondang dan pernah merancang satelit Indovision.

Arifin Wiguna dan Surya Witoelar, Direktur Utama DNK yang menggantikan Thomas Widodo pada 2015, membenarkan kronologi ini. Namun Thomas enggan menjawab pertanyaan Tempo. “Setahu saya itu proyek pertahanan yang menjadi rahasia negara. Jadi saya ingatkan itu ada dasar hukumnya bila dilanggar,” ujar Thomas lewat pesan WhatsApp, Sabtu, 27 Februari lalu.

Pada 2013, parlemen menyetujui rencana pembangunan Satkomhan. Kementerian Pertahanan kemudian meminta Kementerian Komunikasi memberikan hak kelola slot 123° BT dari tangan PT Asia Cellular Satellite (ACeS) lewat pengoperasian satelit Garuda-1. Namun permintaan ini ditolak.

Kesempatan terbuka ketika rezim pemerintah berganti. Thomas van der Heyden, insinyur DNK, mempresentasikan masalah slot 123° BT kepada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Menurut warga negara Amerika Serikat ini, slot itu melekat pada Indonesia dan pengelolaannya tidak boleh dialihkan kepada operator dari negara lain.

PSN memang melepas ACeS kepada Inmarsat sejak 2006. Transaksi meliputi semua aset, termasuk kendali operasi satelit Garuda-1.

Tiba-tiba, pada Januari 2015, tak lama setelah DNK mempersoalkan penguasaan Inmarsat di slot 123° BT, satelit Garuda-1 deorbit. Inmarsat melaporkan bahwa terjadi kegagalan sistem pada satelit yang diluncurkan sejak 2000 untuk melayani komunikasi seluler berbasis satelit di Indonesia tersebut.

Hengkangnya Garuda-1 dari orbit strategis ini membuka peluang Kementerian Pertahanan untuk melanjutkan proyek Satkomhan. Pada Juli 2015, Kementerian Komunikasi memberikan lisensi slot 123° BT kepada Kementerian Pertahanan, sesuai dengan permintaan mereka pada 2013.

Namun rupanya ada masalah lain. Ketika menghadiri Rapat Tinjauan Operator Layanan Satelit Seluler pada Oktober 2015, Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Agus Purwoto diberi tahu oleh para operator satelit tersebut bahwa Kementerian Pertahanan sebagai operator baru slot 123° BT wajib mengantongi kontrak pengadaan satelit paling lambat akhir 2015.

Kementerian Pertahanan pun langsung menggelar tender proyek. Mereka juga memutuskan menyewa satelit Artemis milik Avanti Communication dari Inggris untuk mengisi slot orbit 123° BT sembari menunggu satelit baru meluncur.

Dalam proses pengadaan awal tersebut, Kementerian Pertahanan mengangkat Thomas van der Heyden, Kanaka Hidayat, dan Surya Witoelar sebagai anggota staf ahli bidang satelit. Mereka bertugas membantu desain dan pengadaan satelit. “Saya cuma ngasih tahu kalau beli barang-barang ini di mana,” kata Surya ketika dimintai konfirmasi pada Selasa, 23 Februari lalu.

Surya menyatakan hanya bertindak sebagai penerjemah Thomas van der Heyden. “Bukan (menerjemahkan) dari bahasa Inggris ke Indonesia,” tutur Surya. “Tapi dari bahasa bulan ke Inggris, baru ke Indonesia.”

Menurut Surya, Thomas memang merancang Layanan Satelit Seluler (MSS) pada slot 123 di jaringan L-band yang terkenal narrow alias hanya kuat melayani panggilan suara untuk kemudian melayani lalu lintas data dengan kecepatan 256-512 kilobita per detik. Caranya, Surya menjelaskan, dimensi satelit dibesarkan, cakupan layanan dipersempit hanya untuk Indonesia, dan sorotan sinyal radio (beam) diperbanyak.

Desain itu, Surya menambahkan, menyelesaikan masalah jaringan komunikasi negara kepulauan seperti Indonesia, yang banyak titik hitamnya, baik untuk kepentingan militer, pemerintah, maupun swasta. “Ini sudah cukup untuk memutar YouTube atau live video dalam operasi militer dari mana pun ke kendali operasi,” ucap Surya. “DNK beruntung karena jualan kecapan kami ini, ada orang-orang (Kementerian Pertahanan) yang percaya.”

Tender internasional Kementerian Pertahanan yang dibantu para anggota staf ahli ini kemudian dimenangi konsorsium Airbus. Proyek itu dirancang menelan biaya hingga US$ 669 juta. Sebanyak US$ 425 juta direncanakan untuk pengadaan satelit dengan Airbus, US$ 29,9 juta untuk terminal darat dari Navayo, US$ 70 juta untuk peluncuran satelit, dan biaya lain buat asuransi serta jasa konsultan.

Tender dini ini belakangan bermasalah. Kontrak kerangka kerjanya sudah diteken kendati anggaran utuhnya belum disetujui, baru diajukan pada Februari 2016. Setelah melalui berbagai telaah, termasuk peninjauan Inspektorat Jenderal Kementerian Pertahanan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan keterbatasan anggaran negara, Menteri Keuangan menyurati presiden pada Mei 2017 tentang anggaran yang belum dapat mendukung kebutuhan biaya proyek satelit 123° BT.

Batalnya penganggaran menambah persoalan yang dihadapi Kementerian Pertahanan. Ketika tagihan dari Airbus dan Navayo mulai masuk, masing-masing senilai US$ 60 juta dan US$ 7,4 juta, Kementerian Pertahanan digugat Avanti ke arbitrase internasional lantaran dianggap gagal bayar. Arbitrase memutuskan Kementerian harus membayar denda US$ 20 juta pada 2018.

Berbagai tunggakan inilah yang disebut sebagai “residu” dalam surat Arifin Wiguna pada 20 Januari lalu. Seorang pejabat dan pengusaha yang mengetahui ihwal pengadaan satelit ini mengungkapkan bahwa DNK terpilih antara lain karena berjanji menanggung berbagai kewajiban Kementerian Pertahanan akibat sederet masalah dalam pengadaan sebelumnya.

•••

NAMA Wiranto mencuat di tengah masalah yang bertubi-tubi memukul proyek satelit 123° BT. Pada 6 Desember 2017, Wiranto—saat itu menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan—menyurati Presiden Joko Widodo. Dalam surat itu, yang salinannya diperoleh Tempo, Wiranto mengatakan upaya penyelamatan slot orbit 123° BT dapat dilakukan melalui kemitraan dengan pihak swasta yang berpengalaman, tanpa mengorbankan kepentingan nasional.

Wiranto, yang kini menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, membenarkan keberadaan surat tersebut. “Saya bereaksi terhadap keputusan negara yang enggak mau membiayai lagi dan tidak mau rugi,” kata Wiranto lewat sambungan telepon, Sabtu, 27 Februari 2021. “Jalan satu-satunya ke swasta.”

Keputusan mengalihkan proyek dari Kementerian Pertahanan ke swasta diteken pada Maret 2018 lewat rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Banyak perusahaan menawarkan diri melanjutkan proyek ini. Kresna Group, konglomerasi bisnis keuangan milik Michael Steven, salah satu perusahaan yang berminat.

Wiranto di kantor redaksi Tempo, Jakarta, Januari 2020. Tempo/Ratih Purnama

Pada 6 Maret 2018, Kresna menyurati Wiranto, menawarkan diri untuk melanjutkan kontrak Kementerian Pertahanan dalam program Satelit Komunikasi Pertahanan. Rupanya, proyek satelit ini bukan barang baru buat Kresna Group. Akta perusahaan PT Dini Nusa Kusuma mencatat PT Kresna Usaha Kreatif sebagai salah satu pemegang saham, dengan porsi kepemilikan 25 persen, sejak Januari 2016.

Kongsi ini selanjutnya bersurat ke mana-mana, termasuk ke presiden, atas nama DNK dan Kresna. Seorang pengusaha di lingkaran bisnis keduanya mengungkapkan, Kresna memang dipasang guna meyakinkan kemampuan pendanaan DNK untuk membiayai proyek satelit, termasuk menanggung residu Kementerian Pertahanan gara-gara kontrak yang sebelumnya bermasalah.

Arifin Wiguna membenarkan kabar bahwa perusahaannya “ngider” ke banyak kantor pemerintah. “Betul kami menyurati semua kementerian hingga presiden,” ucap Arifin.

Sumber Tempo tersebut mengungkapkan, suatu hari, pada Agustus 2018, sebelum mengikuti rapat terbatas kabinet mengenai penyelamatan slot 123, Wiranto sempat menghubungi Arifin. Wiranto, ujar dia, meminta salinan surat tawaran DNK untuk kemudian disodorkan sebagai konsep penyelesaian masalah di slot 123° BT.

Seusai rapat tersebut, kata sumber yang memberikan sejumlah dokumen kepada Tempo sebagai landasan informasinya, Wiranto beberapa kali bertemu dengan Arifin. Pertemuan antara Arifin dan Wiranto antara lain berlangsung di Kinokawa, sebuah restoran Jepang di kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan. Komunikasi intens kemudian dilanjutkan antara Arifin dan Alex Tirta, pemilik hotel Alexis dan 1001 yang merupakan kawan Wiranto.

Wiranto membantah informasi tersebut. Menurut dia, konsep penyelamatan yang dipaparkan dalam rapat terbatas kabinet berasal dari semua peserta kontes.

Wiranto juga menampik jika disebut pernah bertemu dengan Arifin. “Saya enggak pernah bertemu dengan kontestan. Kalau tim seleksi bertemu dengan mereka, harus,” tutur Wiranto. “Tim melaksanakan tugas dengan fair.”

Menurut Wiranto, hubungannya dengan Alex Tirta sebatas urusan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI). “Saya punya kaitan organisasi dengan Alex. Kalau soal pesan, sering, tapi bukan urusan kantor Polhukam, urusan PBSI,” Wiranto menambahkan.

Saat itu Wiranto memang menjabat Ketua Umum PBSI. Alex salah satu ketua dalam kepengurusannya. Adapun Arifin Wiguna pengurus PBSI Jakarta Timur.

Alex Tirta mengaku berteman dengan Wiranto dan Arifin. Namun, senada dengan Wiranto, Alex membantah kabar bahwa dia menjadi penghubung Wiranto dengan Arifin untuk urusan satelit. “Beliau (Wiranto) itu tipenya kalau bukan urusan kerja enggak berkenan,” ucapnya saat dihubungi pada Jumat, 26 Februari lalu. 

Alex juga menyatakan tak pernah membahas urusan satelit dengan Arifin. “Itu bukan bidang saya, Bang. Saya kan di hiburan, Bang,” katanya.

Sebaliknya, Arifin mengaku pernah membahas satelit untuk slot 123° BT ini dengan Alex. Namun saat itu, menurut Arifin, Alex yang lebih dulu menghubunginya. “Alex baca koran, terus tanya, ‘Kamu main satelit?’” ujar Arifin. Ihwal urusan dengan Wiranto, Arifin mengatakan, “Pak Wiranto enggak bisa diyakinkan. Jenderal, Pak, saya nobody.”

Sebelumnya, pada Juni 2018, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan memang membentuk tim kontes penyeleksi tawaran swasta untuk melanjutkan program Satkomhan. Tim ini dibentuk lintas kementerian dan lembaga, dari Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Badan Koordinasi Penanaman Modal, hingga Kemenkopolhukam sebagai ketua.

Setelah melakukan seleksi awal, pada awal Oktober 2018, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan memimpin rapat koordinasi lintas menteri dan mengumumkan tiga calon pemenang lisensi 123° BT, yakni PT Pasifiktel Indotama, konsorsium BRI-Satkomindo, dan konsorsium DNK-Kresna. Hanya DNK yang menawarkan konsep pengerjaan proyek yang sudah ditentukan Kemenkopolhukam: bersedia melanjutkan proyek Kementerian Pertahanan dan menanggung tunggakannya. Ada pula satu klausul tambahan: memberikan akses gratis kepada pemerintah.

Beberapa hari seusai rapat koordinasi itu, Arifin dan Alex ditengarai kembali bertemu. Dalam beberapa pertemuan itu, menurut sumber Tempo yang mengetahui komunikasi keduanya, Alex meyakinkan Arifin bahwa Kemenkopolhukam akan memilih DNK sebagai pemenang kontes.

Pada masa itulah Arifin diduga memberi kabar kepada Michael Steven, mitranya. Pada 19 Oktober 2018, Arifin memberi tahu bos Kresna Group tersebut bahwa ada pesan dari Alex Tirta. Pesan itu disebut sebagai pesan dari “Scotch” bagi Arifin, “Untuk Senin (22 Oktober 2018) disiapkan.”

Menurut sumber dan dokumen pendukung yang diperoleh Tempo, Scotch tak lain adalah nama sandi Wiranto. Michael, kata sumber tadi, yang mengusulkan nama sandi tersebut dari semula “Whisky”.

Surat permohonan perpanjangan waktu untuk Penyerahan Proof of Fund-signed dari PT Dini Nusa Kusuma kepada Kementrian Kominfo RI.

Arifin menyatakan baru mengetahui soal informasi tentang komunikasinya dengan Alex pada Oktober 2018 itu. “Menarik ini. Mungkin diamproki saja kali, ya. Michael ngomong begitu?” tutur Arifin, balik bertanya. “Yang kayak begini, nih, sudah capek-capek, ada-ada saja. Susah saya jadinya mengerjakan sesuatu buat negara.”

Seperti Arifin, Alex balik bertanya. “Disiapkan apa maksudnya itu?” ucap Alex. “Ngerti pekerjaannya saja enggak.”

Wiranto membantah ada komunikasi antara Alex dan Arifin yang menyebutkan dirinya. “Saya tidak tahu soal uang dan sebagainya karena yang memutuskan pemenang kontes bukan Menko, tapi panitia khusus,” katanya. “Tanpa pengaruh saya pun DNK mesti unggul karena, hasil dari tim seleksi, dia yang terbaik, terutama menyangkut penanggulangan kemungkinan kerugian negara.”

Sementara itu, dihubungi sejak Rabu, 24 Februari lalu, Michael Steven tidak menjawab upaya klarifikasi Tempo lewat panggilan telepon dan pesan WhatsApp.

Pada 31 Oktober 2018, Wiranto akhirnya menyurati Menteri Komunikasi dan Informatika. Isinya mengabarkan hasil kontes tim seleksi yang memutuskan DNK sebagai pemenang. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan lalu merekomendasikan Kementerian Komunikasi menerbitkan lisensi buat DNK, yang akhirnya dikeluarkan pada 10 Desember 2018.

•••

ARIFIN WIGUNA dan kawan-kawan semestinya wajib menyerahkan surat dukungan dari pemberi utang biaya proyek maksimal dua bulan setelah lisensi terbit. Konsorsium juga wajib menyerahkan surat kesediaan lembaga pembiayaan untuk membiayai proyek serta kontrak penempatan dan pembangunan satelit maksimal enam bulan setelah lisensi terbit.

Dua tahun berlalu sejak lisensi terbit, kewajiban itu belum juga tunai. Namun DNK sudah beberapa kali menyetorkan nama calon rekan investor mereka. Yang terbaru adalah NU Connect, badan di bawah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. NU Connect telah mengirim surat minat mereka untuk berinvestasi di DNK hingga 15 persen di ekuitas perusahaan.

Menurut hitungan Arifin, biaya proyek satelit MSS untuk mengisi slot 123° BT kini membengkak menjadi US$ 700 juta. Sebanyak 30 persen dari angka tersebut akan dipenuhi dari ekuitas konsorsium, sisanya dari pinjaman sindikasi. Pendek kata, untuk dapat masuk 15 persen, NU Connect atau PBNU mesti menyiapkan dana tunai US$ 31,5 juta.

Aizzudin Abdurrahman, Ketua PBNU Bidang Pertahanan dan Keamanan, menjawab pertanyaan Tempo lewat pesan WhatsApp, Jumat, 26 Februari lalu. “Tidak sesederhana itu,” ujarnya. “Lima belas persen ini masih relatif karena proses telaah belum tuntas.”

Di NU Connect, Aizzudin duduk sebagai ketua. Adapun sekretarisnya adalah Muhammad Said Aqil, anak Ketua Umum PBNU. “PBNU memang bukan entitas perseroan atau private investment, tapi insya Allah perannya makin dibutuhkan untuk bangsa ini,” ucap Aizzudin menjawab keraguan sejumlah kalangan terhadap kemampuan pendanaan NU Connect.

Arifin memastikan dana untuk proyek ini telah tersedia. “Tinggal saya urus pelan-pelan, akhir April 2021, beres,” kata Arifin. “Tolong kasih saya kesempatan.”

KHAIRUL ANAM, AISHA SAIDRA, RETNO SULISTYOWATI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus