Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah korban Undang-Undang ITE menanti kepastian hukum setelah mereka dilaporkan ke polisi.
Menteri Mahfud Md. membentuk dua tim untuk mengkaji revisi dan pembuatan pedoman penafsiran.
Ada menteri yang mendorong pembuatan pedoman penafsiran belaka ketimbang merevisi Undang-Undang ITE.
DUA kali dalam sepekan, Stella Monica, 25 tahun, datang ke markas Kepolisian Daerah Jawa Timur. Sejak 5 Oktober 2020, ia menjadi tersangka kasus pencemaran nama. Alih-alih menjalani persidangan, ia dikenai wajib lapor setiap Senin dan Kamis. “Saya takut setiap wajib lapor bisa-bisa langsung ditahan polisi,” katanya saat dihubungi pada Rabu, 24 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Desember 2019, Stella mengulas pengalamannya setelah berhenti berobat di satu klinik kecantikan di Surabaya melalui akun Instagram miliknya. Ia mengeluhkan jerawat yang memenuhi wajahnya setelah tak lagi menggunakan krim wajah dan obat yang diberikan klinik itu. Tak mendapat respons memuaskan atas komplain yang diajukannya, Stella pun memutuskan berhenti berobat di klinik tersebut. Unggahan Stella yang mencantumkan nama klinik dikomentari oleh teman-temannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan kemudian, pengacara klinik mengirimkan somasi ke rumah Stella. Dia diminta menyampaikan maaf di media sosial dan surat kabar karena mengomentari pelayanan klinik di media sosial. Beberapa kali Stella bernegosiasi dengan perwakilan klinik, tapi hasilnya buntu. Dia tak mampu membayar iklan di koran karena bisnis keluarganya sedang lesu akibat terkena dampak pandemi Covid-19. Dokter di klinik itu lalu melaporkan Stella. Ia pun dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Presiden Joko Widodo (ketiga dari kanan) memberikan pengarahan pada Rapat Pimpinan TNI-Polri Istana Negara, Jakarta, pada Senin, 15 Februari 2021. BPMI/Setpres
Di Karawang, Jawa Barat, Andi Hidayat, seorang buruh pabrik, juga berstatus tersangka pencemaran nama sejak 3 November tahun lalu. Sekitar sembilan bulan sebelumnya, seorang anggota staf di pabrik itu melaporkan Andi setelah temannya mengunggah foto mereka berfoto di depan spanduk bertulisan “korban PHK sepihak”. Aktif memperjuangkan hak-hak pekerja di perusahaannya, dia tak tahu foto tersebut dipajang di Facebook. Andi baru mengetahuinya setelah polisi memanggil dia untuk diperiksa.
Andi hanya satu kali diperiksa, yaitu pada 16 November 2020. Ia dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE. Setelah itu, tak ada kabar dari kepolisian hingga sekarang. Ia pun dipecat dari perusahaannya. “Dengan status tersangka, saya sulit mencari pekerjaan baru,” ujarnya.
Vivi Nathalia Surja, 42 tahun, warga Cengkareng, Jakarta Barat, juga tersandung pasal pencemaran nama Undang-Undang ITE. Guru piano ini menuliskan perselisihan dengan saudaranya terkait dengan utang-piutang. Iparnya yang keberatan terhadap tulisan tersebut lalu melaporkan Vivi ke kepolisian. Pada 13 Februari 2020, Vivi divonis satu tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Meski begitu, dia tak ditahan karena menjalani hukuman percobaan selama dua tahun.
Di Surabaya, mahasiswi Universitas Narotama, Anindya Shabrina Prasetiyo, juga dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama dengan Undang-Undang ITE. Penyebabnya, dia menulis di Facebook soal dugaan perundungan seksual yang dialaminya saat kepolisian dan satuan polisi pamong praja membubarkan diskusi di Asrama Papua yang dihadirinya. Di tengah kericuhan pembubaran, seorang petugas menggerayangi tubuhnya yang sedang diseret keluar dari ruang diskusi.
Anindya lalu melaporkan kasus tersebut ke Seksi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Resor Kota Surabaya. Namun polisi malah dua kali memanggilnya dalam kasus pencemaran nama. Anindya pun menolak hadir. Ia tak ditetapkan sebagai tersangka, tapi dugaan perundungan yang dialaminya tak kunjung diproses. “Status saya digantung,” katanya.
Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Komisaris Besar Johnny Edizon tak merespons pesan yang dikirim Tempo hingga Sabtu, 27 Februari. Adapun Kepala Bagian Humas Polrestabes Surabaya Komisaris M. Akhyar meminta kelanjutan kasus Anindya ditanyakan kepada Kepala Satuan Reserse Kriminal. Pada November 2019, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Sudamiran—kini bertugas di Polda Jawa Timur—menyebutkan kasus pencemaran nama yang melibatkan Anindya masih didalami. Polisi mengklaim telah menyelidiki perundungan seksual yang menimpa Anindya, tapi dugaan itu tak terbukti.
•••
AKSI saling lapor menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Dalam rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia pada Senin, 15 Februari lalu, Jokowi mengaku mencermati kasus warga negara yang saling melapor ke polisi. Menurut Jokowi, setiap individu berhak melapor karena punya rujukan hukum, antara lain Undang-Undang ITE. Namun Presiden mengakui ada proses hukum yang berjalan kurang adil.
Jokowi lalu memerintahkan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuat pedoman interpretasi resmi Undang-Undang ITE, terutama terhadap pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan berbagai penafsiran. “Kalau Undang-Undang ITE tak bisa memberi rasa keadilan, saya akan minta DPR bersama-sama merevisi karena di sinilah hulunya,” kata Jokowi.
Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung membuat surat edaran terkait dengan penanganan perkara Undang-Undang ITE seusai rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI itu. Bertarikh 19 Februari 2021, warkat itu berisi sebelas poin, antara lain imbauan menggunakan alat virtual police untuk mengawasi potensi kejahatan siber. Selain itu, Sigit memerintahkan para personelnya lebih selektif membedakan kritik, masukan, pencemaran nama, dan berita bohong.
Hingga Rabu, 24 Februari lalu, patroli siber telah mengirimkan 12 pesan kepada akun media sosial via direct message. Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Slamet Uliandi menjelaskan, tim patroli meminta pendapat sejumlah ahli sebelum memberikan peringatan kepada pemilik akun yang diduga melanggar Undang-Undang ITE. Setelah itu, polisi mengirim pesan yang berisi pelanggaran konten dan meminta untuk menghapusnya. Jika dua kali pesan peringatan tak digubris, polisi akan memanggil pemilik akun untuk mengklarifikasi. “Penindakan itu langkah terakhir,” ucap Slamet.
Dua pejabat pemerintah yang mengetahui latar belakang rencana revisi Undang-Undang ITE mengatakan pidato Presiden Jokowi dalam rapat pimpinan TNI-Polri berkaitan dengan kritik sejumlah tokoh kepada pemerintah, antara lain ekonom Kwik Kian Gie dan mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Pada 6 Februari lalu, Kwik dalam akun Twitter-nya mengaku takut mengemukakan pendapat karena bakal diserang buzzer.
Adapun Kalla merespons pidato Jokowi dalam acara Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI pada 8 Februari lalu yang meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah untuk perbaikan pelayanan. “Banyak pertanyaan, bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi seperti yang dikeluhkan Pak Kwik?” kata Kalla, mantan wakil Jokowi. Dua pejabat yang sama menyebutkan Jokowi mencermati perdebatan itu. Setelah rapat pimpinan TNI-Polri rampung, Presiden memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengkaji opsi merombak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Melaksanakan perintah Presiden, Mahfud mengundang rapat sejumlah pejabat pada Kamis, 18 Februari lalu. Pertemuan itu antara lain dihadiri Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly serta Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate. Pejabat pemerintah yang mengetahui jalannya rapat itu mengatakan Yasonna dan Johnny menerangkan bahwa Undang-Undang ITE yang sekarang berlaku sudah bagus dan hanya perlu dibuat pedoman penafsiran.
Yasonna tak menanggapi pertanyaan yang dilayangkan Tempo hingga Sabtu, 27 Februari lalu. Adapun Johnny melalui pesan WhatsApp menjawab, “Penjelasan sudah diberikan di kantor Menkopolhukam. Untuk substansi undang-undangnya, silakan bertanya ke Menteri Hukum dan HAM.” Dalam siaran pers Kementerian Komunikasi, Johnny mendukung lembaga penegak hukum membuat pedoman interpretasi Undang-Undang ITE. Menurut dia, aturan itu sudah beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi dan selalu dinyatakan konstitusional. Namun, menurut politikus Partai NasDem itu, peluang revisi tetap terbuka jika Undang-Undang ITE tak mampu memberikan keadilan bagi masyarakat.
Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, tak membantah atau membenarkan latar belakang Jokowi ingin merevisi Undang-Undang ITE, termasuk munculnya kritik dari para tokoh. Fadjroel menyebutkan Presiden mendengarkan kritik dan masukan dari berbagai pihak sebelum memerintahkan perbaikan undang-undang itu. “Presiden ingin menegakkan keadilan dan mewujudkan kepastian hukum bagi masyarakat,” ujar Fadjroel melalui pesan WhatsApp.
Saat rapat dengan para menteri koordinator pada Jumat, 19 Februari lalu, Jokowi menanyakan kepada Mahfud soal progres perintah yang disampaikan empat hari sebelumnya. Kepada Presiden, Mahfud mengungkapkan rencana membentuk dua tim untuk mempelajari peluang merombak undang-undang sekaligus membuat pedoman implementasi. Jokowi disebut-sebut menyetujui ide tersebut.
Pada Senin, 22 Februari lalu, Mahfud kembali mengadakan rapat dengan semua anggota tim kajian revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dua orang yang hadir bercerita, usul membuat pedoman penafsiran menguat dalam rapat itu. Ide tersebut dikemukakan antara lain oleh Menteri Komunikasi dan staf ahlinya, Henri Subiakto. Namun Henri membantah menolak revisi dan berupaya menjelaskan sejumlah pasal karet yang dianggap tak bertentangan dengan konstitusi. Revisi Undang-Undang ITE, kata Henri, sangat terbuka, misalnya dengan memperbaiki redaksional pasal supaya tak multitafsir. “Saya tim yang merevisi, masak saya bilang tidak bisa direvisi,” katanya.
Dalam rapat itu, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo meminta peluang merombak Undang-Undang ITE tetap dibuka. Sugeng merujuk pada sejumlah kasus akibat Undang-Undang ITE, antara lain kasus Baiq Nuril Maknun, guru di Nusa Tenggara Barat yang dihukum enam bulan penjara karena dianggap menyebarkan percakapan telepon dengan atasannya yang melakukan pelecehan verbal.
Mahfud setuju ada dua tim kecil yang bekerja secara paralel. Tim kecil pertama dipimpin Henri Subiakto, yang bertugas merumuskan pedoman implementasi pasal karet dalam Undang-Undang ITE. Tim lain yang diketuai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana bertanggung jawab mengkaji substansi untuk menyiapkan opsi revisi.
Mahfud mengatakan dua tim dibentuk karena mempertimbangkan kemungkinan membuat resultante baru yang nantinya mencakup dua hal. Pertama, pembuatan kriteria implementatif. Kedua, menelaah kemungkinan dilakukannya perubahan undang-undang. “Revisi itu dengan mencabut atau menambahkan kalimat, atau menambah penjelasan di dalam undang-undang itu,” katanya. Seorang pejabat mengatakan pedoman implementasi Undang-Undang ITE akan diterapkan sambil menunggu proses revisi undang-undang selesai di Senayan.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mendesak pemerintah memoratorium perkara terkait dengan Undang-Undang ITE. Menurut dia, pemerintah seharusnya memakai rencana revisi untuk memperbaiki substansi undang-undang itu secara menyeluruh. “Undang-Undang ITE termasuk salah satu regulasi yang menghambat kebebasan sipil di negara ini,” ujar Damar.
RAYMUNDUS RIKANG, NUR HADI (SURABAYA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo