Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pesantren dan Tantangan Global

Pesantren didirikan untuk menghadapi tantangan global, yakni kolonialisme. Setelah kolonialisme tak ada, apa tantangan baru pesantren?

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pesantren didirikan sebagai organisasi kemasyarakatan yang merespons kolonialisme.

  • Kini pesantren menghadapi tantangan yang beragam.

  • Beberapa pesantren telah merespons krisis iklim dan ketimpangan gender.

Ahmad Suaedy
Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia


PESANTREN yang sering dipandang sebagai institusi pendidikan keagamaan tradisional kini menghadapi tantangan global. Tak hanya menjawab kebutuhan otokritik terhadap tradisi dan pemahaman keagamaan, pesantren juga dituntut peduli terhadap lingkungan di era perubahan iklim, mendorong kesetaraan perempuan, mempelajari tata kelola manajemen, dan seterusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada mulanya pesantren memang didirikan sebagai institusi sosial pendidikan keagamaan untuk menghadapi tantangan global, yakni kolonialisme. Pesantren mewarisi model pendidikan tradisi khas Hindu dan Buddha berbentuk padepokan. Ini bentuk komunitas pembelajaran yang terbuka dan membaur dengan masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada praktiknya, pesantren tak hanya memberikan pendidikan agama dalam arti doktrin semata, tapi juga mendorong keterlibatan masyarakat secara umum. Para santri dilatih menjadi pemimpin masyarakat dalam keseharian ataupun upacara-upacara keagamaan. Para kiai melibatkan santri dalam kerja harian dalam pertanian ataupun perdagangan untuk membentuk entrepreneurship yang sederhana dan kemandirian.

Dengan begitu, pesantren memberikan pencerahan kepada masyarakat awam dan kelas bawah ketika tidak ada institusi lain yang mengisinya. Peminggiran oleh pemerintah kolonial, baik melalui sekularisme maupun pemotongan relasi simbiosis keraton dengan kiai, tetap mendorong para pemimpin tarekat mampu memobilisasi kesadaran kritis masyarakat terhadap kenyataan hidup, termasuk penindasan.

Kini ada pergeseran signifikan di dunia pesantren. Salah satunya terjadi berkat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tak hanya menjadi presiden keempat Indonesia yang mewariskan berbagai hasil perubahan cukup drastis ke arah keterbukaan dan demokrasi, Gus Dur juga mendorong transformasi pemahaman keagamaan pesantren atas dunia nyata dan tanggung jawab yang berorientasi pada kemanusiaan. 

Pergeseran itu terlihat dari strategi defensif di masa lalu ke ofensif. Di masa lalu pesantren mundur atau minggir ketika kolonialisme hadir. Para santri memaknai hadis “man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum” (barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka orang itu bagian dari kaum tersebut) dengan gerakan tak memakai dasi dan jas karena pakaian itu menyerupai para penjajah.

Kini pengaruh dari luar itu tidak lagi hanya bersifat fisik, tapi juga ide atau paham dan komitmen. Hal yang positif dari Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan kesetaraan gender, meskipun bertentangan dengan doktrin dan tradisi di pesantren, masuk ke pesantren dengan saringan metode analitis sebelum mereka menolak atau menerimanya.

Pengenalan demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan perempuan, dan kepedulian lingkungan diperkenalkan di dunia pesantren pada 1980-an sesaat setelah khittah Nahdlatul Ulama ke-26 mengantarkan Kiai Haji Ahmad Shiddiq menjadi Rais Am Syuriah dan Gus Dur sebagai Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar NU. Ketika mengenalkan isu-isu itu, saya sering kali terpaksa berhadapan dengan tentara di level lokal yang agresif sembari menghadapi keberatan dari para kiai yang belum bersedia berubah.

Salah satu pesantren yang mencolok perannya dalam kepedulian terhadap lingkungan dan perubahan iklim adalah Annuqayah Luk-Guluk di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Pesantren ini pada 1987 menerima Kalpataru dari pemerintah: sebuah penghargaan atas prestasi tertinggi dalam pemeliharaan lingkungan di Indonesia. Pesantren yang kini dipimpin Profesor Abdul A’la dan KH Panji Taufik itu bahkan punya pembangkit listrik tenaga surya sejak 2018. 

Hal yang sama terjadi di Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur. Pesantren ini mengembangkan hutan mangrove sebagai cara mengatasi abrasi pantai dan pencemaran laut akibat limbah industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap Paiton. Hutan bakau itu kini berkembang menjadi obyek wisata rakyat. Pengelolaan sampah juga dilakukan dengan rapi di kedua pesantren tersebut. Pemberdayaan perempuan, baik awam maupun menengah seperti dosen, nyai, dan guru, dilakukan di kedua pesantren ini meskipun tidak semenonjol program lingkungan.

Pesantren Cipasung di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang kini dipimpin pasangan Ny Hj Ida Nurhaida Chobir dan Kiai Abdul Chobir, sudah lama menjadi salah satu bagian jaringan program pemberdayaan perempuan pesantren melalui Yayasan Puan Amal Hayati pimpinan Sinta Nuriyah Wahid yang berpusat di Ciganjur, Jakarta Selatan. Pesantren warisan Rais Am PBNU KH Ilyas Ruhiyat ini pun membangun selter untuk melindungi perempuan korban kekerasan rumah tangga, bahkan dalam kasus tabu seperti hamil di luar nikah dan inses.

Sinta Nuriyah Wahid boleh dibilang sebagai pendekar dalam kesetaraan perempuan di dunia pesantren. Di samping memiliki ketokohan dan karisma yang menonjol, ia menguasai kitab kuning yang menjadi rujukan otoritatif para pemimpin pesantren. Dengan penguasaan itu, Sinta Nuriyah tak gentar berdebat dengan para kiai yang karismatik dalam silang pendapat mengenai kesetaraan perempuan. Yayasan Puan Amal Hayati memiliki sejumlah institusi satelit pesantren di berbagai daerah dan provinsi di Indonesia untuk pemberdayaan seperti itu.      

Para aktivis kesetaraan gender, baik laki-laki maupun perempuan yang berlatar belakang pesantren, juga menjadi inisiator berdirinya jaringan atau asosiasi ulama perempuan yang bernama Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Asosiasi ini tidak hanya berisi para nyai, tapi juga kiai yang memiliki komitmen terhadap kesetaraan gender. Meskipun asosiasi itu menyebut nama Indonesia dan perempuan, jaringan dan dukungannya bersifat regional Asia Tenggara dan sebagian dunia Islam di beberapa negara maju.

Banyak aktivis, laki-laki ataupun perempuan, muslim dan nonmuslim, di berbagai negara tergabung dalam asosiasi ini. Pasangan KH Husein Mohamad dan Ny Hj Lilik Nihayah adalah pengelola Pesantren Darut Tauhid di Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, yang berkonsentrasi pada kesetaraan perempuan, baik dalam praktik maupun argumen-argumen keagamaan.

Mereka mendorong konsep kesetaraan menjadi bagian dari masyarakat secara alami. Ny Hj Khofifah Indar Parawansa, kini Gubernur Jawa Timur, dan Ny Hj Chusnunia Chalim yang telah malang melintang di berbagai posisi strategis dan politik nasional ataupun lokal adalah dua dari banyak perempuan berlatar belakang pendidikan pesantren. Yenny Wahid dan kakaknya, Alissa Wahid, keduanya putri Gus Dur, telah malang melintang di arena kepemimpinan publik dan kini menjadi pengurus harian NU di bawah KH Yahya Cholil Staquf.

Beberapa nama tersebut hanya sedikit dari cukup banyak tokoh laki-laki ataupun perempuan aktivis dan intelektual sebagai proponen yang menunjukkan komitmen pesantren dalam kesetaraan gender. Sejumlah aktivis KUPI berada di balik kesuksesan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

Tantangan KUPI ke depan, menurut saya, adalah mendorong para ulama perempuan dan aktivis kesetaraan gender meluaskan isu pada ketimpangan secara umum, bukan lagi sekadar ketimpangan gender. Ketidaksetaraan kini menguat di dunia yang kian kapitalistik di berbagai lapangan kehidupan, misalnya di perusahaan, perburuhan, birokrasi, dan pertanian.      

Sebab, Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 juga menuntut transformasi lebih jauh keberadaan pesantren. Jika penanganan isu-isu tersebut bisa dirintis dan diakselerasi membentuk semacam gerakan kolektif, regulasi ini menuntut pesantren menempatkan kiai secara lebih modern, yakni berbagi kekuasaan secara demokratis dalam institusi yayasan atau perkumpulan.

Demikian halnya dengan keharusan adanya dewan masyayyikh di tingkat kabupaten/kota hingga pusat dengan otoritas sebuah institusi yang memiliki legitimasi berbasis undang-undang. Dana abadi yang dikenalkan undang-undang itu untuk pesantren juga mengharuskan institusi pendidikan ini lebih terbuka diaudit publik. Mampukah para nyai dan kiai aktivis menjawab tantangan zaman ini?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus