Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Di Pasar Gula Pahit

Satu per satu harga bahan pangan terkerek. Inflasi mengancam.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Inflasi terkerek kenaikan harga komoditas pangan.

  • Antisipasi pasokan lewat impor gula tak mampu mengerem kenaikan harga gula.

  • Seabrek persoalan mengancam dari dalam dan luar negeri.

SAMBIL ngedumel, Ester Anderi memasukkan sekantong gula pasir ke tas belanjanya. Ia baru membayarnya, Rp 16 ribu per kilogram. "Bukan hanya gula pasir, semuanya naik. Minyak goreng juga masih mahal," ujarnya ketika ditemui Tempo di Pasar Sentral Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua, Sabtu, 16 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riski, pedagang bahan kebutuhan pokok di pasar itu, hanya menggelengkan kepala. Ia pun tak paham mengapa harga gula konsumsi rumah tangga juga menanjak jauh sebelum Ramadan datang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah beberapa bulan terakhir harga bahan pemanis ini naik Rp 2.000 per kilogram dari biasanya Rp 14 ribu per kilogram. Padahal, kata Riski, stok ada. Suplai pun tidak macet. Dalam sepekan, ia mendapat pasokan dua kali. "Sekali ambil 10 karung, masing-masing berisi 50 kilogram," ucapnya.

Riski menduga kenaikan harga terjadi karena suplai sebagian besar bahan kebutuhan pokok di ibu kota Provinsi Papua itu masih mengandalkan kiriman dari luar pulau. "Kami sebagai penjual ikut saja harga dari distributor."

Pekerja mengemas gula mentah impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Juni 2021. TEMPO/Tony Hartawan

Lonjakan harga komoditas pangan di Papua tengah menjadi fokus perhatian pemerintah. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, yang dikembangkan pemerintah dan Bank Indonesia, menunjukkan kolom harga pada komoditas beras, telur ayam, gula pasir, bawang merah, bawang putih, dan cabai merah di Papua merah menyala. Artinya, harga eceran produk di Papua paling mahal dibanding daerah lain di Indonesia.

Harga rata-rata gula pasir di Provinsi Papua, misalnya, mencapai Rp 17.600 per kilogram per 16 April 2022. Di Provinsi Papua Barat, harganya bahkan mencapai Rp 18.650 per kilogram. Angka ini jauh di atas harga acuan pemerintah yang sebesar Rp 13.500 per kilogram berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2022 yang diterbitkan pada akhir Maret lalu. Sebelumnya, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi gula konsumsi rumah tangga sebesar Rp 12.500 per kilogram.

Lonjakan harga gula ini turut mendorong inflasi pada Maret lalu. Badan Pusat Statistik mencatat indeks harga konsumen sepanjang Maret 2022 naik 0,66 persen dibanding pada Februari 2022. Namun inflasi tahunan menyentuh 2,64 persen dibanding pada Maret 2021. Kenaikan harga tertinggi terjadi di kota dan kabupaten wilayah Indonesia bagian timur.

Inflasi bahan makanan, minuman, dan tembakau menjadi yang tertinggi sepanjang Maret 2022, yakni 1,47 persen. Harga semua komoditas di kelompok pengeluaran ini kompak naik. Sebagian besar inflasi disumbang subsektor bahan makanan, seperti cabai merah, minyak goreng, telur ayam ras, bawang merah, cabai rawit, tempe, tahu, daging ayam ras, daging sapi, bawang putih, dan pula pasir.

Kenaikan harga, terutama pada gula pasir, sebenarnya bukan masalah baru. Namun pemerintah tetap terkaget-kaget. Sebab, kebijakan antisipasi telah disiapkan jauh hari. Dalam rapat koordinasi terbatas yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada Oktober 2021, pemerintah berencana mengeluarkan izin impor sebanyak 1,1 juta ton untuk menutup kekurangan pasokan dari produksi gula dalam negeri.

Selama tiga bulan pertama tahun ini, impor gula—baik berupa gula kristal mentah (raw sugar) maupun gula kristal putih siap konsumsi—pun telah dimulai. Meski demikian, harga gula tak kunjung turun.

Berbicara dalam seminar bertajuk “Kesiapan Industri Gula dan Petani Menuju Swasembada Gula Nasional” yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat, 8 April lalu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud menyinggung anomali ini. "Sekarang kita impor banyak pun harga (tetap) tinggi. Situasinya masih tinggi terus, rata-rata Rp 14.500 per kilogram di tingkat konsumen," ujarnya. "Ini yang kita perlu lihat."

Musdhalifah menyinggung hukum ekonomi. "Berarti suplai kurang sehingga harga menjadi tinggi," tuturnya. Dia juga menjelaskan latar belakang keputusan pemerintah mengganti istilah harga eceran tertinggi (HET) menjadi harga acuan. "Pak Presiden tidak mau lagi pakai istilah HET, tapi harga acuan."

•••

IMPOR gula mentah memang tak bisa dihindari. Luas dan produktivitas perkebunan tebu, bahan baku produksi gula, terus mengkeret. Revitalisasi pabrik gula belum berhasil mengerem laju penurunan produksi dalam negeri.

Masa giling gula tebu lokal hanya lima-enam bulan dalam setahun, yakni Mei-November. Sementara itu, stok yang tersisa di pabrik paling lama hanya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sampai Januari atau Februari pada tahun berikutnya.

Warga antre membeli produk kebutuhan pokok, salah satunya gula pasir, di Pekalongan, Jawa Tengah, 18 April 2022. ANTARA/Harviyan Perdana Putra

Ketergantungan pada impor untuk menutup defisit neraca gula kristal putih ini pula yang membuat masalah harga gula tak berkesudahan. Dalam catatan Badan Pangan Nasional, produksi nasional gula kristal putih tak kunjung beranjak alias stagnan di kisaran 2,2-2,3 juta ton per tahun. Sebaliknya, konsumsi terus meningkat, seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk.  

Tahun ini, Badan Pangan Nasional memperkirakan kebutuhan mencapai 3,2 juta ton. Dengan adanya stok awal tahun 2022 sebanyak 744 ribu ton dan proyeksi produksi tahunan tadi, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo mengungkapkan, "Neraca kita tahun ini minus 234.691 ton."

Kekurangan pasokan ditutup dengan mendatangkan produk dari luar negeri. Sesuai dengan hasil rapat koordinasi terbatas yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada Oktober 2021, pemerintah telah mengeluarkan izin impor sebanyak 1,1 juta ton.

Sebagian izin diberikan kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia—induk holding badan usaha milik negara pangan yang populer dengan nama ID Food—untuk rencana impor raw sugar sebanyak 57 ribu ton. PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III (Persero), holding BUMN perkebunan, kebagian tugas mendatangkan gula kristal mentah 100 ribu ton dan gula kristal putih siap konsumsi 150 ribu ton. Sedangkan sisa kuota impor raw sugar, yakni sebanyak 793 ribu ton, dibagikan kepada 12 pabrik gula swasta nasional.

Gula impor asal Thailand yang dipesan PTPN III telah mendarat di Tanah Air. Hingga Kamis, 14 April lalu, sebanyak 105,5 ribu ton gula kristal putih konsumsi rumah tangga telah masuk melalui pelabuhan di Jakarta, Medan, dan Makassar. Sisanya, sekitar 45 ribu ton, akan tiba di Medan dan Jakarta secara bertahap pada dua pekan terakhir April ini.

Sekretaris Perusahaan PTPN III Imelda Alini Pohan memastikan gula siap konsumsi itu telah disalurkan melalui distributor ke beberapa wilayah di Indonesia sebesar 86.453 ton. Sisanya, sekitar 19 ribu ton, sebagian besar akan didistribusikan ke jaringan retail untuk wilayah Indonesia timur dengan kerja sama ID Food. "Ini atas arahan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, 12 ribu ton di antaranya untuk memasok wilayah timur," ucapnya.

Adapun pengadaan raw sugar, hingga Kamis, 14 April lalu, telah terealisasi masuk melalui pelabuhan di Medan dan Surabaya masing-masing sebanyak 25 ribu ton. Gula mentah ini kemudian diolah di pabrik gula milik grup, yakni PTPN II di Sumatera Utara serta PTPN X dan PTPN XI di Jawa Timur. Sebagian hasil produksi diklaim telah diedarkan bersama gula tebu lokal produk masa giling 2022. Pabrik gula di Sumatera Utara telah memulai periode giling pada Februari lalu, lebih cepat ketimbang pabrik-pabrik di Jawa yang dijadwalkan baru masuk masa giling pada akhir Mei nanti.

Separuh kuota impor raw sugar untuk PTPN III yang tersisa, yakni sebanyak 50 ribu ton, akan datang dan diolah secara bertahap di sejumlah pabrik gula milik holding di Jawa Timur. "Delivery raw sugar terakhir akan terjadi sekitar 15 Mei, sejumlah 28 ribu ton," kata Imelda.

Menurut dia, gula konsumsi hasil pengolahan gula mentah yang telah didistribusikan sebanyak 5.132 ton. Sisanya akan didistribusikan bersama minyak goreng ke wilayah Indonesia timur bersama ID Food melalui program tol laut. Gula akan diangkut langsung dari Kuala Tanjung, Sumatera Utara, ke Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Program ini diinisiasi oleh Kementerian Perhubungan.

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi Tempo di Kementerian Pertanian, Jakarta, Maret 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Sementara itu, gula dari India yang didatangkan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) akan mulai tiba pada April ini. "Sebagian sudah datang. Sebagian masih antre di pelabuhan," ujar Direktur Utama RNI Frans Marganda Tambunan kepada Tempo, Rabu, 13 April lalu.

Gula mentah impor pesanan RNI dikirim lewat dua pelabuhan, yakni Tanjung Priok di Jakarta dan Tanjung Perak di Surabaya. Gula yang masuk ke Tanjung Priok selanjutnya diangkut menuju Pabrik Gula (PG) Rajawali II di Karangsembung, Cirebon, Jawa Barat. Sedangkan gula impor yang dibongkar di Tanjung Perak akan digiling di PG Candi Baru di Sidoarjo serta PG Rajawali I di Surabaya, Malang, dan Madiun. Semuanya di Jawa Timur. "Proses giling mungkin akan dimulai akhir April, atau setelah Lebaran nanti," tutur Frans Marganda.

PT Rejoso Manis Indo (RMI), salah satu perusahaan swasta yang memperoleh izin impor raw sugar, juga telah merealisasi sepenuhnya kuota yang dikantongi sebanyak 70 ribu ton sejak Februari lalu. Hingga Kamis, 14 April lalu, pabrik gula RMI di Blitar, Jawa Timur, telah mengolah sekitar 90 persen gula mentah impor itu menjadi gula konsumsi. Sebagian besar hasil pengolahan, kata Direktur Utama RMI Syukur Iwantoro, juga sudah disalurkan melalui distributor ke pasar-pasar di seluruh Indonesia. "Masih ada 7.000 ton di gudang yang setiap hari keluar (didistribusikan) rata-rata 1.000 ton per hari," ujar Syukur kepada Tempo.

Pabrik gula RMI, yang bisa memproses 1.000-1.200 ton gula mentah per hari, kini bersiap menggiling sisa 10 persen raw sugar yang diimpornya. Perseroan menargetkan periode giling gula mentah impor ini rampung dan hasilnya didistribusikan sekitar 20 April 2022. Dengan begitu, Syukur optimistis produksi ini tidak akan mengganggu masa giling tebu lokal yang dijadwalkan berlangsung mulai Mei nanti.

Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian memperkirakan realisasi impor gula mentah yang akan diolah menjadi gula konsumsi sepanjang Januari-April 2022 mencapai 670 ribu ton. Pasokan ini akan ditambah lewat impor gula konsumsi sebanyak 150 ribu ton dan stok awal tahun 744 ribu ton.

Dengan asumsi kebutuhan gula rumah tangga sekitar 250 ribu ton per bulan, Direktur Jenderal Industri Agro Putu Juli Ardika optimistis pasokan gula rumah tangga cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga Lebaran. Keyakinannya pun bertambah lantaran masa giling Mei akan segera dimulai. "Masyarakat tidak perlu khawatir akan kekurangan stok gula," kata Putu.

•••

LANTAS mengapa harga gula eceran terus tinggi? Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi punya jawaban sederhana. "Harga dunia memang sudah tinggi," tuturnya, Jumat, 8 April lalu.

Harga gula kristal mentah di pasar internasional saat ini berkisar US$ 520 per ton. Trennya juga masih cenderung meningkat. Harga kontrak raw sugar untuk pengiriman Mei nanti sudah menembus US$ 541.

Tingginya harga gula mentah di pasar internasional itu, yang melonjak sekitar 30 persen dibanding harga tahun lalu, juga sempat merepotkan PT Rajawali Nusantara Indonesia, BUMN yang mendapat penugasan mengimpor gula mentah untuk kemudian mengolahnya menjadi gula rumah tangga di dalam negeri.

RNI menghadapi masalah lantaran harga tinggi dalam pengadaan tak diimbangi harga penjualan di sisi hilir yang dipatok dengan harga eceran tertinggi—yang kini diganti menjadi harga acuan. "Kami mempertimbangkan timing terbaik dalam pembelian," ucap Direktur Utama RNI Frans Marganda Tambunan. 

Masalahnya tak hanya ada pada selisih harga pengadaan dan penjualan, tapi juga biaya logistik yang meningkat hingga empat kali lipat. Ketersediaan kapal untuk pengiriman barang masih terbatas. Persoalan ini juga turut mendongkrak harga berbagai komoditas dunia.

Arief memastikan Badan Pangan Nasional akan berkoordinasi intensif dengan Kementerian Perdagangan dalam penyediaan pasokan dan stabilisasi harga gula nasional. Selain melibatkan dua BUMN sektor gula, holding PTPN dan ID Food, pemerintah menggandeng Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk mempercepat distribusi. "Kami bersama-sama memastikan pasokan gula nasional cukup dan terdistribusi sebelum Lebaran. PTPN dan ID Food bersama Aprindo akan merealisasinya," ujar Arief, meyakinkan.

Koordinasi juga digalang dengan Kementerian Perhubungan untuk mengoptimalkan program tol laut bagi pangan. Dengan program ini, pemerintah akan memobilisasi stok pangan dari sentra produksi ke semua daerah, terutama daerah terpencil, terluar, dan tertinggal, serta wilayah perbatasan. "Yang paling dekat ini, memobilisasi gula dan minyak goreng. Nanti menyusul sapi hidup dan domba," ucap Arief.

Arief memastikan lembaganya akan berupaya mewujudkan ketahanan pangan nasional. Walau begitu, dia mengingatkan lagi, pasokan dan harga komoditas pangan juga berhubungan dengan kondisi pasar global. Invasi Rusia ke Ukraina menjadi salah satu faktor yang turut mengguncang pasar. Karena itu, solusi untuk mengatasi berbagai masalah di dalam dan luar negeri ini tak bisa parsial. "Harus komprehensif dari semua pemangku kepentingan pangan," tuturnya.

Untuk sementara, sebagai upaya mengatasi lonjakan harga gula, pemerintah akan mempercepat distribusi ke wilayah timur. Targetnya: menghijaukan daerah yang masih berkelir merah pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional.

RETNO SULISTYOWATI, RAMAH (JAYAPURA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus