Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Amerika Serikat rutin mendapat Pengarahan Harian Presiden dari badan intelijen.
Laporan rutin ini dimulai pada masa pemerintahan John F. Kennedy.
Badan Intelijen Negara juga memberikan laporan rutin kepada Presiden Indonesia.
SETIAP Presiden Amerika Serikat modern memulai harinya dengan menikmati “sarapan pagi” berupa Pengarahan Harian Presiden (PDB), dokumen intelijen yang berisi laporan dan analisis paling sensitif di dunia. Laporan ringkas itu merupakan hasil pengumpulan data dari telik sandi Badan Intelijen Pusat (CIA), pos pendengaran dari organisasi mata-mata siber Badan Keamanan Nasional (NSA), dan satelit pengintai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya, sejak 1960-an, perwira intelijen Amerika menyambangi Gedung Putih sebanyak lima-enam hari dalam sepekan untuk menyerahkan PDB kepada presiden. Dalam beberapa masa pemerintahan, dokumen itu diserahkan kepada penasihat keamanan nasional, yang kemudian meneruskannya kepada presiden. Sejak 2005, laporan itu tak lagi hanya berasal dari CIA, tapi juga dari badan intelijen Amerika lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
David Priess, mantan agen CIA yang pernah bertugas memberikan pengarahan ringkas harian kepada presiden, dalam majalah Foreign Affair edisi 26 Februari 2016 menyebutkan PDB mewakili pemenuhan tertinggi dari misi intelijen. Tujuannya adalah memberikan informasi yang akurat, tepat waktu, dan obyektif dari sumber rahasia dan sumber terbuka untuk membantu presiden membela negara dan melindungi kepentingan negara di luar negeri.
Majalah Time edisi 16 Februari 2017 menyebutkan PDB menjadi bentuk komunikasi utama antara CIA dan presiden. John F. Kennedy adalah presiden pertama yang menerima pengarahan ringkas harian itu. Saat itu namanya Daftar Periksa Intelijen Presiden (PICL).
Ajudan militer senior Presiden Kennedy, Mayor Jenderal Chester Clifton, saat itu menyarankan agar laporan tersebut dikemas dalam bentuk yang cukup kecil sehingga dapat dimasukkan ke saku presiden dan dibawa sepanjang hari. Kennedy menerima PICL pertamanya pada 17 Juni 1961 berupa buklet ukuran 8 x 8 inci setebal tujuh halaman di rumahnya di Virginia.
PICL pertama tersebut berisi 14 ringkasan aktivitas di seluruh dunia. Daftar teratasnya berisi laporan tentang Komisi Pusat Partai Soviet yang memulai pertemuan rahasia hari itu saat mereka akan mengubah personel di level tingkat tinggi dalam organisasinya. Bagian lain menyatakan, “Jet tempur Soviet pertama mungkin dikirim ke Kuba.”
Bagian lain dari laporan itu memuat perkembangan dari Filipina, yang berisi kekhawatiran Menteri Luar Negeri Filipina tentang “arah kebijakan Amerika Serikat”. Meski dokumen itu sudah dibuka, masih ada informasi yang dirahasiakan pada bagian yang disunting dengan blok putih. Ada beberapa informasi yang tidak jelas maksudnya karena hanya terbaca “Jepang” dan “Brasil”.
PICL pertama itu dinilai sukses karena Kennedy terus menerimanya. Panjang dokumennya kemudian bertambah, tak lagi tujuh halaman seperti semula. Setelah meninggal, Kennedy digantikan oleh wakil presidennya, Lyndon B. Johnson. CIA mengubah PICL menjadi PDB sejak 1 Desember 1964 yang formatnya menggabungkan laporan singkat dan tambahan analisis.
Sejak itu, presiden menerima PDB melalui media yang berbeda dan pada waktu yang berbeda setiap hari. George H.W. Bush, yang pernah memimpin CIA pada 1976-1977, lebih suka mendapat pengarahan singkat intelijen secara langsung sehingga bisa berkomunikasi dan meminta lebih banyak informasi. Adapun Barack Obama membaca PDB setiap hari melalui tablet.
Dokumen yang awalnya bersifat rahasia itu baru dibuka ke publik setelah dinyatakan tak lagi dikategorikan rahasia (dideklasifikasi) pada 16 September 2015. Melalui Program Tinjauan Sejarah, CIA merilis PDB yang mereka tulis selama masa pemerintahan Kennedy dan Johnson sebanyak 2.500 dokumen yang berisi 19 ribu halaman. PDB era Richard Nixon (1969-1974) dan Gerald Ford (1974-1977) dibuka pada 24 Agustus 2016 dan terdiri atas 2.500 dokumen dengan total 28 ribu halaman.
Pembukaan dokumen rahasia ini adalah bagian dari kepatuhan komunitas intelijen Amerika terhadap Keputusan Presiden Amerika Serikat 2009 agar membuka informasi keamanan nasional yang berusia lebih dari 25 tahun. Direktur CIA John Brennan dan Direktur Intelijen Nasional James Clapper merilis dokumen tersebut dalam sebuah konferensi di Perpustakaan Kepresidenan Lyndon B. Johnson di Austin, Texas.
Dalam konferensi itu, Brennan mengatakan dokumen tersebut bertahan dalam berbagai bentuk di bawah sepuluh presiden. “Hari ini adalah bagian penting dari operasi Gedung Putih sehingga orang tidak dapat membayangkan kepresidenan modern tanpanya,” kata Brennan. Pembukaan dokumen PDB oleh CIA ini patut dicatat karena badan tersebut sebelumnya menentang segala upaya untuk membuka dokumen rahasia kepada publik.
Menurut Time, pengetahuan pertama publik tentang PDB dimulai pada 2004 ketika Presiden George W. Bush mendeklasifikasi bagian dari pengarahan intelijen tanggal 6 Agustus 2001 yang berjudul “Bin Ladin Bertekad Menyerang di Amerika Serikat”. Dokumen rahasia itu diminta oleh Komisi 9/11, badan ad hoc bentukan Kongres Amerika untuk menyelidiki serangan 11 September 2001 yang diyakini dilakukan oleh Al-Qaidah dan merenggut sekitar 3.000 nyawa dengan menggunakan pesawat komersial sebagai senjatanya.
PDB yang sudah dibuka ke publik untuk periode 1961-1977 itu bisa diakses bebas melalui Ruang Baca di situs web CIA. Di antara sekitar 5.000 dokumen itu, terdapat pengarahan ringkas tanggal 28 Januari 1974 yang memuat informasi mengenai Indonesia pada 28 Januari 1974. PDB itu menggambarkan perkembangan politik Indonesia setelah kerusuhan di Jakarta pada saat kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, atau yang dikenal sebagai peristiwa Malari. Laporan itu menyatakan bahwa Presiden Soeharto berencana segera mengumumkan perubahan dalam pemerintahannya. Namun sebagian informasi dalam laporan itu tak bisa dibaca karena diblok putih.
Dalam PDB edisi 17 Maret 1976 juga ada laporan tentang Indonesia di halaman enam yang sama sekali tanpa penyuntingan. Dokumen itu menyebutkan laporan investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang situasi di Timor Timur yang seharusnya akan menimbulkan sedikit masalah bagi Indonesia. Ada juga informasi mengenai pasukan Indonesia yang menguasai semua pusat populasi utama dan instalasi militer di daerah itu.
Seperti halnya di Amerika Serikat, Badan Intelijen Negara (BIN) memberikan laporan secara rutin kepada Presiden Indonesia. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Diandra Megaputri Mengko, mengatakan, saat mewawancarai petinggi badan intelijen untuk studinya, dia mendapatkan informasi bahwa BIN memberikan laporan intelijen itu kepada presiden secara rutin meski tidak setiap hari. “Dalam seminggu pasti ada,” ujar Diandra, peneliti yang berfokus pada kajian intelijen, Kamis, 21 Juli lalu.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam wawancara dengan tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2018, mengaku menerima laporan intelijen dari BIN secara rutin. Tapi ia tidak menjelaskan apakah itu laporan harian, mingguan, atau bulanan. “Memang ada briefing dari Kepala BIN kepada Presiden SBY tentang hal-hal yang dianggap penting dan perlu mendapat perhatian presiden secara langsung,” tutur Muhamad Haripin, tim peneliti intelijen dari BRIN, pada Rabu, 3 Agustus lalu.
Tim peneliti BRIN juga menanyakan apakah laporan intelijen itu membantu presiden dalam pembuatan kebijakan. Menurut Diandra, saat itu Presiden Yudhoyono menjawab “50 : 50”. “Ada beberapa hal yang membantu, ada beberapa hal yang masih lemah. Kalau masih lemah, saya kembalikan dan minta diperdalam lagi,” kata Diandra menirukan jawaban Yudhoyono.
Johan Budi S.P., juru bicara Presiden Joko Widodo periode 2016-2019, mengaku tidak tahu persis soal ada-tidaknya laporan rutin yang diberikan badan intelijen kepada presiden. “Sewaktu saya jadi juru bicara, Kepala BIN itu beberapa kali ikut rapat kabinet kalau terkait soal keamanan,” ucap anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, Rabu, 3 Agustus lalu.
Juru bicara BIN, Wawan Purwanto, membenarkan kabar mengenai laporan intelijen secara rutin kepada presiden. “Laporan harian rutin diberikan kepada end user (presiden),” katanya pada Jumat, 5 Agustus lalu.
Sejak 1967, Amerika Serikat memiliki Undang-Undang Kebebasan Informasi, yang menjadi dasar hukum bagi publik untuk mengakses dan membuka informasi yang berada di badan federal, termasuk dokumen PDB. Indonesia memiliki regulasi yang mirip, yaitu Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Apakah dokumen intelijen yang bersifat rahasia itu bisa dibuka seperti di Amerika masih menjadi tanda tanya. Wawan mengatakan keterbukaan informasi publik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang KIP itu. “Namun, di sisi lain, dalam hal ini Pasal 6 Undang-Undang KIP menyatakan bahwa badan publik berhak menolak memberikan ‘informasi yang dikecualikan’ sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo