Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAMERAN “Manifesto” digelar lagi di Galeri Nasional Indonesia dan Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 27 Juli-26 Agustus 2022. Program dua tahunan ini pertama kali digelar pada 2008 dengan tema “Percakapan Masa”, yang kala itu merujuk pada seabad Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Seiring dengan waktu, tema “Manifesto” berikutnya mendekat pada persoalan-persoalan aktual yang dominan dalam dua tahun terakhir. Pada tahun ini, dewan kurator mengajak perupa menjadi penyaksi dan pengamat sosial lewat tema “Transposisi”.
Manifesto adalah julukan menarik lantaran dengan mudah menautkan kita pada Manifesto Politik-Usdek yang dicanangkan Presiden Sukarno pada 1959. Ini merupakan pernyataan populer yang mengajak bangsa Indonesia mematuhi Undang-Undang Dasar 1945 serta mengerti sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia. Jangan lupakan pula Manifesto Kebudayaan, gerakan yang mencanangkan humanisme universal pada 1963, sekaligus menolak hegemoni politik dalam seni dan budaya.
Lantaran konotasi “manifesto” memang mepet-mepet ke arah sana, konten pameran ini juga “pernyataan sikap” para perupa terhadap situasi dua tahun terakhir. Yang tentu dikaitkan dengan kurun sebelumnya dan diproyeksikan ke masa-masa berikutnya. Pernyataan sikap itu diwujudkan dalam bentuk seni rupa.
Yang menarik, pernyataan sikap yang dibiarkan subyektif tersebut pada gilirannya menggumpal dan menjadi penyataan sikap semi-obyektif. Hal seperti ini terlihat dalam pameran yang dikuratori Suwarno Wisetrotomo, Citra Smara Dewi, Teguh Margono, dan Riski A. Zaelani tersebut. Misalnya, dalam pajangan terlihat dan terbaca karya seni yang (diam-diam) menatap khazanah kebudayaan asli Indonesia. Karya-karya tersebut mewacanakan unsur-unsur kebudayaan leluhur dengan mengacu pada tradisionalitas Nusantara. Atau bahkan mengangkat unsur-unsur seni tradisional dalam perwujudan seni rupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seni instalasi Nita Azhar, Jejer Nusantara. Agus Dermawan T
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perhatikan wacana yang terbayang dalam Gunungan Nusantara karya Ajisaka, Arjuna Silhouette ciptaan Wildan Febry Akbar, Wayang Wong karya Ida Bagus Candrayana, atau Monumen Wayang ciptaan Nasirun. Karya Gurat Art Project pun mengingatkan eksistensi seni lukisan klasik Bali legendaris lewat Diorama Lukisan Kamasan.
Pada bagian lain, Arwin Hidayat mengangkat mitos kelahiran dalam Kakang Kawah Adi Ari-ari. Lalu Friski Jayantoro membuka kembali ungkapan kuno dalam karya Empan Papan. Dalam kebudayaan Jawa, kakang kawah adi ari-ari adalah dua sosok gaib. Kakang artinya kakak dan kawah yang dimaksud adalah ketuban atau air yang keluar sebelum bayi lahir. Adapun adi artinya adik. Ari-ari adalah plasenta yang keluar setelah bayi lahir. Dalam kepercayaan, Kakak Ketuban dan Adik Plasenta akan menjaga si bayi dari godaan setan sampai berusia selapan dina atau 35 hari.
Adapun empan papan dimaknai sebagai kesadaran seseorang ihwal kedudukannya di tengah struktur sosial. Orang yang menyadari posisinya akan selalu bertindak terukur. Sementara itu, orang yang melupakan filosofi empan papan pasti terlempar ke tepian. Karya Friski mengajak orang menghayati kebudayaan nenek moyang itu. Jadi nanti tidak akan terjadi peristiwa pejabat nyolong, guru mesum, dan semacamnya.
Menyimak terbitnya inspirasi tradisionalisme Nusantara dalam pameran “Manifesto”, penggemar sejarah mendadak diingatkan pada situasi seni rupa hampir 50 tahun silam. Kala itu, pada 1974, Biennale Seni Lukis Dewan Kesenian Jakarta memberi hadiah untuk karya Abas Alibasyah, Widajat, Irsam, A.D. Pirous, dan Aming Prayitno. Seniman muda menengarai bahwa penghargaan atas lukisan-lukisan dekoratif itu merupakan embrio upaya pemerintah untuk mengembalikan orientasi seni Indonesia ke tradisionalisme dalam bentuk garis besar haluan budaya.
Kehebohan berlanjut ketika sejumlah seniman muda lain menggelar pameran “Nusantara! Nusantara!” di Gedung Karta Pustaka, Yogyakarta. Parodi seni rupa tradisionalisme ini memuat pernyataan, “Jangan jadikan tradisionalisme sebagai obyek, meski atas nama kebudayaan nasional. Biarkan tradisionalisme Nusantara eksis dengan caranya sendiri dan menyusuri sejarahnya sendiri. Apabila sudah waktunya, tradisionalisme akan terbangkitkan dengan ungkapan-ungkapan baru.”
Pameran “Manifesto Ke-8" yang diikuti 108 perupa seperti mengisyaratkan kebangkitan itu. Bahwa rupa tradisional itu sangat menarik dan layak diambil sebagai inspirasi seni kontemporer, hal tersebut terbuktikan dalam karya-karya yang ada.
Satya Wacana karya I Gede Jaya Putra. Agus Dermawan T
Patung dinding Alfis Noor, Taksu, mengabadikan tabung pemadam api yang sudah lumat di bagian bawahnya. Tabung yang berjasa ini dihiasi mahkota indah, seperti yang biasa dipakai oleh penari legong dan serimpi. Izal Batubara menyajikan Yet Another Playful Image of Selfie. Dengan media campuran, ia menunjukkan kepada banyak orang bahwa ada satu lagi gambar latar selfie yang sungguh menyenangkan hati. Ciptaan itu berbentuk relief modern berwarna kelabu yang dengan mudah mengantar pemirsanya pada imaji relief di Candi Borobudur dan Prambanan.
Lukisan Ni Luh Gede Widiyani, Synchronization, menceritakan penari Bali dan penari (topeng) Jawa sedang berdialog. Yang muncul sebagai latar belakang adalah citraan komponen motherboard atau printed circuit board. Selembar lukisan ini memadukan elemen tradisional dengan elemen teknologi yang sangat modern.
Seni instalasi Nita Azhar, Jejer Nusantara, menyajikan boneka seperti memedi sawah atau lelakut, yang biasa dipasang untuk menakuti burung-burung pengutil buah padi. Nita menyusun perca batik berbagai corak untuk dijadikan busana lelakut. Di bawah lelakut terdapat sejumlah kendi, yang oleh orang Jawa dijunjung sebagai pemilik kehidupan, karena menyimpan air di dalamnya. Latar belakang patung ini memampang geber bergambar kepulauan Indonesia yang dijaga gunungan wayang kulit.
Yang tak kalah menarik adalah patung I Gede Jaya Putra, Satya Wacana. Ia memajang sepeda motor berwarna-warni, bersayap, dan berhias-hias bagai wayang Bali. Di samping sepeda motor terlihat potongan-potongan gambar ritus tradisional agama Hindu. Ketika memahami bahwa kata satya wacana berarti kesesuaian tindakan dengan ucapan, karya itu menjadi simbolis. Ia menyuruh sepeda motor (atau siapa saja) berjalan di koridor tujuannya. Jangan ke mana-mana.
Dalam pameran Manifesto kali ini para perupa diam-diam membuat pernyataan tentang posisi budaya lama Nusantara di masa kini. Mereka sekaligus mengeksplorasi spirit dan visual budaya lama untuk ungkapan seni baru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo