Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Merespons Barang-barang Pribadi Affandi

Para perupa kontemporer menafsirkan artefak peninggalan maestro seni lukis Affandi.

6 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNGKUSAN aneka merek tembakau pipa atau cangklong milik Affandi yang disimpan di kamar Affandi oleh perupa Angki Purbandono dibawa ke Galeri 2 Museum Affandi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat dua bungkus amfora merah dan hijau serta dua kaleng merek Erinmore dan Royal Yacht. Tak ketinggalan pipa cangklong ukuran paling besar hingga terkecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angki hendak memindai bungkus-bungkus rokok dan cangklong itu. Sepasang sandal jepit milik Affandi yang sudah lusuh dan menghitam permukaannya juga dibawa. Pun sepasang kaus kaki putih bergaris hijau merek Puma yang bersih dan terkesan belum pernah dipakai. Tak lupa tongkat Affandi yang bergagang hitam dan sudah rapuh. Detail-detail lubang pada bagian permukaannya tampak jelas dimakan umur. Ada pula konde istrinya, Maryati. Warnanya abu-abu lantaran helai-helai rambut hitamnya yang memutih hendak dipindai pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ketinggalan seperangkat alat lukis Affandi, dari kuas gambar berukuran kecil hingga kuas cat tembok berukuran besar. Ada juga pensil dan pensil warna serta bungkusnya yang bermerek Staedtler bergambar badut. Juga sisa cat warna dalam tube-tube.

Benda-benda pribadi lain adalah berbagai bintang penghargaan yang pernah diterima Affandi, juga foto hitam putihnya berkalung syal. Terdapat pula wayang berlakon Sukrasana, si raksasa bertubuh kerdil. Juga aneka bunga dan daun dari taman di sekitar museum. Benda-benda itu dipajang di museum dalam wujud gambar pindaian.

“Saya scan langsung benda-benda ini di atas mesin scanner,” ucap Angki Purbandono, Kamis, 14 Juli lalu. Pameran tersebut merupakan kelanjutan dari peringatan 32 tahun kematian Affandi atau haul Affandi pada 23 Mei lalu. Selama pengerjaan, Angki memboyong peranti cetaknya ke kamar Affandi di lantai dua. Saat pembukaan pameran, Angki menurunkannya ke Galeri 2. Ia ingin pengunjung bisa melihat proses kreatif yang disebutnya “archaicing performance” yang baru pertama kali dilakukan dalam pameran itu. Pameran ini bertujuan menyajikan arsip dan artefak peninggalan Affandi dalam bentuk karya digital.

Karya berjudul Jalinan Doa dalam Kaca dari Ivan Bestari yang merespon wadah tube Affandi di Galeri 2 Museum Affandi, 14 Juli 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Tak semua benda yang direkam mempunyai ukuran lebih kecil ketimbang mesin pemindai. Untuk yang berukuran lebih besar, Angki harus memindai berulang. Lalu pindaian disatukan utuh lewat proses editing dalam komputer. Setelah digitalisasi, hasilnya perlu diedit kemudian didramatisasi ulang, baik dalam warna, komposisi, estetika, maupun maknanya. “Semua akan terkomposisi karena saya dengarkan cerita benda-benda tersebut yang dibantu narasi keluarga (Affandi),” tutur Angki.

Pengunjung dibuat berhenti cukup lama untuk melihat gambar-gambar pindaian Angki. Mereka seolah-olah tengah berhadapan langsung dengan benda-benda peninggalan Affandi yang belum pernah mereka lihat. Seperti menikmati karya-karya fotografi, lantaran gambar pindaian itu mirip dengan aslinya. “Saya mencoba menghadirkan detail-detail tongkat Affandi yang rapuh dimakan rayap,” kata Angki, yang ingin punya museum seperti Affandi.

Di sudut ruang lain, perupa kaca Ivan Bestari mengejutkan pengunjung dengan menggantung wadah-wadah cat dalam tube milik Affandi yang sudah kosong. Tube-tube itu direplikasi Ivan dengan material kaca yang dijalinnya satu per satu dengan memanfaatkan panas api. Hasilnya berupa puluhan tube karya tiga dimensi yang digantung di langit-langit dengan judul Jalinan Doa dalam Kaca. Warnanya putih kuning keemasan yang dibentuk meliuk-liuk seperti ikan.

Ada juga karya “usil” ilustrator Yohanes Paganda Halasan Harahap—yang akrab dipanggil Agan Harahap. Dia melakukan kolase foto dengan menempatkan sosok Affandi berdiri di antara perupa kelahiran Belarus, Marc Chagall; perupa surealis asal Spanyol dengan kumis seperti tanduk, Salvador Dali; dan perupa aliran kubisme asal Spanyol, Pablo Picasso. Ketiganya adalah pendahulu Affandi yang masih hidup semasa Affandi malang melintang. Dalam foto itu, Salvador Dali memegang kertas gambar berisi sketsa belum jadi. Mereka berempat seolah-olah tengah membahasnya.

Karya berjudul Cirebon 1962 itu terinspirasi dari film Midnight in Paris. Film itu mengisahkan bagaimana sekonyong-konyong seniman Henri Toulouse Lautrec bisa satu geng dengan Ernest Hemingway, Dali, dan Picasso. Itu pula yang ditampilkan Agan yang berandai-andai Affandi berkenalan dengan tiga perupa kaliber itu saat berpameran di Paris pada 1953. Lalu berlanjut dengan residensi tiga perupa tersebut ke tanah kelahiran Affandi di Cirebon, Jawa Barat, pada 1962. 

Para muralis dan perupa grafiti turut merespons kenangan tentang Affandi di tembok-tembok sepanjang Jalan Affandi di sebelah barat museum. Dulu jalan itu disebut Jalan Gejayan yang dikenal karena aktivitas aksi massa di pertigaan dengan slogan “Gejayan Memanggil”. Sejak 20 Mei 2007, nama jalan itu diubah menjadi Jalan Affandi.

“Biar jalan ini menjadi jalan berbudaya dengan slogan ‘Affandi Memanggil’,” kata kurator pameran, Mikke Susanto.

Ada 22 muralis yang digawangi seniman street art, Digie Sigit. Mereka merespons tembok-tembok kosong, kotak PLN, rolling door, dan pintu toko dari sisi selatan di kawasan Pasar Demangan hingga ujung utara sebelum jalan lingkar utara. Mayoritas melukiskan sosok Affandi. 

Sigit, misalnya, mengganti pipa cangklong yang menjadi kekhasan melekat pada Affandi dengan kaleng semprot. Dalam muralnya, Sigit menggambar Affandi yang sudah memutih rambutnya, berkaus merah, dan tengah memegang kaleng semprot. Dilatari aneka coretan tulisan grafiti, satu yang tampak terang terbaca adalah tulisan “Solidarity” bercat putih.

“Dialektika Affandi tak lekang zaman. Anak-anak street art sekarang pun adalah generasi yang dilahirkan dari spirit Affandi,” ujar Sigit.

Para seniman street art membuat karya mural di jalan itu karena terinspirasi Affandi yang juga biasa melakukan life performance di jalanan, kampung-kampung, dan pasar. Menurut Sigit, hal itu juga yang dilakukan para street artist.

“Seniman tak boleh terjebak di wilayah eksklusif. Seniman harus mendekat kepada publik,” ucap Sigit, yang berharap Jalan Affandi bisa menjadi museum street art Yogyakarta atau museum seni rupa di ruang publik.

Karya kolase foto Agan Harahap berjudul Cirebon 1962 di Galeri 2 Museum Affandi, 14 Juli 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Pameran karya sembilan perupa dan puluhan muralis itu berlangsung cukup lama hingga 11 September mendatang. Tak sekadar menghidupkan kembali museum yang mati suri akibat pandemi Covid-19, menurut Mikke, pameran ini juga bertujuan mengenal Affandi lebih jauh. Hal ini mengingat 100-an judul arsip yang dikumpulkan dari dekade 1940-2000-an untuk dipamerkan lebih banyak mengisahkan sejarah hidup dan reputasi seniman.

“Tentang karya Affandi tak terlalu mendalam. Pemikiran, humanisme, proses kreatif, dan teknik melukisnya jarang dikupas lanjut,” kata Mikke.

Pameran itu juga menyertakan beberapa karya si empunya museum. Di antaranya lukisan Place de Terte yang menggambarkan suasana Montmartre pada 1977. Affandi menggambarkan keriuhan seniman yang tengah melukis turis-turis di sana berlatar bangunan-bangunan tinggi. Tak lupa ia menyematkan bola matahari yang memancarkan cahaya kuningnya. Tempat itu pernah menjadi kiblat karya seni modern. Perupa Pablo Picasso pun pernah tinggal di sana. 

Ada pula lukisan pemuda yang terduduk memeluk lutut. Baju putihnya lusuh dengan noda merah darah. Di sampingnya ada seorang serdadu memegang laras panjang. Affandi memberinya judul Mata-mata Musuh, buatan 1947. Karya ini menggambarkan gerilyawan yang menjadi mata-mata untuk menggagalkan agresi musuh, tapi harus menerima siksaan karena tertangkap.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus