Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengubah Sejarah Seni Dunia dari Jakarta

Documenta, pameran seni akbar dunia, berlangsung di Kassel, Jerman. Acap jadi parameter seniman dunia yang sesungguhnya.

25 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran seni lima tahunan Documenta digelar di Kassel, Jerman

  • Komunitas Ruangrupa dari Jakarta menjadi direktur artistiknya.

  • Momen untuk menahbiskan siapa yang layak disebut sebagai seniman dunia yang sesungguhnya.

INI keempat kalinya saya mengunjungi Documenta, sebuah perhelatan yang disebut sebagai pameran terpenting dalam skala global, yang diselenggarakan di Kota Kassel, Jerman, yang acap dilihat sebagai momen untuk “menahbiskan siapa yang layak disebut sebagai seniman dunia yang sesungguhnya”. Bagi para seniman, tampaknya diundang menjadi bagian dari Documenta adalah puncak prestasi. Begitulah mitos selama ini dibangun; meneguhkan dominasi nilai dan sistem seni Barat sebagai penentu medan seni kontemporer global, bahwa Documenta yang dikonstruksi oleh sistem Barat inilah yang menjadi jantung pemikiran seni dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa kurator mengguncang pemikiran tersebut dengan memperluas khazanah kultural dan perspektif geopolitik dari mereka yang terlibat, misalnya yang dilakukan oleh Okwui Enwezor pada 2002, yang pada akhirnya menjadi pembuka beragam kemungkinan baru bagi posisi seniman kulit hitam dalam seni global. Sebagai catatan, sampai penyelenggaraan ke-14 pada 2017, belum ada satu pun seniman Indonesia yang pernah diundang berpartisipasi dalam Documenta. Hebatnya, pada Documenta 15 ini justru seniman Indonesia berperan penting sebagai direktur artistik.

Dari empat pengalaman mengunjungi Documenta, inilah pengalaman terbaik saya menjadi warga dunia. Saya tak hanya bangga menjadi warga Indonesia karena direktur artistik perhelatan kali ini adalah kolektif seni kawakan dari Indonesia, Ruangrupa, tapi juga lantaran saya melihat suara-suara belahan bumi selatan yang selama ini senyap dan acap terlupakan mendapat panggung yang layak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Instalasi Agus Noor Amal (PM Toh), di Grimmwelt, Kassel, 14 Juni 2022. ​​Nils Klinger

Warga selatan selama ini ditempatkan di kotak kuota dalam banyak peristiwa seni internasional. Dalam Documenta 15, Ruangrupa mengambil alih (reclaim) “ruang sakral” ini, mengacak-acak mekanismenya yang selama ini telah mapan, menawarkan satu metode dan cara kerja baru yang lebih adil dan setara untuk semua. Melalui konsep “Lumbung” yang mereka bawa, pengetahuan dan percakapan lokal tentang sistem kerja kolektif menjadi sumbu utama kerja besar ini. Dengan meminjam lumbung sebagai metafora untuk wahana dan kepemilikan bersama, Ruangrupa menempatkan spirit kolektivitas sebagai cara baru memproduksi, melihat, dan memaknai seni dalam lapis-lapis dunia yang kompleks; tidak percaya pada kekuatan seniman sebagai si genius tunggal, melainkan proses kolaborasi dan partisipasi yang berkelanjutan.

Nyatanya, kolektif seni dari berbagai penjuru, terutama dari kawasan global selatan, berhasil menunjukkan bagaimana spirit kerja yang komunal, menolak mekanisme komodifikasi dan sistem kapitalistik dalam seni, meskipun sering dilihat sebagai utopia, masih punya kemungkinan untuk meretas ruang-ruang mapan. Melalui “Lumbung”, Ruangrupa mendesakralisasi ruang seni, membuka pintu-pintu yang selama ini terkunci, membongkar sekat-sekat yang telah lama memisahkan seni dengan warga. Dalam konteks sejarah Documenta dan Kassel sendiri, atau pergerakan secara umum di Eropa, tempat seni telah tumbuh dalam struktur-struktur dan ruang kubus penuh kepastian, gebrakan Ruangrupa tentu memunculkan provokasi di satu sisi dan gelombang energi di sisi lain.

Pada malam pembukaan, Sabtu, 18 Juni lalu, Kassel yang biasanya cukup lengang—kota ini hanya berpenduduk 200 ribu orang—tiba-tiba menjadi ingar-bingar karena belasan panggung musik digelar. Di panggung utama, Friedrichsplatz, Nasida Ria membuka perhelatan lewat pertunjukan “dangdut perdamaian”, yang kemudian dipelesetkan seniman Tisna Sanjaya menjadi “Documenta perdamaian”, dengan kostum muslim hitam dan hijau mereka. Para seniman partisipan berjoget di area depan panggung, bergembira merayakan kebersamaan.

Presentasi dan wahana bermain di ruang Barn Norg Collaborative Arts and Culture, Documenta Halle, Kassel, Jerman. Alia Swastika

Dalam perjalanan ke sekretariat panitia, saya berjalan bersama rombongan itu, dan tiba-tiba ada beberapa orang yang mengikuti kami untuk berfoto bersama Nasida Ria, bahkan banyak bertanya tentang kostum yang mereka kenakan. Setelah itu, penampilan DJ Lebanon menghidupkan suasana. Lalu Oomleo dari Ruangrupa berkaraoke mengajak pengunjung menyanyi bersama dengan layar teks raksasa yang dipasang di samping kanan-kiri panggung. Tentu saja sebagian orang Eropa tampak canggung, dan tersenyum melihat kami begitu bersemangat berjoget dan menari. Friedrichsplatz kemudian seperti menjelma menjadi alun-alun yang lebih chaos dan spontan, orang-orang bertemu dan menyapa. 

Ada kurang-lebih 30 situs tempat karya-karya dipamerkan. Sebagian besar kolektif memperluas jejaring dengan mengundang seniman lain tanpa melihat lagi batas negara (nasionalisme) dan bahkan batas kolektif sendiri. Dengan sistem terbuka dan kolaboratif semacam ini, setidaknya ada 1.500 seniman yang terlibat dan membuat Documenta tidak lagi menjadi ruang bagi segelintir elite seniman. Sebagian kolektif juga bekerja dalam konteks riset artistik sehingga sebagian materi yang ditampilkan adalah dokumentasi, pustaka, dan arsip riset.

Di Fridericianum, Asia Art Archive, The Black Archive, dan kolektif Lebanon mengusung materi berkaitan dengan dekolonisasi seni, aktivisme seni, dan bagaimana membaca gerakan seni dalam konteks politik yang lebih luas. Arsip beberapa proyek di Asia, seperti Womanifesto, jejaring seniman pertunjukan Asia Tenggara, juga gerakan kelompok Suriname dalam ketegangan relasi kuasa dengan Belanda, menjadi materi yang relevan dengan situasi masa kini di Eropa. 

Karya seniman Bangladesh Britto Arts Trust memenuhi dinding di Documenta Halle, Kassel, Jerman pada 12 Juni 2022. Nicolas Wefers

Di Documenta Halle, seni adalah ruang bagi kerja politik dengan cara baru yang spontan, penuh kegembiraan, pekat dengan sinisme dan amarah, tapi juga berdaya guna. Kelompok yang didirikan oleh Tania Bruguera di Havana, Instituto de Artivismo Hannah Arendt (Instar), merupakan bentuk perlawanan kolektif seniman Kuba dalam upaya memperjuangkan kebebasan berekspresi dan menolak tirani pemerintah. Dalam Documenta 15, Instar akan menggelar 10 pameran, yang digelar tiap 10 hari, yang semuanya berfokus pada sikap-sikap kritis seniman dan intelektual Kuba dalam perjuangan di medan politik negara yang penuh ketegangan. Pameran yang digelar pada minggu pembukaan Documenta 15, misalnya, menampilkan serangkaian imaji perlawanan terhadap rezim yang bermain dengan kontrol dan kekuasaan. Selain itu, berbagai diskusi digelar di ruang ini yang terutama mengangkat tema represi, sensor, dan kemungkinan-kemungkinan seni dalam situasi politik yang kritis.

Baan Noorg Collaborative Arts and Culture, kolektif dari Thailand utara, malah membangun wahana skateboard di ruang pamer dan menyajikan wayang-wayang kulit dengan karakter komikal dari orang-orang yang sehari-hari bekerja di wilayah agraris itu, bergabung dengan narasi Ramayana yang menjadi mitologi lokal yang populer. Tak seperti pameran lain yang biasanya senyap dan hening, pameran Baan Noorg justru membuat suasana penuh tawa, riuh-rendah, menghubungkan mereka yang awalnya sama-sama asing. 

Di ruang yang sama, kolektif Bangladesh, Britto Arts Trust, memenuhi dinding pameran berskala raksasa itu dengan wajah beberapa karakter film Bangladesh yang dibuat selepas pemisahan Bangladesh dan Bengali Barat, India. Menurut Tayeba Begum Lipi, salah satu pendiri Britto, semua film yang mereka pilih berbicara tentang krisis pangan dalam masyarakat Bangladesh. Dari situ, proyek berlanjut. Britto menciptakan toko dengan barang-barang yang semua dibuat dengan tangan berbahan keramik, persis seperti aslinya. Seperti pasar-pasar di Asia Selatan, toko ini menyajikan aneka rempah, bubuk kunyit, wijen, bubuk jahe, kacang-kacangan, dan lainnya yang dipajang dalam kantong-kantong goni yang dibuat dari keramik tersebut.

Karya Jatiwangi Art Factory di Hubner Areal Documenta 15, Kassel, Jerman. Alia Swastika

Britto seperti membawa toko kelontong Asia, yang kerap menjadi ruang bertemu bagi warga migran Asia di Eropa, sekaligus mengungkap sejarah perdagangan rempah dan kolonialisme, juga sirkulasi komoditas dalam kapitalisme global masa kini. Proyek ini kemudian terhubung dengan Paggan Kitchen di kebun belakang gedung, tempat mereka menanam beragam tanaman rempah lokal dan mengenalkan resep lokal melalui berbagai lokakarya pangan. Politik pangan menjadi cara bagi Britto untuk membicarakan beragam aspek identitas, trauma kekerasan/perang, lingkungan, dan sebagainya.

•••

KOLEKTIF Indonesia, Taring Padi dari Yogyakarta dan Jatiwangi Art Factory dari Majalengka, Jawa Barat, mendapat ruang besar dalam perhelatan ini. Taring Padi, yang berdiri pada 1999 dan menjadi bagian penting dalam perjuangan mahasiswa serta aktivis reformasi 1998 dan periode setelahnya, menampilkan arsip poster dan banner yang mereka buat selama masa “turun ke jalan”, mengusung isu antimiliterisme, antikorupsi, serta protes atas hilangnya hutan dan ladang pangan demi percepatan pembangunan dan industrialisasi, dan poster-poster dukungan terhadap keberlanjutan hidup masyarakat adat pada periode setelah 2010. Beberapa foto yang menunjukkan bagaimana spanduk-spanduk ini muncul di jalanan sebagai bagian dari demonstrasi politik juga dipajang di dinding ruangan.

Jumlah spanduk berskala besar yang masif ini dengan segera menarik perhatian audiens, yang melihat intensitas kerja kolektif Taring Padi sebagai hal mengagumkan, terutama karena hampir semua dikerjakan dengan teknik cukil kayu yang detail. Di luar gedung Hallenbad Ost, mereka memajang wayang-wayang kardus hasil lokakarya dengan beragam komunitas di Indonesia. Di Kassel pun mereka sempat menyelenggarakan lokakarya yang mengundang warga lokal untuk membuat wayang kardus dan hasilnya dipajang di halaman Documenta Halle. 

Jatiwangi Art Factory memperluas jejaring kerjanya melalui agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) New Rural Agenda. Mereka mengundang kelompok-kelompok lain untuk bercakap dalam forum yang membicarakan peran wilayah pinggiran pada kehidupan masa depan. Dari Indonesia, presentasi dibawakan oleh kelompok KAHE dari Maumere, Nusa Tenggara Timur; Lakoat.Kujawas dari Mollo, NTT; Institut Mosintuwu dari Poso, Sulawesi Tengah; Kampung Mataraman dari Sewon, Daerah Istimewa Yogyakarta; dan beberapa komunitas lain, juga seniman Tisna Sanjaya.

Karrya seni oleh seniman Rumania Dan Perjovschi di kolom Museum Fridericianum saat pameran seni Documenta 15 di Kassel, Jerman, 15 Juni 2022. REUTERS/Lisi Niesner

Di ruang pamer di area Hubner, Jatiwangi Art Factory juga memajang karya-karya instalasi berbasis tanah liat yang menjadi karakter khas kawasan Jatiwangi (yang menyebut diri sebagai kota terakota), yang bertemu dengan karya-karya seniman lain. Yang cukup fenomenal, mereka juga mengusung Festival Rampak Genteng, sebuah pertunjukan musik partisipatoris yang kali ini melibatkan warga Kassel yang memainkan alat-alat musik dari genting dan olahan tanah liat lain. Sebagai penutup KTT New Rural Agenda, pertunjukan menjadi sebuah peristiwa terbuka yang penuh kegembiraan dan spontanitas, bertolak dari materi lokal yang ada sebagai pijakan pengetahuan bersama. 

Penampilan oomleo berkaraoke saat konser pembukaan Documenta 15 di Friedrichsplatz, Kassel, Jerman, 2022. Nicolas Wefers

Tak jauh dari ruang Jatiwangi Art Factory, Fondation Festival sur le Niger menggelar ruang yang memungkinkan pengunjung melihat bagaimana sebuah festival bisa menjadi penggerak solidaritas sosial, memperkuat identitas kolektif, dan merawat tradisi-tradisi yang relevan dengan daya hidup kontemporer. Isu migrasi dan pengungsian juga menjadi wacana penting yang dimunculkan oleh beberapa kolektif. Trampoline, kelompok asal Denmark, menggelar beberapa dokumentasi dan artefak dari proyek-proyek seni yang mereka adakan bersama kelompok pencari suaka yang tinggal sementara di Denmark. Serangkaian video wawancara, majalah dan zine, serta teks yang digambarkan di tembok memberikan suara bagi mereka yang sulit mendapat tempat dalam wacana arus utama. Ghetto Biennale dan Atis Rezistans dari Haiti mengisi Gereja St. Kunigundis dengan serangkaian patung dari besi-besi bekas yang secara kuat menggambarkan spirit adat. Sebuah patung besar Papa Legba, spirit yang menyimbolkan penyambutan, dipasang di area taman gereja. 

Penampilan Nasida Ria saat konser pembukaan Documenta 15 di Friedrichsplatz, Kassel, Jerman, 2022. Nicolas Wefers

Bukan hanya kolektif, beberapa seniman juga menampilkan karya individual, yang juga sarat dengan posisi kritis atas beragam relasi kuasa. Marwa Arsanios menampilkan seri terbaru Who’s Afraid of Ideology yang ia kerjakan sejak 2017. Mengambil konteks Libanon, Arsanios menunjukkan bagaimana kehidupan komunal di sana berupaya memperbaiki kualitas tanah dengan percobaan agrokultural, dengan masyarakat lokal menjadi subyek proses itu sendiri. Karya seniman Vietnam, Nguyen Trinh Thi, And They Die a Natural Death, (2022) merupakan karya yang terdiri atas cahaya, suara, dan instalasi teater dengan bayangan hutan cabai diproyeksikan ke dinding bangunan Rondell, bergerak real-time, memberikan sensasi sensorik untuk audiens. Pencerita asal Banda Aceh, PM Toh (Agus Nur Amal), juga menggelar serangkaian pertunjukan.

•••

DOCUMENTA 15 “Lumbung” adalah gebrakan besar dalam dunia seni kontemporer; ia menabrak konvensi-konvensi seni yang telah membentuk elite-elite kebudayaan, mengkritik moda pameran kubus putih yang menjauhkan seni dengan warga, dan menerabas hierarki-hierarki yang menciptakan kelas privilese dalam dunia seni. Melalui konsep ini, metode-metode kerja seniman dan kolektif dari belahan dunia selatan, yang acap dipandang chaos, “berantakan”, spontan, tapi menunjukkan posisi politik yang jelas, telah meretas sistem konvensional seni yang berbasis pada museum, institusi, dan galeri. Dalam wilayah teoretis, beberapa istilah mengenai praktik semacam ini—seni terlibat (social engaged art), seni partisipatoris, seni relasional, dan sebagainya—telah diciptakan oleh akademikus (Barat) untuk mendefinisikan praktik-praktik dari negeri yang jauh. Sebagai Direktur Artistik Documenta 15, Ruangrupa membebaskan diri dari definisi-definisi itu sehingga setiap kolektif dan seniman punya ruang untuk mengartikulasikan sendiri praktik mereka dalam bahasa yang sesuai dengan konteks lokal. 

Ruang pamer yang memajang karya-karya Taring Padi di Hallenbad Ost, Kassel, Jerman, 14. Juni 2022. Frank Sperling

Selama pekan pembukaan, saya bertemu dengan beberapa kurator dan akademikus seni dari berbagai institusi di Amerika, Eropa, dan Asia. Bagi mereka, Documenta 15 menjadi tonggak penting bagi upaya untuk membayangkan masa depan baru seni kontemporer, yang dalam dua atau tiga dekade terakhir menjadi terkotak dalam sistem dan mekanisme pasar global yang dominan sehingga wacananya cenderung mandek. Tampaknya, jalan yang diretas Ruangrupa melalui konsepnya diapresiasi cukup baik karena memberi peluang kritik diri yang penting dalam sistem operasi seni rupa kontemporer. Perubahan besar seni dunia berawal dari Jakarta, Indonesia? Betapa membanggakan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Alia Swastika

Alia Swastika

Pengamat seni rupa

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus