Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunitas Ruangrupa, Jakarta, menyiapkan pameran akbar Documenta di Kassel, Jerman, selama sekitar dua tahun.
Demi menyiapkan Documenta anggota Ruangrupa dan keluarganya menetap di Kassel.
Ruangrupa menjadi Direktur Artistik Documenta yang pertama asal Asia.
“SEBENTAR ya, aku hari ini sulit wawancara. Peristiwa penutupan banner ini memang sangat menyita perhatian kami,” demikian Iswanto Hartono memberi kabar ketika harus menunda wawancara yang telah ia janjikan. Iswanto adalah salah satu anggota Ruangrupa yang banyak menangani perkara teknis dan produksi pameran. Semenjak 2020, ia bersama keluarganya, juga beberapa anggota Ruangrupa lain, memutuskan pindah ke Kassel, Jerman, agar bisa bekerja penuh mempersiapkan penyelenggaraan Documenta, perhelatan seni terbesar di dunia. Dengan latar belakang arsitek, Iswanto bertanggung jawab menyiapkan semua ruang pamer dan tata artistik pameran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja, menangani produksi dalam skala sebesar itu bukanlah hal mudah. Ada ribuan karya yang harus diperhatikan, puluhan ruang dan gedung yang harus dikoordinasi, serta ribuan keribetan seputar izin dan birokrasi yang tidak mudah di Jerman. “Ruangrupa tidak hanya berharap pameran berlangsung lancar, kami juga berupaya membayangkan moda produksi yang lebih berbasis etis dan berdampak kecil pada lingkungan,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu bentuk upaya ini adalah membentuk jaringan material olahan bahan bekas dari seluruh Jerman dan bahkan beberapa negara lain di Eropa untuk menyediakan keperluan pameran. Meskipun tampaknya cita-cita itu sangat luhur, nyatanya tidak mudah meyakinkan komite Documenta untuk menjalankan ide ini. Mereka harus bernegosiasi cukup alot sampai akhirnya ide itu diterima. “Akhirnya hampir 80 persen material pendukung pameran ini adalah materi upcycle,” Iswanto menjelaskan. Adapun ihwal tempat dan gedung pameran, Ruangrupa sudah menetapkan pilihan tiga tahun yang lalu, meskipun dalam satu tahun terakhir banyak penambahan sehingga total mereka menggunakan 35 lokasi.
(Dari kiri) Iswanto Hartono, Farid Rakun, Reza Afisina, Ade Darmawan, saat workshop bersama tim artistik Documenta Fifteen dan ruangrupa di Kassel, Jerman, 2019. Nicolas Wefers
Selain hal teknis dan material produksi, mekanisme yang diubah secara radikal oleh Ruangrupa adalah pemerataan dan transparansi dalam distribusi pendanaan. Dalam penyelenggaraan Documenta sebelum-sebelumnya, sering ada jenjang yang sangat besar antara satu seniman dan seniman lain, atau gaji seniman (artist’s fee) yang justru sangat kecil dibanding biaya produksinya. Ruangrupa melihat mekanisme tersebut tidak cukup adil dan setara. “Dalam konsep lumbung ini, kami bertujuan mendistribusikan kesejahteraan bagi semua kolektif yang terlibat. Sistemnya dirancang secara transparan dan demokratis,” kata Ade Darmawan, pendiri Ruangrupa, tentang mekanisme pendanaan produksi pameran. “Ya, filosofi lumbung yang kami terapkan termasuk bagaimana tiap kolektif akan punya dana simpanan untuk membantu keberlanjutan kerja-kerjanya di masa depan.”
Tentu saja proposal Ruangrupa ini harus didiskusikan secara mendalam dengan komite penyelenggara Documenta. Perubahan drastis kerja-kerja individu menjadi jejaring dan ekosistem kolektif sendiri membutuhkan proses adaptasi yang tidak mudah. “Bagi kami, posisi direktur artistik dan komite penyelenggara harus setara dulu. Jadi kami bukan dipersunting Documenta menjadi direktur artistik sehingga harus bekerja dalam sistem dan agenda mereka, tapi menawarkan kerja sama kemitraan dan kolaboratif sehingga bisa menjalankan mekanisme yang lebih terbuka dan demokratis,” ujar Ade. Menurut Iswanto, dana produksi pameran yang mereka kelola sebesar 10-15 juta euro.
Para anggota tim lain, Farid Rakun, Reza Afisina—yang juga tinggal di Kassel tiga tahun belakangan bersama keluarganya—Indra Ameng, Sari Julia, Ajeng Nurul Aini, Mirwan Andan, dan Daniella F., semua mempunyai peran masing-masing, seperti menangani program, pers dan publikasi, serta program anak. “Bekerja dalam kolektif artinya memang proses mendengar dan menerima pendapat banyak orang sehingga dalam pengambilan keputusan ada proses negosiasi satu sama lain. Nah, bagi organisasi Documenta, hal ini juga merupakan sesuatu yang baru,” kata Iswanto.
Tim artistik Documenta Fifteen dan anggota ruangrupa (berdiri, dari kiri) Lara Khaldi, Iswanto Hartono, Gertrude Flentge, Mirwan Andan, Julia Sarisetiati, Ajeng Nurul Aini, Ade Darmawan, (bawah, dari kiri) Frederikke Hansen, Reza Afisina, Indra Ameng, di ruruHaus, Kassel, Jerman, pada 2021. Nicolas Wefers
Apakah mereka sering mengalami bentrokan karena cara kerja yang berbeda dan, yang lebih parah, perlakuan meremehkan karena berasal dari Asia? “Pada awalnya mungkin mereka melihat cara kerja ala Asia ini memang tampak sembarangan, ya, jadi mereka cukup hati-hati menerima. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, mereka melihat bahwa teknik, cara, atau pengetahuan kami bisa menjadi alternatif solusi yang strategis,” tuturnya.
Sebagai Direktur Artistik Documenta pertama asal Asia, Ruangrupa memang menawarkan perubahan-perubahan struktur kerja yang radikal. Hal ini tak hanya menjadi tantangan tersendiri untuk menguji keterbukaan masyarakat Eropa terhadap tawaran dan mekanisme baru dari kawasan global selatan. Dalam konteks pasca-Black Lives Matter dan pasca-pandemi, kenyataan perbedaan budaya ini juga sering dibayangi asumsi berbasis ras atau kenyataan kesenjangan masyarakat dunia. Iswanto mengakui, “Ya, kadang-kadang terasa ada penyikapan yang berbeda karena kami dari Asia, tapi kami sendiri harus bergulat dan menyatakan posisi kami yang setara.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo