Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran lukisan koleksi dan poster ekshibisi Dewan Kesenian Jakarta.
Membaca ulang seni rupa Taman Ismail Marzuki di Gedung Panjang.
Pameran seni rupa perdana selepas renovasi Taman Ismail Marzuki.
“PENDERITAAN meja adalah penderitaan saya. Problem meja adalah problem saya. Semua obyek yang saya lukis sesungguhnya bagi saya adalah self-portrait. Sebab, ketika kita sudah menyatu dengan obyek, sudah tidak ada lagi jarak dan keterpisahan antara kita dengan obyek.…” Kalimat panjang almarhum perupa Nashar itu dapat kita dengar melalui earphone dari rekaman audio yang disajikan dalam pameran “CIPTA! Kapita Selekta Cikini Raya 73” di Galeri Gedung Panjang Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ucapan Nashar itu bagian dari wawancara Nashar dengan seorang mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta pada 1979 di kawasan TIM yang rekaman kasetnya dimiliki oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kepada mahasiswa itu Nashar menjelaskan kredo melukisnya. Nashar menekankan, tatkala menghadapi obyek atau alam benda apa pun, penghayatan harus lebih utama daripada pengetahuan. Sejak 1968, Nashar mengatakan baginya obyek-obyek dan benda-benda bukanlah sesuatu sosok yang ada di luar dirinya, tapi ada dalam dirinya. Orang menyebut lukisan Nashar abstrak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam interview tersebut mahasiswa itu juga bertanya sampai seberapa jauh Nashar terpengaruh oleh gaya dan teknik lukisan perupa lain. Nashar menjawab tegas: “Mengapa kita takut kepada pengaruh? Picasso juga bertolak dari gaya pelukis-pelukis Eropa sebelumnya. Namun, dengan penghayatannya yang dalam, Picasso mampu menjadikan gaya-gaya itu miliknya sendiri. Yang jadi problem adalah bila seorang pelukis belum mampu menyatu dengan apa yang dilukisnya tapi ia sudah terkena pengaruh gaya. Itu bahaya.”
Sejak TIM diresmikan oleh Ali Sadikin pada 10 November 1968 dan DKJ dikukuhkan pada 17 Juni 1969, lebih dari 50 tahun kini, DKJ memiliki ratusan koleksi lukisan, grafis, rekaman ceramah-ceramah dan diskusi-diskusi, poster, foto-foto, serta bundel-bundel arsip. “Harta karun” itu kini berusaha ditata lebih sistematis dan aman. Dalam pameran perdana yang “memerawani” gedung-gedung anyar TIM (tapi masih banyak gedung yang belum rampung pengerjaannya, misalnya, gedung pengganti Graha Bakti Budaya), pengunjung juga bisa mendengarkan cuplikan-cuplikan ceramah dan diskusi seni rupa dalam sejarah TIM yang dianggap penting.
Bagian belakang ruang pameran yang menyajikan audio rekaman ceramah-ceramah progam DKJ dalam Pameran bertajuk Cipta Kapita Selekta Cikini Raya 73 di Gedung Panjang, TIM, Jakarta, 23 Juni 2022. TEMPO/Subekti
Selain wawancara dengan Nashar, misalnya, ada audio ceramah Profesor Sudjoko dari Institut Teknologi Bandung pada 1971 tentang desain dan seni terapan, rekaman diskusi Sudjojono dan Sanento Yuliman, ceramah Jim Supangkat dalam diskusi Pameran Besar Seni Rupa 1978, ceramah Oesman Effendi, debat tentang gerakan seni rupa baru yang dimoderatori teaterawan Putu Wijaya pada 1977, serta cuplikan diskusi perupa Hardi. Rekaman-rekaman itu adalah kesaksian bagaimana pemikiran-pemikiran senantiasa berkelebat dan muncul tak henti-hentinya dalam sejarah TIM.
Audio itu disajikan dengan tata letak ruangan yang rapi. Ruangan pameran yang besar memungkinkan pengunjung berjalan leluasa. Untuk materi lukisan, kurator Ady Nugeraha dan Esha Tegar Putra menyeleksi dan membagi koleksi DKJ menjadi beberapa tema, antara lain tema “Lukisan-Lukisan Dunia Minyak Indonesia”, “Dari Sudut-sudut Kota”, “Tentang Manusia”, “Gambar tanpa Gambar”, “Nashar tentang Nashar”, dan “Grafis: Seni/Desain”. Tema “Lukisan Dunia Minyak Indonesia” diambil dari pameran 1974 hasil kerja sama DKJ dengan Pertamina. Saat itu pameran diikuti oleh Rusli, Srihadi, Soeparto, Zaini, Arif Soedarsono, Soekamto, Umi Dachlan, dan Popo Iskandar. Mereka oleh Pertamina dibiayai untuk berkunjung ke ladang-ladang minyak Pertamina dan melukis. Proyek ini sendiri memicu polemik tentang apa arti seniman, kebebasan, dan karya pesanan.
Umar Kayam dalam harian Kompas pada Juli 1974, misalnya, menurunkan tulisan “Ketemu Rusli dan Nashar: Tentang Order Lukisan Pertamina, “Maecenas”, Isme, Kebebasan, dsb-nya itu….” Kayam mewawancarai bareng-bareng Rusli yang ikut serta dalam proyek Pertamina itu dan Nashar yang tak bersedia terlibat. “Asal Pertamina tak mendikte seniman, saya tak masalah,” ujar Rusli kepada Kayam. Sementara itu, Nashar mengaku tak akrab dengan obyek yang ditawari. “Kalau mereka menawarkan obyek yang aku kenal, lain soalnya,” demikian kilahnya kepada Kayam. Apa pun, pameran ini sebuah terobosan DKJ. Untuk pertama kalinya sebuah korporasi besar mengkoleksi lukisan. Karya Rusli dan kawan-kawan itu oleh Pertamina kemudian digunakan untuk gambar kalender.
Pada tema “Tentang Manusia”, lukisan Dede Eri Supria tentang sosok Trisno Sumardjo langsung mencolok mata. Trisno, sang penerjemah karya-karya Shakespeare itu, ditampilkan khusyuk merokok. Terlihat eksistensial. Lukisan Basuki Resobowo juga disajikan. Kemudian tema “Gambar tanpa Gambar” menyajikan karya-karya abstrak dari Cikini dan ITB yang berbeda gaya. Zaini, Oesman Effendi, dan Nashar dikenal mengembangkan gaya abstrak yang lain dengan gaya Bandung yang diusung Sadali, Pirous, dkk yang menurut mereka “formal” dan “akademis”. Koleksi DKJ sendiri atas karya-karya Nashar cukup banyak: sembilan lukisan, dari yang masih menampilkan figur sampai murni abstrak permainan dinamika warna.
Sementara itu, untuk tema “Grafis: Seni/Desain” ditampilkan karya terkenal Hardi, Suhardi Presiden RI 2001; Bonyong Munni Ardhi, Bibir 75; dan Jim Supangkat, Pengumuman. Ada pula serigrafi dari G. Sidharta, Rita Widagdo, Kaboel Suadi, T. Sutanto, Sunaryo, dan Joesoef Effendi. Seni grafis juga menjadi bagian eksperimen di TIM. Tentunya masih banyak tema yang bisa diangkat. DKJ, misalnya, pasti memiliki berbagai koleksi sketsa, dari sketsa Ipe Ma’aroef, Danarto, sampai Oesman Effendi yang tak ada dalam pameran. Koleksi patung yang dimiliki DKJ juga belum ditampilkan.
Yang juga membetot mata adalah dipasangnya poster-poster pameran seni rupa di TIM buatan 1970-an, dari poster pameran Amang Rahman, Zaini, A.D. Pirous, Rustamadji, Kusnadi, Rusli, Handrio, Affandi, Widayat, D.A. Peransi, Irsam, Sudjana Kerton, Yusuf Effendi, hingga Popo Iskandar. Ada pula poster karya But Muchtar, Wandi S., Srihadi, Hardi, Nasjah Djamin, Abas Alibasyah, Agus Jaya, Umi Dahlan, Fadjar Sidik, Dede Eri Supria, Nunung W.S., dan Amri Yahya. Poster yang ditampilkan antara lain Pameran Keramik Humor, Asia Pasific Dalam Poster Polandia, Pameran Seni Grafis Belanda Masa Kini, Australian Ceramics, dan sebagainya.
Desain poster-poster itu bergaya retro tapi terasa kuat. Di samping itu, ada poster berbagai pertunjukan, seperti pentas teater Caligula, pentas Meta Ekologi dari Sardono W. Kusumo, pentas Tai dari Teater Mandiri, dan Festival Teater Remaja. Sayang, para kurator tidak membahas siapa pembuat desain poster-poster di TIM yang khas itu. Apakah juga perupa seperti Danarto? Gaya poster-poster TIM buatan 1970-an bisa disebut memiliki cita rasa estetis tersendiri.
Poster acara Kesenian pada pameran bertajuk Cipta! Kapita Selekta Cikini Raya 73 di Galeri Gedung Panjang, TIM, Jakarta, 18 Juni 2022. ANTARA/Dodo Karundeng
Masih banyak “harta karun” DKJ. Pada bagian belakang ruang pameran disajikan tumpukan kaset audio rekaman ceramah-ceramah program DKJ. Ada ceramah Goenawan Mohammad, A. Kasim Ahmad, Wiratmo Soekito, Ali Audah, Paul Stange, antropolog peneliti paguyuban kebatinan Sumarah dari Australia, dan banyak lainnya. Pameran ini seolah-olah membaca ulang sejarah panjang pemikiran seni rupa di TIM. Gedung-gedung lama yang melahirkan karya dan pemikiran-pemikiran yang gambarnya tercetak dalam katalog dan gagasan-gagasannya yang terekam dalam kaset-kaset berpita itu kini sudah tak berbekas. Jejak masa lalu ruangan-ruangan pameran TIM sama sekali tak ada. Gedung Panjang sendiri (disebut begitu karena gedung itu bentuknya memanjang dan belum diberi nama) menempati tempat yang sebelumnya lokasi warung-warung tenda TIM yang selalu menjadi rendezvous seniman.
Sebuah gedung baru tidak serta-merta memunculkan pemikiran-pemikiran kesenian penuh terobosan. Juga tidak menjamin melahirkan karya-karya monumental dan menggugah yang mampu menimbulkan dialektika pertukaran pikiran yang bernas. Sebuah pusat kesenian disebut berhasil bila mampu membangun atmosfer kreativitas yang mampu menstimulus banyak seniman berpikir out of the box dan memunculkan gagasan-gagasan tidak terduga. Serta mampu memicu karya-karya lintas disiplin.
Tari, teater, seni rupa, dan film kita tahu bukanlah disiplin-disiplin dengan sekat-sekat dinding tebal yang terpisah, tapi gagasannya bisa saling merembes satu sama lain. Pada 1970-an kita mendengar di TIM bahwa Nashar bisa menginspirasi Teater Mandiri. Sementara itu, Rudjito, sebagai seorang skenografer, nasihat-nasihat tata panggungnya senantiasa didengarkan kelompok teater dan tari mana pun. Pada zaman itu, gelanggang-gelanggang remaja seperti Bulungan menjadi satelit-satelit kreatif TIM. Banyak seniman seperti Dindon W.S., pendiri teater Kubur, lebih dulu “digodok” di Bulungan sebelum berlaga di TIM. TIM pada 1970-an disebut mampu menciptakan ekosistem kesenian Jakarta yang bergairah.
Siang itu tampak pengunjung milenial hilir-mudik memasuki ruang pameran Gedung Panjang. Kelahiran baru Taman Ismail Marzuki agaknya mencuri perhatian kalangan muda. Tema pameran yang mengangkat highlight sejarah seni rupa di TIM seolah-olah menjadi bayangan pengingat tersendiri. Apakah seterusnya Gedung Panjang mampu melahirkan pameran-pameran dan pemikiran-pemikiran seni rupa yang bermutu sebagaimana tempo doeloe?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo