Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banner raksasa karya Taring Padi memicu kontroversi di pameran seni Documenta
Karya Taring Padi diprotes otoritas Jerman karena dianggap anti-Semitis.
Mengapa banner rakasasa itu dianggap membangun stereotipe buruk terhadap kaum Yahudi?
PARA seniman peserta Documenta dan beberapa warga Kassel, Jerman, berkumpul di Friedrichsplatz di depan Documenta Halle, Senin, 20 Juni lalu, untuk menyaksikan penutupan banner raksasa karya kolektif asal Yogyakarta, Taring Padi, dengan kain hitam. Karya spanduk berjudul People’s Justice yang diciptakan pada 2002 ini diprotes otoritas Jerman karena mengandung citra visual yang dianggap anti-Semitis atau membangun stereotipe buruk terhadap kaum Yahudi. Dalam konteks masyarakat Jerman dengan sejarah gelapnya, gambar semacam itu sulit termaafkan. Apalagi beberapa minggu sebelum Documenta 15 dibuka, perdebatan tentang isu anti-Semit sudah cukup panas. Sehari sesudah peristiwa itu, spanduk tersebut akhirnya dilepas, bahkan para seniman ikut mengangkut figur wayang kardus hasil lokakarya bersama warga Kassel yang tadinya terpasang di area bawahnya. Perdebatan tentang hal ini menyebar luas di berbagai kalangan, yang semua menuntut jawaban dan penjelasan komprehensif dari seniman, kurator, dan komite penyelenggara Documenta sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banner People’s Justice karya Taring Padi itu pada awalnya dibuat untuk keperluan pameran di Adelaide, Australia, pada 2002. Kala itu, Indonesia masih dalam masa transisi dari Orde Baru. Sebagian besar gambar dalam spanduk ini menunjukkan kritik pedas terhadap rezim militer yang masih memegang kendali, juga kasus kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang belum terselesaikan, termasuk pembunuhan massal 1965. Taring Padi memasukkan berbagai kosakata visual yang diposisikan sebagai simbol kekerasan dan kekejian. Tampaknya ada karakter yang menampilkan stereotipe orang Yahudi bertopi dengan tulisan “SS” yang dimunculkan sebagai simbol kekejian. Dalam konteks Indonesia, dengan sejarah panjang persilangan dan konstruksi dogmatis atas sejarah Yahudi dan Islam yang secara politik dipersempit menjadi masalah agama, percakapan semacam ini cenderung satu arah. Akibatnya, stereotipe-stereotipe yang memojokkan acap diterima begitu saja, tanpa mempercakapkan konteks yang lebih luas.
Akademikus ilmu religi dan budaya St. Sunardi melihat ada perbedaan konstruksi sejarah dalam dua budaya ini. Mengomentari kasus banner Taring Padi, St. Sunardi menyebutkan, “Kontroversi karena ada ‘SS’ itu, ya. ‘SS’ kan dipakai sebagai salah satu simbol kejahatan dalam sejarah, simbol kekejian. Simbol ini dipakai oleh seniman Indonesia untuk mengkritik kondisi waktu itu. Nah, orang Jerman pasti tidak suka simbol ini karena mengingatkan sejarah pahit mereka. Ini salah satu kemungkinan tafsiran. Apakah sang seniman mendukung tentara SS? Seharusnya tidak.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penutupan baliho karya Taring Padi yang berjudul People's Justice (2002) di Friedrichsplatz, Kassel, Jerman, 20 Juni 2022. Iswanto Hartono
Dalam pernyataan terbuka seusai peristiwa tersebut, Taring Padi menjelaskan bahwa simbol-simbol visual yang muncul mesti dilihat dalam konteks yang spesifik Indonesia dan mereka sama sekali tidak bermaksud menampilkan posisi anti-Semitis atau kelompok ras tertentu dalam perspektif negatif. Secara terbuka mereka juga meminta maaf atas kealpaan tersebut dan menerima bahwa banner itu tak bisa dipasang lagi di Kassel.
Secara spontan masyarakat seni bertindak cepat menolak ajakan memboikot Documenta 15. Clara Kim, kurator Tate Modern, dan seniman Korea Selatan yang tinggal di Berlin, Haegue Yang, menggulirkan petisi berisi seruan solidaritas untuk bersama-sama mendukung Ruangrupa dan Documenta. Dengan keberhasilan besar Ruangrupa sebagai Direktur Artistik Documenta 15, yang memberikan harapan akan masa depan baru seni kontemporer, tokoh-tokoh seni melihat pentingnya menolak aksi boikot Documenta. Selanjutnya, mereka juga menyatakan pentingnya memisahkan isu dan agenda politik sehingga hal itu tidak menjadi pertimbangan utama dalam menilai praktik seni yang tengah ditawarkan Ruangrupa dan seniman-seniman yang terlibat.
Lebih jauh, tantangan besar dalam melihat persoalan ini adalah bagaimana sistem sosial seni di Eropa yang tampaknya guncang oleh terobosan yang ditawarkan seniman Asia yang dianggap datang dari kawasan global selatan atau kawasan yang tadinya dianggap lebih terbelakang (Dunia Ketiga) menggunakan isu-isu politik sebagai cara untuk menjegal serta menghambat progres dan revolusi seni. Tampaknya, di kalangan seniman partisipan dari Asia, solidaritas yang saling menguatkan untuk mencegah tindakan-tindakan rasis sekarang menjadi hal yang menumbuhkan harapan; bahwa seni berhasil memancing diskusi tentang kompleksitas konflik sosial yang selama ini tersembunyi dan menjadi sebuah laboratorium resolusi konflik yang alot dan penuh risiko tapi sekaligus ruang untuk saling belajar dan mendengarkan.
Di tengah Friedrichsplatz, Sabtu, 18 Juni lalu, saya bersama ribuan orang lain mendengarkan dan mendendangkan lagu “Perdamaian” yang dinyanyikan Nasida Ria pada malam pembukaan perhelatan ini. Dengan semangat mengusung simbol muslim yang moderat dan terbuka, Ruangrupa seperti menyodorkan tawaran untuk mengatasi islamofobia yang pekat di Jerman sekaligus menunjukkan rentang kehidupan muslim yang beragam. Lagu yang menjadi milik warga, menyerukan harapan damai bagi semua orang. Betapa kontras dengan ujaran kebencian yang kemudian bersahutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo