Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Umi Sardjono memimpin Gerwani menjadi organisasi perempuan paling progresif pada zamannya.
Gerwani ditumpas karena dituduh terlibat dalam G30S.
Umi Sardjono cenderung menarik diri setelah ditangkap karena rasa bersalah.
SESAMA tahanan politik mengingat Umi Sardjono di penjara irit berbicara. Ia pendiam. Beberapa saksi menyatakan jarang melihat perempuan yang terlahir dengan nama Suharti Sumodiwirjo itu tertawa lepas. Dalam penjara, dia diisolasi. Sering mereka menyaksikan di penjara Umi termenung dalam sepi, sendiri, sembari menyulam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demikian juga saat ia sudah bebas dari penjara. Bekas Ketua Umum Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) itu cenderung hidup dalam kesunyian. Ia tak banyak menghadiri pertemuan mantan tahanan politik. Kepada beberapa orang yang mengunjungi, Umi jarang sekali mengeluh tentang kesulitannya. Pada tahun-tahun menjelang meninggal, Umi kerap ditemui oleh mereka yang hendak menggali informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada 30 September 1965, dari peneliti, wartawan, hingga aktivis perempuan. Tapi, setiap kali ditanyai, Umi cenderung enggan berbicara tentang pengalamannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wartawan Tempo saat melawati gang sempit akses rumah Umi Sardjono di jalan Tegalan III, Matraman, Jakarta yang telah dibongkar dan diratakan oleh pemilik baru, 29 September 2021. TEMPO/STR/Nurdiansah
Saskia E. Wieringa, penulis buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, pernah menemui Umi pada sekitar 1981, beberapa tahun setelah ia keluar dari tahanan. Kepada Tempo, Wieringa mengatakan saat itu Umi yang terbaring di kasur menyambutnya ramah. Namun Wieringa dapat merasakan trauma yang dipendam perempuan itu. Wieringa menghindari pertanyaan dengan topik penyiksaan dan periode pemenjaraan Umi. Dia mengingat momen itu sebagai pertemuan yang sangat emosional.
“Ia merasa sangat bersalah, bertanya berulang kali, apa kekeliruanku? Apakah aku yang bertanggung jawab atas semua ini?” kata Wieringa menirukan Umi dalam surat elektronik pada Sabtu, 18 September lalu. Terasa jiwa Umi masih terguncang bila ia ditanyai sedikit saja tentang perempuan-perempuan yang ditangkap dalam operasi militer, dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani, dan kemudian disiksa, dipenjara. Mereka disiksa karena dituduh terlibat dalam peristiwa di Lubang Buaya—“mencungkil mata jenderal”, “menyilet-nyilet kemaluan”, “menari-nari telanjang”—sesuatu yang sama sekali tak benar.
Tatkala wafat pada 11 Maret 2011, saat berusia 87 tahun, Umi tak meninggalkan tulisan memoar apa pun. Padahal dari arsip sejarah Gerwani kita tahu Umi mampu menulis pidato dan laporan tentang hak-hak wanita dan perdamaian yang jelas, runtut, serta visioner.
Pembaca, memasuki hari-hari peringatan peristiwa 30 September 1965, Tempo kembali menghadirkan laporan khusus sebagai ikhtiar menguji klaim-klaim sejarah yang diproduksi rezim Soeharto seputar tragedi itu. Kami ingin menuliskan riwayat hidup, aktivitas, dan pemikiran Umi Sardjono. Umi adalah Ketua Umum Gerwani yang langsung diciduk beberapa hari setelah percobaan kudeta terjadi. Umi, yang pada saat itu juga menjabat anggota parlemen, ditangkap di Senayan, lalu ditahan di penjara Bukit Duri, Jakarta. Bersamaan dengan itu, padam jugalah segala keyakinan dan perjuangan Umi.
Tempo pernah menerbitkan liputan investigasi mendalam tentang peristiwa pembantaian 1965 langsung dari para algojonya, juga laporan panjang mengenai sosok-sosok petinggi PKI yang dituduh sebagai dalang Gerakan 30 September 1965, seperti Njoto, Sjam Kamaruzaman, dan D.N. Aidit. Setiap edisi itu memiliki tantangan masing-masing. Demikian pula saat kami menuliskan riwayat Umi Sardjono.
Tantangan utama menuliskan riwayat Umi adalah banyak saksi kunci yang melihat langsung sepak terjang Umi telah menemui ajal. Umi pun nyaris tak meninggalkan jejak yang dapat ditelusuri. Seperti dikatakan sebelumnya, dia tak meninggalkan catatan harian, tulisan, atau apa pun. Rumahnya di Jalan Tegalan III, Jakarta Pusat, pun kini telah rata dengan tanah. Anggota keluarga terdekatnya tak dapat dilacak. Kuburnya pun tak lagi bisa ditemukan. Beruntung, sejumlah penulis dan sejarawan sempat mendokumentasikan kisah Umi sebelum kematiannya, meski berupa potongan-potongan. Hampir semua narasumber yang Tempo ajak berbicara sepakat bahwa Umi adalah sosok yang enggan bercerita banyak.
Bukan hanya Saskia E. Wieringa yang susah “mengorek” informasi dari Umi. Annie Pohlman, peneliti sejarah Indonesia dari Queensland University, Australia, misalnya, yang pernah tiga kali bertemu dengan Umi, selalu merasa Umi dilanda kewaspadaan dan ketegangan. Setiap kali bertemu di rumahnya di Tegalan, Umi meminta Pohlman berbicara dalam bahasa Inggris. “Dia tak mau pakai bahasa Indonesia,” ujar Pohlman dalam wawancara lewat Zoom, 3 September lalu. “Sebenarnya dia meminta menggunakan bahasa Belanda saja karena dia fasih sekali, tapi saya hanya bisa bahasa Inggris.”
Umi juga tak mengizinkan wawancara itu direkam. Pohlman hanya diperkenankan membuat catatan. Jika terdengar suara tetangga atau langkah orang berjalan di depan rumahnya, Umi segera terdiam. Dia baru akan melanjutkan pembicaraan jika situasi sudah benar-benar sepi. Umi selalu curiga dirinya senantiasa diawasi, sekalipun pertemuan itu terjadi pada 2005—tujuh tahun setelah rezim Soeharto runtuh.
Utati dan Mujiati eks Tahanan Politik di Bukit Duri saat ditemui wartawan Tempo di Depok, Jawa Barat, Sabtu 25 September 2021. TEMPO/STR/Nurdiansah/ND20210925
Dari Ruth Indiah Rahayu, yang banyak bertemu dengan Umi sepanjang 2004-2009, kami merekonstruksi masa muda Umi. Menurut peneliti IndoProgress Institute for Social Research and Education itu, Umi kecil berkesempatan mengenyam pendidikan karena kedudukan ayahnya sebagai pamong praja. Umi tekun membaca Habis Gelap Terbitlah Terang karya Kartini, juga melahap tulisan-tulisan Karl Marx dan pemikiran Clara Zetkin. Kepada Ruth, Umi bercerita tentang siksaan yang ia alami saat ditahan Jepang karena menjadi kurir politik gerakan bawah tanah. Umi digantung terbalik seperti kalong dan terpaksa meminum kencing sendiri. Namun penyiksaan itu tak membuat Umi berhenti berjuang. Tidak seperti penangkapan pada 1965, yang langsung membuat segala gairah Umi padam dan hanya menyisakan trauma mendalam.
Sejarawan Ita Fatia Nadia, yang juga anak tokoh kelompok Pathuk, Dayino, punya kelekatan dengan Umi. Ita memiliki cerita tentang periode pembentukan pemikiran ideologis Umi saat terlibat dalam grup Pathuk di Yogyakarta. Tempo juga mengirim orang untuk mereportase markas kelompok perjuangan itu di Yogyakarta. Perihal Gerwani dan program-program memihak perempuan yang diperjuangkan Umi, kami juga berdiskusi dengan Ita serta Agung Ayu Ratih, pendiri Institut Sejarah Sosial Indonesia. Agar tak terjebak dalam glorifikasi, kami berusaha membahas kiprah Gerwani secara obyektif dan menyoroti sejumlah pilihan kontroversial mereka, seperti kedekatan dengan Sukarno serta sikap mendua mereka mengenai poligami dan peperangan.
Tentunya kami juga sedapat mungkin menjangkau narasumber yang hidup sezaman dengan Umi. Meski sudah sepuh, dua mantan tahanan politik, Mudjiati dan Utati, masih dapat berkisah tentang masa-masa mereka di penjara Bukit Duri bersama Umi. Mereka juga masih bertemu dengan Umi sekeluar dari penjara meski Umi memilih menarik diri dan tak banyak terlibat dalam kegiatan kelompok penyintas 1965.
Adapun penulis Lilik H.S. dan Fransisca Ria Susanti, yang sempat menemui Umi pada akhir masa hidupnya, bersaksi tentang nyala yang tetap ada di mata Umi meski trauma puluhan tahun telah menggerusnya. Saat membesuk Umi di rumah sakit, Fransisca mendengar perempuan itu mantap berucap dengan suaranya yang telah melemah: “Aku belum mau mati sebelum melihat ada organisasi wanita seperti yang kita punya dulu.”
Pembaca, inilah riwayat Umi Sardjono dan Gerwani yang dilupakan.
Tim Laporan Khusus Umi Sardjono
Penanggung jawab:
Nurdin Kalim, Seno Joko Suyono, Stefanus Pramono
Kepala proyek:
Moyang Kasih Dewimerdeka
Penulis:
Dini Pramita, Hussein Abri Dongoran, Isma Savitri, Moyang Kasih Dewimerdeka, Retno Sulistyowati, Riky Ferdianto
Penyunting:
Agoeng Wijaya, Bagja Hidayat, Mustafa Silalahi, Nurdin Kalim, Seno Joko Suyono, Stefanus Pramono
Penyumbang bahan:
Devy Ernis, Shinta Maharani (Yogyakarta)
Periset foto:
Gunawan Wicaksono (Koordinator), Jati Mahatmaji, Ratih Purnama
Penyunting bahasa:
Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Desainer:
Imam Riyadi, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo