Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bah! Macet Jakarta

Transjakarta belum menarik minat pemakai kendaraan pribadi di Ibu Kota. Banyak rantai masalah yang harus dipecahkan.

19 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANDA dilarang masuk kini menjadi rambu lalu lintas yang paling banyak dilanggar di Jakarta. Dipasang besar-besar di setiap ujung jalur khusus bus, rambu itu diabaikan banyak pengemudi kendaraan pribadi. Bus Transjakarta, ”pemilik hak” jalur itu, harus tergencet di antara metromini, bajaj, dan sedan mewah.

Semua berawal dari pembuatan tiga jalur bus baru: Lebak Bulus-Harmoni (Jakarta Selatan ke Jakarta Pusat), Pinang Ranti-Pluit, dan Cililitan-Tanjung Priok (keduanya memanjang dari Jakarta Timur ke Jakarta Utara). Dihajar dari tujuh penjuru angin, jalanan Ibu Kota lumpuh layuh.

Pengguna jalan di Jakarta mengeluh. Ratusan orang bahkan mengadu ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui jalur khusus pesan singkat telepon seluler (SMS) 9949. ”Dalam 10 hari, masuk 500-600 SMS keluhan kemacetan akibat busway,” kata Sardan Marbun, staf khusus Presiden yang mengurusi soal itu.

Presiden merespons keluhan itu dengan memanggil Gubernur DKI Fauzi Bowo, Kamis dua pekan lalu. Sidang kabinet terbatas membahas kemacetan di Jakarta pun digelar. ”Presiden meminta kami membuat terobosan untuk mengatasinya,” kata Fauzi.

Fauzi lalu mengizinkan sebagian jalur khusus bus di jalan yang padat dipakai kendaraan lain. Pengguna jalan menerjemahkan ”terobosan” itu sebagai kebebasan melintasi busway. Para pengendara mobil pribadi pun bersorak, rambu verboden lalu diterjang.

l l l

TRANSJAKARTA mulai beroperasi pada 15 Januari 2004. Jalur yang dilalui membentang dari Blok M ke Kota—disebut koridor I—sepanjang hampir 13 kilometer. Dua tahun kemudian, jalur Pulo Gadung-Harmoni dan Kalideres-Pasar Baru dibuka.

Tahun lalu, empat jalur baru dibangun sekaligus: Pulo Gadung-Dukuh Atas, Kampung Melayu-Ancol, Ragunan-Latuharhari, dan Kampung Rambutan-Kampung Melayu. Pengemudi kendaraan sebenarnya sudah mulai ”sesak napas” saat itu, karena beberapa jalan yang semula dua lajur terpangkas hingga tinggal separuhnya.

Tahun ini, pembuatan tiga koridor baru kembali dikebut. ”Targetnya, pertengahan tahun depan bus sudah bisa beroperasi di tiga koridor itu,” kata Dradjat Adhyaksha, Kepala Badan Layanan Umum Transjakarta, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Bus-bus di tujuh koridor yang kini telah beroperasi, menurut Adhyaksha, mengangkut 210 ribu orang per hari. Angka itu memang masih seujung kuku dibandingkan dengan hampir tujuh juta orang pemakai jasa transportasi di Jakarta.

Menurut Darmaningtyas, Direktur Institut Studi Transportasi, Transjakarta baru mampu memindahkan penumpang angkutan umum lain. Berdasarkan survei lembaganya, hanya 13 persen dari penumpang Transjakarta yang sebelumnya pengendara kendaraan pribadi. Tiga juta orang lebih hingga kini tetap bermobil atau bersepeda motor.

Di antara penyebab Transjakarta belum menjadi pilihan warga Jakarta, menurut Milatia Kusuma, pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia, standar jarak waktu antarbus 3 menit 6 detik belum dicapai. ”Jika standar ini dipenuhi, orang tak akan berdesak-desakan karena tahu tak lama lagi bus berikutnya akan datang,” katanya.

Kini, menurut Dradjad, jarak antarbus masih sekitar lima menit. Di lapangan, sering kali bus datang 10 menit sekali dan pada jam tak sibuk bus lewat setengah sampai 45 menit sekali—akibat pengelola Transjakarta mengurangi armadanya. Dengan jarak antarbus yang belum pasti, bus di semua koridor kini baru bisa mengangkut 1.000-4.000 orang per jam. Bandingkan dengan busway di Bogota, Kolombia, yang dijadikan model Transjakarta. Di sana setiap jam 35 ribu orang bisa diangkut.

Dradjad beralasan, jarak antarbus ideal belum bisa dicapai karena semrawutnya lalu lintas Jakarta. Contohnya, banyak putaran balik yang menghambat laju bus. Ada pula jalur khusus bus yang menyatu dengan jalur biasa. ”Juga persimpangan-persimpangan yang memperlambat kecepatan armada kami,” tuturnya.

Jarak waktu antarbus yang lama membuat antrean penumpang mengular di beberapa halte, terutama pada jam keberangkatan dan kepulangan kantor.

Transjakarta belum menjadi pilihan juga karena angkutan pengumpannya belum ada. Area parkir bagi penumpang pun belum banyak tersedia. Fasilitas ini baru akan dibangun di Ragunan, Jakarta Selatan, dan Kalideres, Jakarta Barat. Penumpang kini harus memakai ojek, bajaj, atau mikrolet untuk menuju halte yang terdekat dengan tempat tinggal mereka.

l l l

BUSWAY dibangun dengan ”menyingkirkan” sejumlah trayek bus yang telah ada. Sebagai gantinya, operator bus seperti Mayasari Bakti, Steady Safe, PPD, dan Damri memperoleh kompensasi untuk menjadi pemilik bus Transjakarta. Perusahaan-perusahaan itu membentuk konsorsium Transbatavia.

Kini hanya bus di koridor I yang dimiliki Pemerintah DKI. Pemilik bus di koridor lain adalah Transbatavia. Badan Layanan Umum Transbatavia kini juga sedang menggelar tender untuk 87 bus yang akan beroperasi di koridor IV-VII. ”Pemain-pemain besar ikut dalam tender ini, seperti Lorena dan Hiba,” kata Dradjad Adhyaksha.

Semua bus di tujuh koridor itu beroperasi dengan kendali Badan Layanan Umum. Operator dibayar berdasarkan jarak perjalanan yang ditempuh bus. Besarnya bervariasi. Bus di koridor I, karena dimiliki Pemerintah DKI, dibayar Rp 8.000 per kilometer. Untuk bus di koridor II-III, besarnya Rp 12.500. Adapun bus di koridor IV-VII dibayar Rp 12.800 per kilometer.

”Operator dibayar hanya berdasarkan jarak yang ditempuh bus, sama sekali tidak berhubungan dengan jumlah penumpang di bus itu,” kata Dradjad. Karena klausul ini, bus kosong yang berangkat menuju jalur khusus pun dibayar. Begitu pula bus yang hendak mengisi bahan bakar gas.

Sumber Tempo yang mengetahui persis pembiayaan Transjakarta menilai, pembayaran bus kosong itu tidak efisien. Ia menyatakan, proporsi pembayaran bus kosong itu cukup tinggi, yaitu 30 persen. Tapi Dradjad menyebutkan, pembayaran untuk ”kilometer empty” ini hanya sekitar 10 persen.

Harga per kilometer untuk operator terdiri dari beberapa komponen: cicilan utang bus, bunga, biaya operasional, biaya perawatan serta fee. Perhitungan biaya ini mengundang kecurigaan. Dalam rekomendasinya kepada Fauzi Bowo, Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) menganggap harga itu terlalu tinggi. ”Sebaiknya ditenderkan kembali, untuk mencari operator yang bisa menawarkan harga lebih rendah,” demikian rincian satu di antara sembilan rekomendasi ITDP.

Selain untuk operator bus, Badan Layanan Umum juga harus membayar perusahaan operator tiket dan penyedia jasa keamanan bus. Perusahaan penyedia dua jasa itu ditunjuk berdasarkan tender.

Sejauh ini perbandingan antara pengeluaran dan pendapatan Transjakarta sangat berat sebelah. Tahun ini, pendapatan dari tiket diperkirakan Rp 199 miliar. Adapun pengeluarannya Rp 402 miliar, sehingga Pemerintah DKI harus menyubsidi program ini Rp 203 miliar.

Badan Layanan Umum bersiasat menekan angka defisit anggaran itu. Di antaranya, menurut Dradjad, dengan menarik sebagian bus pada jam-jam tidak sibuk. ”Agar pembayaran per kilometernya juga turun,” katanya.

Guyuran subsidi miliaran rupiah itu akan sia-sia jika Transjakarta tidak juga mampu menjadi pilihan publik Jakarta. Bambang Susantono, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia, khawatir jika pembukaan jalur khusus bus untuk kendaraan pribadi semakin meruntuhkan minat pengguna angkutan massal itu.

Bambang menyebutkan, busway adalah sistem angkutan seperti halnya kereta api. ”Jika jalur gemuk Transjakarta juga dibuka untuk kendaraan pribadi, busway harus siap-siap bubar,” katanya.

l l l

KORIDOR Ragunan-Latuharhari termasuk jalur yang dinilai gemuk. Bus di jalur ini hampir selalu penuh. Sayangnya, sebagian ruas di koridor ini banyak dipakai pengemudi kendaraan pribadi, terutama pagi hari. Pada Kamis pekan lalu, misalnya, kendaraan pribadi mengular di jalur khusus bus sepanjang Warung Buncit hingga Mampang Prapatan—sepertiga lebih dari panjang koridor itu.

Guna mengukur kecepatan Transjakarta, Kamis pekan lalu dua reporter Tempo menempuh perjalanan Ragunan-Ancol pada jam sibuk pagi hari. Seorang reporter menggunakan Transjakarta—ia harus transit di Dukuh Atas, Matraman, dan Senen. Seorang reporter lainnya bermobil, dengan mengambil rute yang kemungkinan mencapai tujuannya paling cepat, yaitu jalan tol. Keduanya berangkat pada waktu dan titik yang sama.

Reporter pengguna Transjakarta melaporkan, butuh waktu satu jam tiga menit untuk menempuh Ragunan-Dukuh Atas. Jika jalur bus steril dari kendaraan pribadi, jarak itu bisa ditempuh dalam setengah jam. Rute selanjutnya, Dukuh Atas-Ancol, ditempuh dalam satu seperempat jam, termasuk 16 menit untuk transit di Matraman dan Senen.

Ketika reporter pengguna Transjakarta tiba di Ancol, reporter bermobil telah satu jam menunggu di area wisata itu. Reporter bermobil mengambil rute Tol Simatupang-Cawang-Ancol. Jalur ini hanya tersendat di ruas Taman Mini-Cawang.

Walhasil, menggunakan mobil jauh lebih cepat dibandingkan dengan Transjakarta untuk menempuh rute Ragunan-Ancol. Tapi, dari segi ongkos, Transjakarta jauh lebih irit: hanya perlu Rp 3.500 untuk perjalanan dari ujung selatan ke utara Jakarta itu. Adapun pengemudi mobil, untuk biaya tol saja, perlu Rp 12.000.

Karena ongkosnya yang murah itu, Achmad Asil, 71 tahun, setia pada Transjakarta. Dulu, untuk berangkat kerja dari rumahnya di Bekasi menuju kantornya di Ancol, ia membayar Rp 15.000. Kini, biaya transportasinya itu terpangkas separuhnya. ”Perjalanan saya juga lebih cepat,” kata pensiunan prajurit Angkatan Udara itu.

Namun, buat Gunawan, pengemudi taksi Express, macet adalah malapetaka. Karena itu artinya ia harus bekerja lebih keras untuk mengejar setoran. Ia pun meminta pemerintah daerah melebarkan jalan lebih dulu sebelum memangkasnya dengan jalur khusus bus.

Apa pun alasannya, kemacetan memang sudah menjadi penyakit Jakarta, jauh sebelum jalur khusus bus dibangun. Tengoklah laporan Tempo pada 6 Januari 1973, berjudul ”Jembatan Nganggur.” Artikel itu melaporkan pembangunan jembatan Duren di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Daan Mogot kini dilalui Koridor II, jurusan Kalideres-Harmoni.

Di artikel 1973 itu tertulis, ”Jakarta yang terlalu cepat, maka arus kendaraan yang tertumpah ke jembatan itu juga menjadi terlalu banyak, sehingga jembatan Duren menjadi sumber kemacetan bagi lalu lintas di sana. Itu kejadian pada 1973. Sekarang, 34 tahun kemudian, kemacetan Jakarta belum juga musnah bahkan makin parah. Bah!

Budi Setyarso, Anton Septian, Bayu G.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus