Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hamsad dan Si Ular Besi

19 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI tinggal di Depok dan berkegiatan di Jakarta Pusat, Hamsad Rangkuti bertekad tak ingin tua di jalan. Karenanya, cerpenis 64 tahun ini memilih kereta api sebagai alat transportasi. Dengan kereta api, Hamsad tiba di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat, hanya dalam 45 menit. ”Kalau naik kendaraan lain bisa lebih dari dua jam,” kata peraih Khatulistiwa Literary Award 2003 itu.

Dari Cikini, Hamsad tinggal berjalan kaki ke Taman Ismail Marzuki, atau sekali naik bus bila hendak ke Teater Utan Kayu. Kebiasaan menumpang kereta listrik itu sudah dilakoninya sejak 1979. Pilihannya selalu kelas ekonomi. Beberapa cerita pendeknya memang lahir dari pengalamannya naik kereta.

Hamsad pernah memakai satu gerbong kereta untuk mengangkut rombongan pengantin saat menikahkan putrinya empat tahun lalu. Larangan empat anaknya agar Hamsad tak lagi naik kereta — dengan pertimbangan keselamatan dan usia — tak dihiraukannya. ”Saya sudah biasa berdempet-dempetan,” ujar penulis antologi cerpen Bibir dalam Pispot itu.

Hamsad merupakan bagian dari 358 ribu penumpang yang setiap hari memakai kereta listrik Jabotabek. Dilihat dari jumlah konsumennya, tak dapat disangkal kereta listrik merupakan angkutan massal yang banyak peminat. ”Apalagi Indonesia sudah punya rencana induk yang cukup bagus,” kata Bambang Susantono, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia.

Yang dimaksud Bambang adalah lintasan rel sepanjang 40 kilometer yang melingkar di pusat Jakarta. Bila kereta listrik ini dioptimalkan, moda transportasi ini lebih murah ketimbang subway atau monorel. Asal tahu saja, biaya pembangunan subway adalah Rp 600–700 juta per kilometer. Realisasinya pun paling cepat pada 2014.

Dengan konsumen yang membludak, semestinya kereta bisa menjadi mesin duit buat PT Kereta Api Indonesia, meskipun, kata Darmaningtyas, salah satu pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia, kereta bukan solusi tunggal untuk mengatasi kemacetan Jakarta.

Masalahnya, kereta listrik Jabotabek sendiri masih babak-belur: gerbong bopeng, lokomotif uzur, jendela bolong, dan jadwal yang tak tertib. Selain itu, penyakit KRL yang lain adalah banyak penumpang yang tidak membeli tiket, gerbong dipenuhi pencopet, dan seringnya sepur tergelincir keluar rel.

PT Kereta Api sebagai operator tampak ogah-ogahan mengurus ular besi itu. ”Bisnis kereta Jabotabek beban buat kami,” kata Julison Arifin, Direktur Pengembangan Usaha PT Kereta Api Indonesia.

Kantong PT KAI, menurut Julison, dalam mengoperasikan kereta listrik bolong besar. Biaya riil yang dikeluarkan PT Kereta untuk mengoperasikan kereta ekonomi jauh di atas pendapatan yang diperolehnya. Kerugian ini, menurut manajemen PT Kereta, mestinya ditutup dengan subsidi pemerintah yang kerap disebut dana public service obligation (PSO).

Persoalannya, angka subsidi yang diberikan pemerintah tak sesuai dengan angka yang diajukan PT Kereta Api. Pada 2000–2005, akumulasi ”kerugian” itu bengkak hingga Rp 1,6 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan merekomendasikan agar kekurangan itu dicatat sebagai piutang perusahaan kepada pemerintah atau dianggap sebagai kerugian perusahaan, tapi pemerintah menolak. Subsidi yang sudah disepakati pun kerap terlambat dibayar. ”Semakin banyak penumpang Jabotabek, kami semakin rugi,” kata Julison.

Harun Al-Rasyid, pakar transportasi ITB, melihat bahwa kendala terbesar justru ada di tubuh PT Kereta Api sendiri. Badan usaha milik negara itu, kata Harun, harus bisa meyakinkan pemerintah kalau bisa mengelola duit dengan benar. ”Masalahnya pemerintah tidak percaya pada PT Kereta Api,” kata Harun. Itu sebabnya, PT Kereta Api mesti mengajukan skema bisnis yang jelas agar pemerintah tidak ragu lagi menggelontorkan subsidi. Salah satunya, pisahkan unit bisnis yang mengurusi kereta api Jabotabek lewat satu anak perusahaan. ”Dengan skema bisnis yang jelas, investor swasta pasti mau taruh uang,” ucap Harun.

Pemerintah, kata Harun, juga tidak boleh lepas tangan. Pekerjaan rumah pemerintah adalah segera mengaudit PT Kereta Api. Hal ini diamanatkan dalam UU Perkeretaapian Nomor 23/2007. Selain itu, PT Kereta harus menginventarisasi aset, menyelesaikan persoalan subsidi dan kewajiban terhadap karyawan, serta menentukan neraca awal perusahaan.

Tanpa itu semua, kereta listrik akan selamanya babak-belur: gerbongnya busuk, jadwal keberangkatannya amburadul. Lalu, seorang penumpang kurus dan murah senyum bernama Hamsad Rangkuti terhimpit di dalamnya.

Yandhrie Arvian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus